Sinopsis:
Melia Aluna Anderson, seorang manajer desain yang tangguh dan mandiri, kecewa berat ketika pacarnya, Arvin Avano, mulai mengabaikannya demi sekretaris barunya, Keyla.
Hubungan yang telah dibina selama lima tahun hancur di ulang tahun Melia, saat Arvin justru merayakan ulang tahun Keyla dan memberinya hadiah yang pernah Melia impikan.
Sakit hati, Melia memutuskan untuk mengakhiri segalanya dan menerima perjodohan dengan Gabriel Azkana Smith, CEO sukses sekaligus teman masa kecilnya yang mencintainya sejak dulu.
Tanpa pamit, Melia pergi ke kota kelahirannya dan menikahi Gabriel, yang berjanji membahagiakannya.
Sementara itu, Arvin baru menyadari kesalahannya ketika semuanya telah terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dikelilingi Cinta Yang Tulus
📍Pagi yang Cerah di Kota B
Melia membuka jendela kamarnya, membiarkan sinar matahari pagi menerobos masuk. Udara di kota B memang berbeda dari kota N, lebih segar, lebih menenangkan. Perlahan, ia mulai merasa hidupnya menemukan ritme baru.
Ponselnya berdering. Nama Laura muncul di layar. Melia tersenyum kecil dan langsung mengangkatnya.
“Halo, Laura.”
“Mel! Kamu gimana? Aku kangen!” suara Laura terdengar penuh antusias, namun di baliknya tersirat kekhawatiran.
“Aku baik-baik aja, kok. Gimana kabarmu di sana?” Melia bertanya balik sambil berjalan menuju balkon, melihat taman bunga belakang rumahnya.
“Biasa, kantor masih rame. Tapi aku nggak mau bahas itu. Aku mau tahu kabar kamu!” Suara Laura sedikit serius. “Kamu beneran ninggalin Arvin, ya?”
Melia menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. “Iya, Laura. Aku udah capek. Semua ini terlalu menyakitkan buat aku.”
Laura terdiam sesaat. “Kamu tahu kan, Mel? Itu keputusan yang tepat. Kamu berhak bahagia. Aku selalu dukung kamu, apa pun yang terjadi.”
Ucapan Laura menyentuh hati Melia. Sudah lama sahabatnya ini menjadi tempat curhat andalan, seseorang yang selalu ada saat Melia terpuruk.
“Terima kasih, Laura. Dukungan kamu berarti banyak buat aku.”
“Tentu, dong! Oh ya, kamu tau nggak? Gabriel itu bener-bener deh… top banget. Dia tahu kamu butuh dukungan sekarang, jadi dia muncul di momen yang pas!” Laura menggoda, suaranya terdengar ceria.
Melia tertawa kecil. “Jangan mulai, Laura.”
“Eh, serius! Kamu layak dapat seseorang yang perhatian sama kamu. Bukan tipe kayak Arvin yang..... ah, sudahlah!” Laura mendesah kesal.
Melia hanya tersenyum, merasa hatinya mulai lebih ringan. Percakapan itu berakhir dengan janji Laura untuk segera datang ke kota B bersama Baskara, sahabat sekaligus asisten Gabriel.
Sore itu, Melia duduk di ruang tamu bersama ibunya ketika suara mobil berhenti di halaman depan. Tidak lama, pintu rumah terbuka dan Laura muncul dengan wajah sumringah, diikuti Baskara yang membawa dua koper besar.
“Meliaaa!” Laura berlari kecil dan memeluk sahabatnya erat. “Aku kangen banget!”
Melia tertawa sambil memeluk Laura balik. “Aku juga kangen kamu, Laura.”
Baskara yang berdiri di belakang Laura hanya menggeleng kecil sambil tersenyum. “Sudah lama nggak ketemu, Melia. Kamu kelihatan lebih segar sekarang.”
“Terima kasih, Baskara. Kalian berdua jauh-jauh ke sini cuma buat lihat aku?” tanya Melia, terharu dengan kehadiran mereka.
“Tentu saja! Kamu kan sahabat aku. Sahabat nggak boleh ditinggalin saat lagi sedih.” Laura menepuk pundak Melia dengan semangat.
Ibunya Melia ikut menyambut keduanya dengan ramah. “Ayo masuk dulu. Kalian pasti capek habis perjalanan jauh.”
Setelah berbasa-basi sebentar, mereka bertiga duduk di ruang tamu, mengobrol sambil menikmati teh hangat dan kue buatan ibunya Melia.
Laura memegang tangan Melia dan menatapnya serius. “Mel, aku tahu ini berat buat kamu. Tapi aku bangga kamu bisa mengambil keputusan untuk meninggalkan Arvin.”
Melia menatap Laura, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku nggak nyangka bisa sekuat ini, Laura. Rasanya aneh, setelah lima tahun, aku harus meninggalkan semuanya.”
“Tapi kamu tahu nggak? Ini awal buat kamu memulai sesuatu yang lebih baik.” Laura tersenyum tulus. “Lihat deh, sekarang kamu punya orang tua yang selalu ada, Gabriel yang perhatian, dan kamu punya kami.”
Melia mengangguk pelan. “Aku bersyukur kalian masih ada di hidupku. Kadang aku pikir, mungkin aku nggak akan bisa melewati semua ini kalau sendirian.”
Laura menarik Melia ke dalam pelukan. “Nggak ada kata sendirian buat kamu, Mel. Kita ini keluarga, bukan cuma teman.”
Baskara yang duduk di sofa sebelah mereka ikut angkat bicara. “Melia, aku tahu kamu pernah sakit hati, tapi bukan berarti kamu nggak bisa bahagia lagi. Aku udah lama lihat Gabriel, dan percayalah, dia orang yang tepat buat kamu. Dia tulus.”
Melia menatap Baskara dengan rasa ingin tahu. “Baskara, kenapa kamu yakin sekali sama Gabriel?”
Baskara tersenyum kecil. “Karena aku tahu betapa dia menghargai kamu. Bahkan sebelum kamu sadar akan kehadirannya, dia sudah selalu ingin menjaga kamu. Itu bukan hal yang mudah ditemukan.”
Kata-kata Baskara membuat Melia terdiam. Ada kehangatan yang menyelimuti hatinya ketika mendengar betapa Gabriel begitu menghargainya.
Malam harinya, keempatnya duduk di taman belakang rumah Melia. Gabriel akhirnya datang setelah menyelesaikan pekerjaannya. Ia membawa beberapa makanan ringan dan bergabung dengan mereka.
“Gabriel!” Laura menyambutnya ceria. “Akhirnya datang juga, calon suami idaman Melia!”
Melia memukul pelan pundak Laura, wajahnya merah karena malu. “Laura, bisa nggak sih kamu berhenti ngomong yang aneh-aneh?”
Gabriel hanya tertawa kecil sambil duduk di sebelah Baskara. “Aku senang kalian datang ke sini. Melia butuh teman-temannya sekarang.”
Laura tersenyum lebar. “Jelas dong! Kita ke sini buat mendukung dia. Dan tentu aja, buat memastikan kamu benar-benar bisa jaga sahabat aku ini.”
Gabriel menatap Melia dengan serius. “Aku janji, Laura. Aku akan menjaga Melia dan memastikan dia bahagia.”
Melia menunduk, hatinya bergetar lagi mendengar ketulusan Gabriel. Di hadapannya ada tiga orang yang benar-benar peduli padanya, sesuatu yang ia rindukan selama ini.
Baskara yang duduk di sebelah Gabriel menambahkan, “Kalau Gabriel berani bikin Melia sedih, aku sendiri yang akan menegurnya.”
Mereka semua tertawa, suasana menjadi lebih ringan. Melia menatap teman-temannya satu per satu, merasa bersyukur mereka ada di sisinya.
“Terima kasih, kalian. Aku merasa sangat beruntung punya kalian semua,” kata Melia tulus.
Laura merangkul Melia dari samping. “Kita selalu ada buat kamu, Mel. Kamu nggak akan pernah sendirian.”
Gabriel menatap Melia dengan lembut, lalu berkata, “Melia, hidup masih panjang. Jangan biarkan masa lalu menahan langkahmu. Kamu pantas mendapatkan kebahagiaan.”
Malam itu, di bawah langit berbintang, Melia merasa dikelilingi oleh cinta yang tulus dari sahabat dan keluarga. Untuk pertama kalinya, ia mulai percaya bahwa dirinya bisa benar-benar bahagia lagi. Luka dari masa lalunya perlahan memudar, digantikan oleh harapan baru yang mulai tumbuh bersama Gabriel dan dukungan dari Laura serta Baskara.
Sementara itu, di kota N, Arvin duduk sendirian di apartemen yang kini terasa kosong tanpa kehadiran Melia. Ia melihat foto-foto lama mereka berdua di ponselnya.
“Melia, di mana kamu?” bisiknya lirih, rasa penyesalan mulai memenuhi hatinya.
Namun, Melia tidak lagi berada di tempat yang sama. Ia telah memulai hidup baru, dikelilingi oleh orang-orang yang benar-benar mencintainya.
To be continued...