John Ailil, pria bule yang pernah mengalami trauma mendalam dalam hubungan asmara, mendapati dirinya terjerat dalam hubungan tak terduga dengan seorang gadis muda yang polos. Pada malam yang tak terkendali, Nadira dalam pengaruh obat, mendatangi John yang berada di bawah pengaruh alkohol. Mereka terlibat one night stand.
Sejak kejadian itu, Nadira terus memburu dan menyatakan keinginannya untuk menikah dengan John, sedangkan John tak ingin berkomitmen menjalin hubungan romantis, apalagi menikah. Saat Nadira berhenti mengejar, menjauh darinya dan membuka hati untuk pria lain, John malah tak terima dan bertekad memiliki Nadira.
Namun, kenyataan mengejutkan terungkap, ternyata Nadira adalah putri dari pria yang pernah hampir menghancurkan perusahaan John. Situasi semakin rumit ketika diketahui bahwa Nadira sedang mengandung anak John.
Bagaimanakah akhir dari kisah cinta mereka? Akankah mereka tetap bersama atau memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Kebohongan
"Kenapa aku harus sejauh ini? Apakah aku salah mempercayainya?" pikir Nadira, matanya mulai basah dengan air mata yang tertahan. Pikirannya melayang kembali ke malam itu, ke mata John yang dingin namun memancarkan ketulusan yang tak bisa ia lupakan. "Dia mungkin menganggapku hanya sebagai gadis bodoh yang mendambakan cinta. Tapi… aku bukan hanya itu. Aku ingin dia tahu bahwa aku tulus, bahwa aku rela mengambil risiko untuk mendekatinya."
Suara langkah kaki terdengar samar di lorong, membuat Nadira menegakkan tubuhnya dengan gugup. Orang-orang yang melewati lorong menatapnya dengan tatapan ingin tahu, beberapa menggelengkan kepala seakan menghakimi, sementara yang lain berlalu begitu saja.
"Apa aku terlalu gegabah datang ke sini? Haruskah aku pergi sekarang sebelum dia melihatku di keadaan seperti ini? Tapi… jika aku pergi, aku mungkin tidak akan pernah punya kesempatan untuk bertemu dengannya lagi," gumamnya dalam hati, kedua tangannya memeluk lututnya erat.
John berjalan menyusuri lorong menuju unit apartemennya. Langkahnya terhenti saat melihat sosok seseorang duduk di depan pintu, memeluk lutut erat-erat seakan berusaha menyembunyikan dirinya. Ia mengerutkan kening, mencoba mengenali siapa yang sedang duduk di sana. Tanpa sadar, jantungnya berdetak lebih cepat, dan perasaan cemas mulai muncul di benaknya.
"Siapa yang duduk di sana?" pikirnya, semakin mempercepat langkahnya. Dari jarak dekat, akhirnya ia bisa melihat wajah orang itu, Nadira. Gadis itu tampak letih, tubuhnya tampak gemetar dan kepalanya tertunduk lemah di atas lutut.
Saat John semakin dekat, waktu terasa berjalan lambat bagi Nadira yang kian merasa kelelahan, tubuhnya terasa semakin berat dengan setiap detik yang berlalu. Hatinya sudah hampir menyerah, air matanya menetes tanpa bisa di bendung.
Suara langkah-langkah kaki yang semakin mendekat membuat Nadira mengangkat sedikit wajahnya. Tepat di depannya, sepasang sepatu berhenti, dan ia mendongak, perlahan, menatap sosok pria yang sudah sangat ia kenal. Nadira menatap John dengan mata yang penuh keletihan, tetapi juga dengan sisa-sisa harapan yang nyaris pupus.
John menatapnya dalam diam sejenak, berusaha memahami apa yang telah terjadi hingga gadis itu ada di depan pintunya dalam keadaan seperti ini.
"Nadira?" tanya John yang berdiri di depan Nadira pelan, suaranya berat dan dalam.
Nadira terdiam tanpa kata, wajahnya yang penuh air mata, menatap sosok John yang berdiri di depannya. John menatapnya dengan ekspresi campuran antara kaget dan khawatir. Nadira menatap John dengan tatapan penuh harap dan keraguan. Di sinilah ia sekarang, di depan pria yang hatinya ingin ia kejar, siap mendengar apa pun yang akan dikatakannya, meskipun itu mungkin menyakitkan.
John bisa melihat wajah pucat dan mata bengkak Nadira. Gaun sobek yang sama dari semalam melekat di tubuhnya, kini sedikit kusut. Wajahnya tampak basah oleh air mata, membuat John merasa tak nyaman melihat gadis itu dalam kondisi memprihatinkan seperti ini.
"Sejak kapan kamu di sini?" tanyanya dengan nada tak bisa menyembunyikan kekhawatiran.
Nadira mengangkat pandangannya yang lemah, suaranya terdengar nyaris berbisik, "Sejak keluar dari hotel."
John terdiam, merasa bersalah menyadari bahwa gadis ini sudah menunggu di depan pintunya... mungkin sejak pagi. Ia mendesah, memejamkan mata sejenak. “Ya Tuhan, berarti kamu sudah di sini seharian...” gumamnya pelan. Melihat keadaan Nadira, John merasa tak bisa meninggalkannya begitu saja. "Masuklah," katanya akhirnya, membuka pintu lebar.
Nadira mencoba berdiri, tetapi tiba-tiba tubuhnya terhuyung. John segera menahan tubuhnya sebelum sempat jatuh. Napasnya tercekat saat menyadari betapa lemah gadis ini, dan ketika merasakan suhu tubuhnya, ia menyadari Nadira demam.
"Astaga, kamu benar-benar kacau," gumam John pelan, menggendong tubuh Nadira dengan hati-hati menuju salah satu kamar di unit apartemennya. Saat ia menurunkan tubuh Nadira, gadis itu sudah terpejam dalam pingsannya. John menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan tangan. "Apa yang sudah kulakukan... Aku seharusnya tak meninggalkannya begitu saja," pikirnya dengan rasa bersalah yang perlahan menyelinap.
Tak mau membiarkan Nadira dalam kondisi seperti itu, ia memutuskan untuk membeli pakaian baru di mal dekat apartemennya. Sepulangnya, ia juga memanggil dokter untuk memastikan Nadira baik-baik saja. Sambil menunggu dokter datang, John membawa semangkuk air hangat dan kain, lalu duduk di tepi ranjang, menatap Nadira yang tampak lemah dan lelah.
"Aku tak tahu kenapa kamu mengejarku sejauh ini, Nadira. Kamu tahu aku tak bisa memberikanmu apa yang kamu inginkan," gumamnya dalam hati sambil mulai menyeka wajah Nadira dengan hati-hati. Perlahan, John membersihkan tubuhnya dengan kain basah, menahan diri agar tidak melihat terlalu lama bekas ciuman dan jejak percintaan mereka yang masih terlihat di kulit gadis itu.
Dia tersenyum kecil sambil bergumam, “Aku benar-benar brutal semalam, ya?” Namun senyumnya segera pudar saat kesadarannya kembali. "Ini salah. Seharusnya aku tidak membiarkan dia terus mendekatiku... Tapi apa yang harus kulakukan sekarang?”
Dengan lembut, ia menggantikan pakaian Nadira dengan baju yang baru dibelinya. Sesekali John berhenti, menatap wajah Nadira yang masih terpejam, seolah kelelahan menyelimuti setiap bagian dari dirinya. “Aku tidak akan menahanmu lebih lama, Nadira. Tapi… apa yang akan kamu lakukan kalau aku menolakmu?” gumamnya, merasa hatinya terbelah antara keinginannya menjaga jarak dan nalurinya untuk menolong gadis yang tampak begitu rapuh di hadapannya.
Ketika dokter akhirnya tiba, John membuka pintu dan mengantarnya masuk ke kamar, di mana Nadira masih berbaring lemah di tempat tidur. Dokter, seorang wanita berusia sekitar empat puluhan, dengan pandangan tajam penuh selidik, melangkah masuk sambil membawa tas medisnya. Dia memeriksa Nadira sebentar, kemudian mengarahkan pandangannya ke John.
"Siapa gadis ini?" tanya dokter dengan nada profesional, meskipun sorot matanya menyiratkan rasa ingin tahu yang lebih dalam. "Dan, maaf, apa hubungan Anda dengannya?"
John terdiam sejenak. Ia bisa merasakan tatapan dokter yang seolah menuntut penjelasan. Dalam sekejap, ia tahu bahwa menjelaskan situasi apa adanya akan membuat segalanya lebih rumit. Menyadari kondisi Nadira yang kelelahan dan kondisi dokter yang tampak curiga, ia akhirnya memutuskan untuk mengucapkan kebohongan yang mungkin akan menambah kebingungannya sendiri nanti.
"Iya... ini istri saya. Kami baru saja menikah," jawab John, terdengar sedikit ragu. Ia segera menambahkan, "Dia... tidak terbiasa tinggal di sini, masih menyesuaikan diri."
Dokter menghela napas panjang dan menatapnya tajam. "Baiklah, Tuan. Tapi kalau begitu, sebagai suami, Anda sebaiknya lebih memperhatikan kondisi istri Anda, apalagi jika dia belum terbiasa dengan lingkungan baru," katanya. "Nona Nadira tampaknya mengalami kelelahan fisik yang cukup serius dan, sepertinya, dehidrasi juga. Apalagi jika seharian belum makan. Kondisi seperti ini bisa menyebabkan demam dan kelemahan tubuh."
John merasa sedikit tertampar oleh nada tegas dokter itu, tetapi ia hanya mengangguk, tak membantah. Ia duduk di kursi sebelah ranjang Nadira, memperhatikan ketika dokter mulai memeriksa kondisi Nadira dengan saksama.
Dokter melanjutkan, sambil memasukkan termometer ke mulut Nadira. "Tadi malam pasti melelahkan baginya, terlebih lagi jika ia kelelahan fisik tanpa istirahat yang cukup. Saya sarankan agar Anda menjaga asupan nutrisinya dan memberikan waktu untuk istirahat."
John hanya bisa mengangguk lagi, menyadari betapa berat sebenarnya kondisi Nadira. Sekilas perasaannya berkecamuk, ia memang merasa bersalah, terutama melihat Nadira yang terbaring lemah di depannya.
"Apa yang sebenarnya kupikirkan semalam?" pikir John sambil menghela napas panjang. "Dia begitu rapuh… Aku seharusnya memperhatikan ini dari awal."
Dokter akhirnya bangkit dari pemeriksaan, menulis resep dan menatap John dengan lebih lembut sekarang, seolah memahami sesuatu. "Ingat, Tuan. Jika istri Anda ini kelelahan atau terluka, sebaiknya jangan abaikan. Hubungan baru, apalagi pernikahan, butuh perhatian yang penuh."
John hanya mengangguk pelan, merenungkan perkataan dokter itu. Ketika dokter pergi, ia menatap Nadira yang masih tertidur lelap dan berjanji dalam hatinya untuk tidak membiarkan gadis itu seperti ini lagi.
"Apa yang harus aku lakukan setelah gadis ini sadar?" gumam John menghela napas kasar.
...🍁💦🍁...
To be continued
beno Sandra dan sasa merasa ketar-ketir takut nadira mengambil haknya dan beno Sandra dan sasa jatuh jatuh miskin....
mampus org suruhan beno dihajar sampai babak belur sampai patah tulang masuk rmh sakit....
Akhirnya menyerah org suruhan beno resikonya sangat besar mematai2 nadira dan dihajar abis2an sm anak buahnya pm john....
belajarlah membuka hatimu tuk nadira dan nadira walaupun msh polos dan lugu sangat cocok john sangat patuh n penurut.....
Sampai kapan john akan hidup bayang2 masalalu dan belajar melangkah masa depan bersama nadira....
masak selamanya akan menjadi jomblo abadi/perjaka tuwiiiir🤣🤣🤣😂