Virginia menjual keperawanan yang berharga pada Vincent demi menyelamatkan nyawa adiknya yang saat ini sedang koma. Namun, Vincent yang sedang mengalami prahara dalam hubungannya dengan sang mantan istri, menggunakan Virginia untuk membalas dendam pada sang mantan istri.
Vincent dengan licik terus menambah hutang Virginia padanya sehingga anak itu patuh padanya. Namun Vincent punya alasan lain kenapa dia tetap mengungkung Virginia dalam pelukannya. Kehidupan keras Virginia dan rasa iba Vincent membuatnya melakukan itu.
Bahkan tanpa Vincent sadari, dia begitu terobsesi dengan Virginia padahal dia bertekat akan melepaskan Virginia begitu kehidupan Virgi membaik.
Melihat bagaimana Vincent bersikap begitu baik pada Virgi, Lana si mantan istri meradang, membuatnya melakukan apa saja agar keduanya berpisah. Vincent hanya milik Lana seorang. Dia bahkan rela melakukan apa saja demi Vincent.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyelamatkan Nyawamu
Usai melihat kondisi Elvano, Vincent berniat kembali ke ruangannya. Biasanya di ruang tunggu depan ruangan ini, akan ada keluarga pasien, tetapi kali ini, di depan ruangan Elvano, Vincent tidak menemukan satupun keluarga anak yang belum melewati masa kritisnya tersebut.
Ini aneh. Biasanya banyak yang meratap dan menyerbu penuh harap dokter yang menyelamatkan nyawa keluarga mereka.
"Pasien ini tidak ada yang menunggui?" Vincent bertanya pada seorang perawat yang bersama dengannya kala itu. Ia mencari-cari ke segala sisi.
"Oh, kakaknya?" Perawat itu melongok keluar. "Pas operasi tadi dia ada kok, Dok, tapi nggak tau dia kemana sekarang."
Vincent mengerutkan bibir. Kakak? Orang tuanya kemana? "Udah 3 jam ya? Kita pantau sampai 5 jam kedepan, kalau tidak ada masalah kita pindahkan ke ruang ranap."
"Baik Dok." Perawat itu mengangguk lalu segera undur diri, membiarkan Vincent yang sudah selesai dengan tugasnya itu sendirian.
Pikiran Vincent kemana-mana saat ini. Dia tidak terlalu memperhatikan siapa urutan wali untuk Elvano. Pikirnya karena Egi adalah anak muda jadi orang tuanya yang biasanya ketakutan sendiri menghadapi dokter dan vonis, menjadi ujung tumpuan keluarganya. Anak itu kemana-mana sementara orang tuanya menunggui Elvano, begitu dugaannya.
"Dia beneran nggak punya siapa-siapa kah?!" Meski begitu, harusnya Egi berada disini menunggu kabar baik dari "usahanya" kan? Anak itu sungguh berusaha malam itu, tidak mungkin sekarang dia melepas sia-sia semuanya.
Vincent berjalan ke arah ruangannya sendiri sembari membuka ponsel untuk menghubungi Egi. Namun beberapa kali ia menelpon, Egi tetap tidak menjawab.
Vincent belum menyerah. Beruntung panggilan terakhirnya terhubung.
"Saya izin tidak masuk kerja, Pak! Saya nggak kuat berdiri apalagi jalan ...."
Mata Vincent bergerak nanar, kakinya seketika berhenti melangkah ke tujuan awal. Ia justru ke bagian administrasi dimana data Elvano berada. Dengan cepat Vincent menemukan alamat itu dan berlari menuju mobil untuk ke rumah Elvano.
Jujur saja Vincent syok sepanjang jalan ke rumah Egi. Dia tidak pernah berpikir ada daerah seperti ini di kota besar. Kumuh dan berdesakan. Entah bagaimana mereka bernapas dan mendapatkan angin.
Ia melangkah pelan menuju bagian belakang perumahan yang merupakan rumah sewa, sampai dia menemukan nomor yang merupakan tempat tinggal Egi.
Vincent mengetuk, tetapi ternyata pintu itu tidak tertutup sempurna. Begitu masuk, Vincent dibuat kaget dengan kosongnya ruangan ini. Definisi bersih sesungguhnya, dimana hanya ada dua kasur kecil, meja lipat, dan lemari dari kardus yang dilapisi kertas bungkus kado. Tidak ada peralatan makan, masak, dan perabot selayaknya sebuah rumah. Benar-benar hanya sepetak dengan sebuah kamar kecil bertutup tirai usang. Memprihatinkan sekali.
Di atas kasur tipis itu berbaring seorang wanita yang tidak terganggu sama sekali akan kehadirannya. Vincent mendekat, menyentuh badan Egi yang dengan pakaian rumah ini, terlihat begitu kecil.
Lebih kurus dari kemarin itu.
"Virginia ...." Vincent menyentuh kening Egi. "Astaga, panas sekali."
Ia menarik Egi agar menelentang. "Oh My God!" bisiknya syok.
Vincent segera menghubungi ambulans. Anak ini seperti keracunan. Apa dia mencoba bunuh diri?
Usai menelpon ambulans, Vincent kembali mencoba membangunkan Egi. "Virginia! Denger suaraku? Hei, sadarlah!"
Vincent melakukan itu dengan hati mencelos bercampur ketakutan. Ini apa ada hubungannya dengan kejadian kemarin? Kalau iya, apa yang harus dia lakukan sekarang?
Vincent memeriksa lagi nadi yang pada awal kedatangannya tadi sudah diperiksa. Ia menduga Egi kurang cairan, tetapi melihat busa yang keluar dari mulut Egi, lalu ketika mata sayu itu dicek oleh Vincent tidak memberikan respons apa-apa, Vincent berpikir Egi berusaha bunuh diri.
Usai melakukan pemeriksaan awal keadaan Egi, Vincent mengambil air yang berada di botol terdekat. Ia membaui botol itu, lalu mencari yang lain, apa saja yang dia rasa adalah sesuatu untuk percobaan bunuh diri.
Tidak ada satupun.
Ini mustahil.
Tak lama, ambulans datang. Vincent segera memasang infus dan membawa Egi ke rumah sakit. Sengaja ia mencari ambulans yang peralatan pertolongan pertamanya cukup bagus.
Beberapa waktu dia merasa hatinya hancur lebur. Ia merasa kalau apa yang dilakukan Egi adalah hasil dari perbuatannya juga, terlepas dari beban yang sudah dipikulnya sejak lama. Ia turut andil menambah-nambahin beban gadis muda ini.
Ketika sampai di rumah sakit, Vincent menggendong sendiri Egi ke brankar lalu mendorongnya seorang diri ke IGD. "Bersihkan lambungnya! Kurasa dia menelan sesuatu yang beracun. Pasang oksigen juga!"
Semua orang saling pandang di ruangan ini, sampai satu orang dokter jaga bertanya dengan curiga.
"Ini siapa, Dok?!"
"Memangnya dia harus seseorang yang kalian kenal untuk ditolong? Dia sekarat asal kau tau!" raung Vincent dengan tatapan penuh amarah. "Periksa dia! Atau—"
Vincent membuang muka. "Suster, ambilkan aku semua yang aku perlukan! Ini nyawa manusia, tidak perlu tau siapa dia! Aku yang bertanggung jawab penuh atas dia!"
Siapapun yang berada di sana mengkerut nyalinya, sehingga langsung melakukan apapun yang Vincent perintahkan.
Keributan itu terdengar oleh Lana yang sejak berjam-jam lalu menunggu Vincent seperti orang bodoh. Ia mengintip dari luar pintu IGD yang terbuat dari kaca. Sedikit dia bisa melihat apa yang terjadi, dimana Vincent sedang berusaha sekuat tenaga menyelamatkan seseorang.
"Ibu, tolong jangan melihat ke dalam!" Seorang satpam menegur dengan sopan yang langsung membuat Lana mundur dan dengan ramah tersenyum.
"Itu yang ditolong Vincent siapa? Apa dia dalam kondisi kritis?" Lana mengeluarkan jurus terbaiknya saat menggali informasi.
"Maaf, Bu. Itu rahasia. Mengenai apa yang dilakukan dokter, maupun siapa yang ditolong beliau adalah kerahasiaan yang wajib kami jaga." Satpam tersebut mempersilakan Lana pergi dengan sopan sebelum kembali ke posnya.
Mencebik kesal, Lana duduk di kursi panjang diluar IGD bersama beberapa orang yang sedang berada disana.
"Itu wanita yang katanya sedang mencoba bunuh diri."
"Iya, yang nolong kebetulan dokter sini, dari keluar ambulans sampai ke dalam sana dibawa langsung oleh dokter yang itu."
Lana melihat kemana orang-orang menatap, kemudian ia tersenyum.
Foto Vincent terpampang di sebuah baliho besar rumah sakit. Dia memang menjadi dokter terbaik di kota ini dan mendapat penghargaan dari presiden langsung.
"Siapapun kamu, jika menyentuh Vincent, maka urusanmu adalah denganku." Lana bergumam dengan senyum tersungging miring.