Karin, terpaksa menikah dengan Raka, bosnya, demi membalas budi karena telah membantu keluarganya melunasi hutang. Namun, setelah baru menikah, Karin mendapati kenyataan pahit, bahwa Raka ternyata sudah memiliki istri dan seorang anak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cecee Sarah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga
Tiga bulan yang lalu.
Raka melangkah di trotoar yang masih basah oleh embun pagi, merasakan sejuknya udara yang menyentuh wajahnya. Suasana di rumah pagi ini terasa tegang. Ia baru saja terlibat perdebatan dengan istrinya, dan untuk meredakan ketegangan, ia memilih keluar rumah, menjauh dari keributan yang menghimpit hatinya. Meninggalkan perasaannya yang bergejolak, ia melangkah menuju mobilnya yang terparkir di pinggir jalan.
Saat ia menghadap ke samping, pandangannya teralihkan oleh keributan yang terjadi di depan sebuah rumah besar. Dua pria bertubuh besar tampak menyeret seorang pria paruh baya, sementara seorang gadis muda bernama Karin berdiri terisak, air matanya mengalir deras.
"Tuan Broto, tolong lepaskan ayahku! Kami berjanji akan melunasi utang keluarga kami," pinta Karin, suaranya bergetar penuh harap dan kesedihan. Ekspresinya mencerminkan kepanikan dan putus asa, seolah seluruh dunia runtuh di sekitarnya.
"Ha, kau pikir aku bodoh? Kalian akan lari seperti jalang itu," kata Broto si botak, senyumnya sinis dan mengancam. Ketidakadilan yang jelas terlihat dalam situasi ini membuat Raka tidak bisa tinggal diam.
Raka menghentikan langkahnya dan bergegas mendekat, "Apa yang terjadi?" tanyanya, suaranya tegas, berusaha menegaskan keberadaannya di tengah kekacauan itu.
"Tidak perlu ikut campur dalam urusan kami, dan tidak mungkin kau mau membantu mereka melunasi utangnya pada kami," jawab Tuan Broto sambil tersenyum mengejek, matanya menyiratkan kebencian.
"Utang?" Raka bertanya, mengerutkan keningnya, mencoba memahami situasi yang rumit ini.
Karin tampak putus asa, tidak tahu harus berbuat apa. Ia tahu keluarganya dalam keadaan terjepit, semua karena ibu tirinya yang telah menggunakan surat-surat rumah dan tanah mereka sebagai jaminan. Namun, pada saat-saat sulit ini, ibu tirinya memilih melarikan diri, meninggalkan Karin dan ayahnya menghadapi masalah ini sendirian.
Raka merasa ada panggilan di hatinya untuk membantu. Ia merogoh saku, menarik cek yang dia miliki dan menyerahkannya kepada Tuan Broto. "Tuliskan berapa jumlah utang mereka!" perintahnya, penuh ketegasan.
Tuan Broto terkejut, mulutnya terbuka lebar. "Kau pasti bercanda!" katanya, tetapi Raka tidak memberi ruang untuk ragu.
"Jika masih kurang, ini kartu namaku," ucap Raka, menyerahkan kartu namanya kepada Tuan Broto. "Hubungi aku."
Ekspresi Tuan Broto berubah seketika. "Terima kasih, Tuan," ia berkata, suaranya kini penuh syukur. Ia mencium cek itu dengan gembira, tidak sabar untuk mendapatkan uang yang dijanjikan. "Lepaskan dia!" Tuan Broto berteriak kepada anak buahnya, yang segera melepaskan ayah Karin.
Begitu bebas, Karin berlari menghampiri ayahnya, yang terjatuh ke tanah. "Ayah, bangun! Jangan tinggalkan aku!" teriaknya, pelukan eratnya seolah ingin menyatukan kembali segala kepedihan yang menggerogoti hatinya.
"Ayo, bawa ayahmu ke rumah sakit!" Raka mengarahkan mereka dengan nada penuh perhatian. Dalam perjalanan menuju salah satu rumah sakit terbesar di kota itu, Karin terus meneteskan air mata. Setiap tetesan air matanya adalah ungkapan ketakutan akan kehilangan, kenangan pahit ketika ibunya pergi untuk selamanya masih membekas di hatinya.
Sesampainya di rumah sakit, Karin bergegas menuju ruang ICU, hatinya berdebar. "Biar dokter yang menanganinya, ayahmu pasti sembuh," Raka menepuk pundak gadis itu, berusaha memberikan dukungan.
Karin menatap Raka, perasaannya campur aduk antara harapan dan keputusasaan. "Tapi… aku ingin ada di sampingnya," gumamnya, suara lirih penuh rasa tidak berdaya. Raka tahu betapa sulitnya bagi seorang anak melihat orang tuanya dalam keadaan kritis, namun ia berharap Karin bisa sedikit tenang.
Hari-hari berlalu, dan setelah tiga hari dirawat, kondisi ayah Karin mulai membaik. Ia dipindahkan ke ruangan lain, dan saat Karin duduk di samping tempat tidur, ia memegang tangan ayahnya, merasakan kehangatan yang sedikit memulihkan harapan dalam hatinya.
"Ayah, jangan menakut-nakuti aku lagi," Karin berbicara lembut, berusaha tersenyum meski hatinya masih bergetar.
"Maafkan aku, Karin. Aku telah membuatmu khawatir," kata Ardi, ayah Karin, sambil membelai rambut gadis itu dengan lembut. Dalam tatapannya, terdapat rasa bersalah yang mendalam, seolah menyadari betapa beratnya beban yang ditanggung putrinya.
Karin teringat akan kebaikan Raka, pria yang tidak dikenalnya dengan baik namun bersedia membantu mereka tanpa ragu. "Ayah, apakah kau tahu nama orang yang membantu kita?" tanya Ardi.
Karin mengangguk pelan, memikirkan kembali momen ketika Raka datang menyelamatkan mereka. Ia merasa berhutang budi. "Dia meninggalkan kartu nama," ucapnya sambil mengeluarkan dompet dan menyerahkan kartu itu kepada ayahnya.
"Telepon dia, ayah ingin mengucapkan terima kasih," pinta Ardi, mengulurkan kembali kartu nama itu. Karin mengambil napas dalam-dalam, jantungnya berdebar saat ia menelepon nomor yang tertera.
"Halo, siapa ini?" suara Raka di telepon terdengar ramah, meski terkesan sedikit bingung.
"Ini aku, Karin. Bisakah kau pergi ke rumah sakit, Tuan?" katanya, suaranya ragu-ragu, khawatir Raka akan menolak.
"Karin? Siapa?" Raka tidak sempat mengingat namanya karena saat itu ia sangat terburu-buru.
"Ini aku... yang kau bantu selama beberapa hari," jawab Karin, mencoba mengingatkan Raka akan momen itu.
"Oh, iya. Aku baru ingat, ayahmu dirawat di rumah sakit, kan? Ada apa?" Suara Raka menunjukkan perhatian.
"Bisakah kamu menjenguk ke rumah sakit? Ayahku ingin mengucapkan terima kasih, tetapi jika kamu sibuk, tidak apa-apa," ungkap Karin, menggigit bibir bawahnya karena gugup.
"Baiklah, aku akan mencoba datang nanti," Raka menjawab.
“Kalau begitu, terima kasih.” Karin segera menutup telepon, rasa lega menyelimuti hatinya.
"Apa dia bisa datang?" tanya Ardi, harap-harap cemas.
"Ayah, dia sibuk sekali. Bagaimana mungkin dia punya waktu untuk datang ke sini," jawab Karin, sedikit putus asa.
"Maafkan ayahmu, Karin. Aku telah membuatmu menderita," Ardi berkata dengan nada sedih, penyesalan terukir dalam setiap kata yang diucapkannya.
Karin berusaha menahan air mata, mencoba tegar. "Sudahlah, jangan dipikirkan lagi," ucapnya sambil mengusap tangan Ardi.
Di dalam hatinya, Karin ingin marah, ingin mengungkapkan semua ketidakadilan yang mereka alami. Namun, melihat kondisi ayahnya, ia memilih untuk bersikap sabar. "Bagaimana dengan biaya rumah sakit?" tanya Ardi, nada suaranya penuh kecemasan.
"Jangan khawatir, tabunganku masih sedikit, dan aku akan segera mencari pekerjaan." Karin berusaha meyakinkan ayahnya, berusaha menebus semua rasa sakit yang mereka alami dengan tekad dan harapan baru.
Dengan setiap detik yang berlalu, Karin merasa semakin bertekad untuk melindungi apa yang tersisa dalam hidupnya—ayahnya. Setiap tantangan yang mereka hadapi membuatnya semakin kuat, dan ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah menyerah.