Ji An Yi adalah seorang gadis biasa yang mendapati dirinya terjebak di dalam dunia kolosal sebagai seorang selir Raja Xiang Rong. Dunia yang penuh dengan intrik, kekuasaan, dan cinta ini memaksanya untuk menjalani misi tak terduga: mendapatkan Jantung Teratai, sebuah benda mistis yang dapat menyembuhkan penyakit mematikan sekaligus membuka jalan baginya kembali ke dunia nyata.
Namun, segalanya menjadi lebih rumit ketika Raja Xiang Rong-pria dingin yang membencinya-dan Xiang Wei, sang Putra Mahkota yang hangat dan penuh perhatian, mulai terlibat dalam perjalanan hidupnya. Di tengah strategi politik, pemberontakan di perbatasan, dan misteri kerajaan, Ji An terjebak di antara dua hati yang berseteru.
Akankah Ji An mampu mendapatkan Jantung Teratai tanpa terjebak lebih dalam dalam dunia penuh drama ini? Ataukah ia justru akan menemukan sesuatu yang lebih besar dari misi awalnya-cinta sejati yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanilatin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18
Xiang Wei memperhatikan Ji An ,hatinya benar-benar pilu melihat bagaimana Xiang Rong memperlakukan pujaan hatinya.
"Ji An Yi, bagaimana kalau kau pindah ke kediamanku saja? Ada banyak kamar kosong yang bisa kau tempati. Setidaknya kau tidak perlu bertahan di Paviliun Utara yang dingin dan tidak layak itu.”
Ji An tertegun mendengar tawaran itu. Matanya membesar, menatap Xiang Wei dengan ekspresi campuran antara terkejut dan khawatir. Tawaran ini mungkin terdengar seperti solusi, tetapi Ji An tahu betul bahwa tinggal di kediaman Putra Mahkota akan menjadi awal dari berbagai masalah baru.
“Yang Mulia... itu tidak pantas. Jika hamba pindah ke kediaman Anda, maka banyak orang akan salah paham. Bahkan sekarang pun hamba sudah menghadapi banyak spekulasi hanya karena Anda sering membantu hamba,” kata Ji An, suaranya pelan namun tegas.
Xiang Wei mendekat, sedikit menunduk untuk menatap Ji An lebih dekat. “Kau terlalu peduli pada apa yang orang lain pikirkan. Aku hanya ingin kau tinggal di tempat yang lebih baik, Ji An Yi. Ini bukan tentang mereka. Ini tentang kenyamananmu.”
Ji An menghela napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Di dalam hatinya, ada kegelisahan yang tidak bisa ia ungkapkan. “Yang Mulia, hamba sangat menghargai perhatian Anda, tapi hamba tidak bisa meninggalkan tugas hamba. Hamba hanya ingin menyelesaikan apa yang telah hamba mulai... dan kembali ke tempat asal hamba.”
Xiang Wei terdiam sejenak, ekspresi lembutnya berubah menjadi serius. “Tempat asalmu? Kau selalu berbicara seperti itu, seolah-olah kau tidak benar-benar berada di sini. Apa yang sebenarnya kau maksud, Ji An Yi?”
Kata-kata itu menusuk Ji An, membuatnya merasa waspada. Ia terlalu terbawa suasana hingga hampir mengungkapkan sesuatu yang tidak seharusnya. “Hamba hanya berbicara tentang tempat di mana hamba bisa merasa damai, Yang Mulia. Mohon jangan salah paham.”
Xiang Wei menatapnya dalam diam, mencoba memahami maksud di balik kata-katanya. Namun, ia tidak memaksa lebih jauh. “Baiklah. Tapi jika kau butuh bantuan, kau tahu di mana mencariku. Aku akan selalu ada untukmu, Ji An Yi, bahkan jika orang lain tidak menghargaimu.”
Ji An tersenyum tipis, menunduk sedikit untuk memberikan hormat. “Hamba berterima kasih atas perhatian Anda, Yang Mulia. Tapi untuk sekarang, biarkan hamba bertahan di tempat hamba berada.”
Saat Xiang Wei akhirnya pergi, Ji An merasa lega, meskipun hatinya tetap dipenuhi kegelisahan.
---
Di Ruang Kerja Raja Xiang Rong
Xiang Rong sedang membaca gulungan dokumen saat salah satu pelayannya masuk dengan tergesa-gesa. “Yang Mulia, Putra Mahkota baru saja kembali dari taman setelah berbicara dengan Selir Ji An Yi.”
Xiang Rong menghentikan aktivitasnya, tangannya berhenti di atas dokumen. “Apa yang mereka bicarakan?” tanyanya dengan nada datar, tetapi ada nada dingin yang tersembunyi.
Pelayan itu menunduk, tidak berani menatap langsung ke arah Raja. “Putra Mahkota tampaknya menawarkan Selir Ji An Yi untuk pindah ke kediamannya. Tapi Selir Ji An Yi menolak tawaran itu.”
Mendengar itu, Xiang Rong mengepalkan tangannya di atas meja. Meskipun ia tidak menunjukkan emosinya secara langsung, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
“Keluar, dan jangan biarkan siapa pun menggangguku,” ujarnya dingin.
Setelah pelayan itu pergi, Xiang Rong mendongak, matanya memandang kosong ke arah dokumen yang terbuka. Di dalam hatinya, ia merasa marah—bukan hanya pada Xiang Wei, tetapi juga pada dirinya sendiri. Mengapa ia merasa terusik setiap kali Ji An Yi terlibat dengan kakaknya?
“Selir bodoh itu benar-benar tahu cara membuat kekacauan,” gumamnya pelan, tetapi suaranya dipenuhi emosi yang sulit dijelaskan.
---
Malamnya, di Paviliun Utara
Ji An duduk di meja kecil di kamarnya, memandang cahaya lilin yang menerangi ruangan. Lin Li mendekatinya dengan ekspresi khawatir. “Yang Mulia, Anda terlihat sangat lelah. Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Anda?”
Ji An menggeleng pelan. “Aku hanya merasa... semakin lama aku di sini, semakin sulit semuanya. Seolah-olah aku tidak pernah bisa membuat satu langkah maju tanpa ada masalah baru yang muncul.”
Lin Li tersenyum lembut, mencoba menghiburnya. “Tapi Anda selalu mencoba, dan itu yang terpenting. Bahkan jika Raja Xiang Rong tidak melihat usaha Anda sekarang, suatu hari nanti dia pasti akan menyadarinya.”
Ji An hanya tersenyum samar, tetapi dalam hatinya, ia tidak yakin. Bagaimana jika semua usahanya sia-sia? Bagaimana jika ia tidak pernah bisa kembali ke dunia asalnya?
Sementara itu, di kejauhan, bayangan seseorang berdiri mengamati paviliun utara. Xiang Rong memandang dari kejauhan, matanya menyiratkan sesuatu yang tidak pernah ia akui—perasaan yang bertentangan antara rasa cemburu dan penasaran terhadap wanita yang terus-menerus berusaha masuk ke dalam dunianya.
Malam itu, di Paviliun Utara
Ji An memutuskan untuk beristirahat setelah seharian merasa tubuhnya lemah. Ia membaringkan dirinya di atas tempat tidur yang dingin, mencoba memejamkan mata, tetapi pikirannya terus dipenuhi dengan perasaan gelisah. Kilasan tentang Xiang Wei yang selalu datang membantu, Xiang Rong yang terus bersikap dingin, dan permaisuri Yang Xi yang penuh kecurigaan—semuanya membuatnya merasa seperti berada di pusaran badai.
Tiba-tiba, suara langkah kaki yang ringan terdengar di luar paviliun. Ji An membuka matanya, mencoba mendengarkan lebih jelas.
"Lin Li?" panggilnya pelan, tetapi tidak ada jawaban.
Pintu kamarnya perlahan terbuka, dan Ji An segera duduk, waspada. Namun, yang muncul bukanlah pelayan atau penjaga istana, melainkan sosok yang tidak ia duga: Raja Xiang Rong.
“Yang Mulia?” Ji An tergagap, berusaha bangkit dari tempat tidur untuk memberi hormat.
Xiang Rong melangkah masuk dengan tenang, menutup pintu di belakangnya. Wajahnya datar seperti biasa, tetapi ada kilatan aneh di matanya yang sulit diterjemahkan oleh Ji An.
“Jangan repot-repot, tetap duduk saja,” katanya dingin, tetapi suaranya tidak sekeras biasanya.
Ji An kembali duduk dengan canggung, menundukkan kepala. “Yang Mulia, apakah ada yang bisa hamba bantu?”
Xiang Rong mendekati meja kecil di tengah ruangan, menyentuh lilin yang hampir padam, lalu menatap Ji An. “Aku hanya ingin memastikan sesuatu. Kau masih berusaha keras untuk mendapatkan perhatianku, meskipun aku sudah berkali-kali menunjukkan bahwa aku tidak tertarik. Kenapa?”
Pertanyaan itu langsung menusuk hati Ji An. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba merangkai jawaban yang tepat. “Yang Mulia, hamba hanya ingin menjalankan tugas hamba dengan sebaik mungkin. Jika hamba telah mengganggu Anda, hamba mohon maaf.”
Xiang Rong menyipitkan matanya. “Tidak cukup. Jawaban itu terlalu dangkal. Apa alasan sebenarnya? Apa kau berharap menjadi lebih dari sekadar selir? Atau... kau punya rencana lain?”
Kata-kata itu membuat Ji An terdiam. Ia tahu Xiang Rong selalu penuh kecurigaan, tetapi kali ini, tatapannya seolah ingin menembus ke dalam pikirannya.
“Hamba tidak punya rencana apa-apa, Yang Mulia. Hamba hanya ingin memenuhi kewajiban hamba, itu saja,” jawab Ji An akhirnya, suaranya gemetar.
Xiang Rong mendekat, berdiri tepat di depannya. “Setiap kali aku melihatmu, kau mengingatkan aku pada sesuatu... sesuatu yang tidak pernah bisa kuabaikan. Itu membuatku kesal. Kau terus mencoba masuk ke dalam kehidupanku, tetapi aku tidak tahu kenapa aku membiarkanmu tetap di sini.”
Ji An mengangkat wajahnya perlahan, terkejut mendengar kata-kata itu. Dalam hati, ia bertanya-tanya: apakah Xiang Rong mulai merasakan sesuatu padanya?
“Kau tidak perlu menjawab, Ji An Yi,” kata Xiang Rong tiba-tiba, mengalihkan pandangannya. “Aku akan memutuskan apa yang kulakukan denganmu nanti. Untuk sekarang, istirahatlah. Aku tidak ingin kau pingsan lagi di tengah istana. Itu hanya akan menjadi masalah untukku.”
Tanpa menunggu tanggapan, Xiang Rong berbalik dan pergi, meninggalkan Ji An dengan perasaan campur aduk.