"Ayo kita pacaran!" Ryan melontarkan kata-kata tak pernah kusangka.
"A-apa?" Aku tersentak kaget bukan main.
"Pacaran." Dengan santainya, dia mengulangi kata itu.
"Kita berdua?"
Ryan mengangguk sambil tersenyum padaku. Mimpi apa aku barusan? Ditembak oleh Ryan, murid terpopuler di sekolah ini. Dia adalah sosok laki-laki dambaan semua murid yang memiliki rupa setampan pangeran negeri dongeng. Rasanya aku mau melayang ke angkasa.
Padahal aku adalah seorang gadis biasa yang memiliki paras sangat buruk, tidak pandai merawat diri. Aku juga tidak menarik sama sekali di mata orang lain dan sering menjadi korban bully di sekolah. Bagaimana Ryan bisa tertarik padaku?
Tidak! Aku akan menolaknya dengan keras!!!
[update setiap hari 1-2 bab/hari]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 | Kantin
“Kenapa lama sekali? Kamu tidak mengerjakan tugas dari Ibu?” tanya Bu Guru dengan tatapan tajam yang menembus mataku.
Aku merasa seakan-akan jantungku berhenti berdetak.
“Bu-bukan, Bu. Itu …” Suaraku nyaris hilang, terjebak dalam kebingungan yang menguasai pikiranku.
Apa yang harus aku katakan? Tugas yang sudah aku selesaikan dengan susah payah tiba-tiba menghilang begitu saja. Jujur saja, aku bahkan lupa mengeceknya lagi pagi tadi, sebelum berangkat ke sekolah. Aku hanya bisa menundukkan kepala, merasa malu, tidak tahu harus berbuat apa.
Di sampingku, Ryan, mendekatkan wajahnya dan berbisik, “Aura! Bukumu jatuh.”
Dia menunjuk ke arah kakiku. Aku menunduk dengan cepat, melihat sebuah buku di bawah meja. Dengan cepat, aku meraihnya.
Aku tidak sadar bahwa buku itu bukan milikku, melainkan milik Ryan. Saat aku mengangkatnya, aku menangkap senyuman kecil darinya yang menatapku. Senyum itu terasa seperti sebuah kode, seolah dia ingin membantuku dengan situasi yang sedang aku hadapi sekarang.
“Jadi, menurut saya, jawaban nomor 5 adalah …” Aku mulai membaca jawaban di buku milik Ryan.
Aku tahu ini tidak benar, tapi aku merasa seolah tidak ada pilihan lain. Tugas ini harus segera selesai, dan aku tidak bisa menghadapinya tanpa bantuan.
Tak berapa lama, suara bel berbunyi keras, menandakan bahwa waktu istirahat telah tiba.
Kring …
Aku segera menghampiri meja Ryan. Dia sedang sibuk dengan sesuatu di mejanya, memejamkan mata, dan mengenakan earphone. Dia terlihat begitu fokus, seolah tidak menyadari kehadiranku di depannya.
“Ini bukumu … terima kasih,” kataku pelan, berusaha membuka mulutku yang terasa kaku dan tidak biasa berbicara pada orang lain.
Aku merasa gugup. Ryan tidak mengangkat pandangannya, tetap dengan earphone-nya, seolah aku tidak ada di sana. Aku pun langsung meletakkan buku itu di atas mejanya tanpa menunggu respon darinya, bergegas pergi menuju kantin.
Pikiranku terus berputar tentang Ryan. Kenapa dia selalu terlihat diam-diam baik padaku? Kenapa setiap kali aku dalam kesulitan, dia seolah muncul untuk memberikan bantuan?
Ah, mungkin dia hanya berniat membantu, tidak lebih. Aku tidak boleh terlalu terbawa perasaan. Aku tahu, Ryan adalah cowok yang paling populer di sekolah ini, dan aku hanyalah Aura, cewek biasa yang sering diabaikan. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku merasa dia berbeda. Apakah aku hanya berhalusinasi?
...»»——⍟——««...
Aku berjalan menuju kantin dengan membawa tas bekal yang aku bawa dari rumah. Suara langkah kakiku menggema di lorong-lorong yang sepi, tanpa ada teman di sampingku. Suasana ini sudah sangat biasa bagiku.
Setiap hari, aku memilih untuk duduk di meja makan yang paling pojok, jauh dari keramaian. Di situlah aku merasa nyaman, bisa menikmati makanan tanpa ada gangguan dari siapa pun.
Hari ini, aku membawa nasi goreng dan beberapa potong ayam krispi yang masih hangat. Aku memasaknya sendiri di rumah pagi tadi. Makanan itu adalah satu-satunya hal yang bisa membuatku merasa sedikit lebih baik, meskipun hatiku masih dipenuhi perasaan bingung.
Aku merasa sangat aneh dengan diriku sendiri. Sejak kapan aku menjadi begini? Sejak kapan aku mulai terlalu memperhatikan Ryan?
Baru saja aku membuka bekalku dan mencicipi suapan pertama, tiba-tiba suasana tenang itu buyar. Dari belakang, cewek bar-bar yang tadi pagi mengusikku muncul lagi. Dengan tangan yang dia sandarkan di pundakku, dia menatapku dengan tatapan tajam, seolah aku adalah mangsa yang harus dihancurkan.
“Hei, Aura jelek! Kamu nggak pantas berada di sisi Ryan!” teriaknya dengan nada mengejek yang membuat semua orang di sekitar menoleh.
Tanpa ampun, dia meraih kotak bekalku dan menumpahkannya tepat di wajahku.
Plak!
Nasi goreng dan ayam krispi itu berhamburan, mengenai wajah dan tubuhku. Aku hanya bisa terkejut, tidak tahu harus berkata apa.
“Aww!” rasanya bukan hanya sakit fisik karena makanan yang menimpa wajahku, tapi juga rasa malu yang begitu dalam.
Mereka tertawa terbahak-bahak, melihatku yang hanya bisa terdiam di tempat, dengan pipi penuh sisa nasi dan ayam.
Mereka berlalu begitu saja, meninggalkanku yang masih tertegun dan terperangah. Darahku mendidih, marah dengan perlakuan mereka, tapi aku tahu, aku tidak bisa melawan cewek bar-bar itu seorang diri. Mereka terlalu banyak, terlalu kuat. Aku merasa begitu hina, tetapi aku tahu, tidak ada yang bisa aku lakukan.
Aku berlari menuju toilet, ingin membersihkan wajahku yang penuh dengan sisa makanan itu. Setiap langkah yang aku ambil terasa berat, seperti beban yang tak kunjung hilang.
Di lorong yang aku lewati, tiba-tiba seseorang memanggil namaku, “Aura!”
Suara itu membuatku berhenti sejenak. Aku mengenali suara itu. Ryan. Aku melihatnya, dan dia melihatku dengan tatapan penuh kebingungan.
“Ada apa dengan wajahmu?” tanyanya dengan nada khawatir.
Oh tidak, kenapa dia muncul sekarang? Kenapa harus di saat seperti ini? Aku merasa sangat malu. Aku ingin segera pergi dari situasi yang memalukan ini, tapi Ryan mengeluarkan sebungkus tisu dari sakunya dan menyerahkannya padaku.
“Ini, bersihkan wajahmu,” katanya lembut, sambil memberiku sebungkus tisu.
Aku hanya mengangguk dan berlari menuju toilet, membasuh wajahku di wastafel. Air dingin yang mengalir itu seolah membersihkan bukan hanya wajahku, tapi juga sedikit rasa maluku.
Setelah aku membersihkan wajahku dengan tisu yang diberikan Ryan, aku menatap diriku di cermin. Betapa buruknya penampilanku. Cewek bar-bar itu tidak salah, wajahku memang tidak sempurna dan cenderung jelek. Aku merasa aneh, bagaimana mungkin seseorang seperti Ryan peduli padaku?
Saat aku keluar dari toilet, aku melihat Ryan berdiri di samping pintu kamar mandi cewek. Apa dia sedang menungguku di depan toilet perempuan? Perilakunya sangat aneh untuk dilakukan oleh seorang cowok populer seperti dia.
“Sudah selesai?” tanyanya dengan lembut, matanya masih menatapku dengan rasa penasaran yang jelas terlihat.
“Iya, terima kasih,” jawabku singkat, sambil menyerahkan kembali tisu yang diberikannya.
Dia menggeleng, senyumnya kembali muncul.
“Simpan saja itu untukmu,” katanya.
Kemudian, dia menyodorkan sekotak susu coklat yang dipegangnya dari tadi.Aku terkejut, bingung.
“Itu untukku?” tanyaku, menatap susu coklat itu dengan penuh kebingungan.
Rasanya lagi-lagi aneh, kenapa dia tiba-tiba memberiku sekotak susu coklat? Aku merasa tidak pantas menerimanya.
“Bukan. Ini untuk Isabella,” jawabnya, aku merasa seperti ada sesuatu yang mengganjal di dadaku.
“Kalau begitu, berikan saja sendiri padanya,” kataku dengan nada sedikit kesal.
Aku berusaha menahan perasaan yang mendalam, yang tiba-tiba muncul begitu saja. Memang tadi Isabella berbuat begitu gara-gara siapa? tentu saja Ryan.
Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Aku tidak ingin terbawa perasaan. Tanpa berlama-lama, aku melangkah pergi dari tempat itu, mencoba melupakan apa yang baru saja terjadi.
Namun, tiba-tiba Ryan menarik lenganku, membuatku berhenti mendadak dan tidak membiarkanku pergi begitu saja.
“Aura, tunggu!”
...»»——⍟——««...