"Kamu harus menikah dengan Seno!"
Alea tetap diam dengan wajah datarnya, ia tidak merespon ucapan pria paruh baya di depannya.
"Kenapa kamu hanya diam Alea Adeeva?"
hardiknya keras.
Alea mendongak. "Lalu aku harus apa selain diam, apa aku punya hak untuk menolak?"
***
Terlahir akibat kesalahan, membuat Alea Adeeva tersisihkan di tengah-tengah keluarga ayah kandungnya, keberadaannya seperti makhluk tak kasat mata dan hanya tampak ketika ia dibutuhkan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Favreaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20
"Ilyas, ini sudah lebih dari seminggu tapi kenapa dia belum menghubungiku. Apa kamu tidak salah meletakkan kartu nama atau malah kamu tidak meletakkan kartu namaku di sana?" tanya Seno dengan mata menyipit curiga.
"Mungkin perawatan wajah yang Anda berikan cocok jadi Nona Alea tidak menghubungi anda untuk menyampaikan keluhan!" jawab Ilyas tenang.
Seno mengangguk mengerti, menerima alasan masuk akal yang diberikan Ilyas. "Baiklah, kamu boleh keluar!"
Padahal jika seandainya Seno tahu Alea sama sekali belum menyentuh perawatan yang dia berikan, entah akan seperti apa reaksinya.
Ilyas mengangguk sopan lalu meninggalkan ruang kerja Seno.
Pagi-pagi sekali Seno mengubungi Ilyas dan memintanya datang, Ilyas pikir Seno ingin membicarakan masalah pekerjaan. Namun, sesampainya di sana Seno sama sekali tidak membahas pekerjaan dan malah menanyakan perihal kenapa Alea sampai sekarang belum menghubunginya.
"Kenapa? Apa ada masalah?" Eyang Elaine mencegat Ilyas ketika pria hendak meninggalkan kediaman Ravindra.
Ilyas membungkuk sopan. "Tidak, Nyonya. Tuan Seno hanya membicarakan masalah pribadi!"
Eyang Elaine menyipitkan matanya penuh rasa ingin tahu. "Apa?"
"Maaf, Nyonya!"
Eyang mendengus, percuma mencecar Ilyas karena pria itu tidak akan mengaku. "Ya, sudah kamu pergi sana!"
Ilyas mengangguk sopan dan berlalu dari sana.
Eyang Elaine hendak pergi ke kamar Paman Emir, tetapi di tengah jalan dirinya berpapasan dengan Seno yang tengah mendorong kursi rodanya menuju meja makan.
"Eyang mau kemana?"
"Mau kemana lagi kalau bukan membangunkan pamanmu yang tidurnya seperti kebo mati."
Seno hanya manggut-manggut dan tidak mengatakan apa-apa, sebaliknya ia meneruskan mendorong kursi roda yang didudukinya ke tempat yang hendak dituju.
Sedangkan Eyang meneruskan langkahnya menuju lift yang akan membawanya dengan cepat ke lantai dua tempat kamar Paman Emir.
"Kenapa? Mommy kira aku belum bangun?" ketus Paman Emir yang baru saja keluar dari kamarnya dengan penampilan yang sudah rapi.
Eyang Elaine menilai penampilan Paman Emir dari atas hingga bawah. "Bagus kalau kamu sudah siap, jadwal kita hari ini sangat padat!"
Paman Emir mencebik karena lagi-lagi menjadi supir pribadi Eyang yang akan mengantarkan wanita itu ke mana-mana.
Seno, Paman Emir dan Eyang Elaine menikmati sarapan dengan damai. Rutinitas yang wajib di lakukan di kediaman Ravindra adalah sarapan bersama.
"Hari ini Eyang akan menjemput Alea di rumahnya. Eyang sudah mengatur janji temu dengan pegawai butik yang akan merancang gaun pernikahan untuknya!"
Seno hanya mengangguk, ia tidak mau repot-repot mengurusi hal-hal seperti itu. Ia menyerahkan dan mempercayakan segalanya pada Eyang.
"Sepertinya ada yang keberatan menjadi supir pribadi Eyang hari ini!" ujar Seno seraya melirik Paman Emir menyeringai.
"Biar saja, kalau sampai Pamanmu membuat masalah lagi seperti masalah hotel kemarin, Eyang tidak akan mengizinkannya kembali ke London, biarkan dia menetap lebih lama di Indonesia!" jawab Eyang santai.
Paman Emir mendelik tak terima. "Tidak bisa, Ma!"
"Apa?" tanya Eyang Elaine melotot seraya berbicara dengan nada ketus.
Paman Emir menghembuskan nafas kasar berusaha meredam rasa kesalnya lalu memberikan senyum manis yang kentara dipaksakan dan hasilnya malah terlihat aneh.
"Tidak, Ma-... Hari ini aku akan menjadi anak yang patuh melayani keinginan ratu kita sepenuh hati!"
Eyang Elaine hanya mendengus, meletakkan bekas alat makan yang baru saja ia gunakan lalu beranjak menuju kamarnya.
Sedangkan Seno tersenyum samar, ia tidak sabar melihat wajah tertekan Paman Emir setiap kali pulang dari menemani Eyang beraktivitas di luar rumah.
"Puas kamu!" hardik Paman Emir pada Seno.
"Paman 'kan yang mendukung Eyang untuk membuatku menikah, jadi nikmati hari Paman yang melelahkan!" Seno terkekeh lalu pergi dari sana.
Paman Emir hanya bisa pasrah dan menyemangati dirinya sendiri. "Tenang Emir, ini tidak akan lama. Tiga Minggu lagi, ya tiga Minggu lagi kamu akan bebas!"
Demi hidup bebas dan mengembangkan hobi melukisnya daripada mengurus perusahaan, Paman Emir rela menjadi pesuruh sang ibu untuk sementara. Nanti, ketika selesai acara pernikahan Seno ia akan mengadakan pesta perpisahan dengan sang ibu dengan sangat meriah, karena wanita yang telah melahirkannya itu tidak punya alasan lagi untuk menahannya di Indonesia.
Eyang Elaine sengaja memilih hari weekend untuk mengajak Alea melakukan fitting baju sebab ia tahu jika pada hari itu Alea tidak ada jadwal kuliah.
"Mama sudah kasi tahu orang di sana?" tanya Paman Emir yang saat ini tengah mengendarai mobil.
Eyang Elaine menggeleng. "Ini hari Minggu, Ale tidak ada jam kuliah. Lagipula Eyang tidak punya nomor telepon mereka!"
Paman Emir menepuk jidatnya lalu menatap Eyang Elaine dengan ekspresi wajah penuh keluhan.
"Ma! Bagaimana kalau Alea tidak ada di rumah, siapa tahu dia sedang bepergian, bisa jadi dia sedang jalan-jalan dengan teman-temannya atau ke mana sajalah pokoknya. Kita jadi buang-buang waktu sudah jauh-jauh ke sana tapi aleanya nggak ada!"
"Halah, bisa nggak kamu itu berprasangka yang baik. Tapi kalaupun Alea nggak ada ya gampang, kita tinggal pulang lagi."
Paman Emir tercengang mendengar begitu mudahnya Eyang Elaine berbicara.
Selanjutnya Paman Emir memilih diam dan fokus mengendarai mobil. Toh percuma berdebat dengan Eyang karena dirinya sudah ditakdirkan menjadi pihak yang mengalah.
Memasuki gerbang kediaman Wicaksana, mobil yang dikendarai Paman Emir masuk dengan mudah. Mang Darjo yang bekerja sebagai satpam mengenali Paman Emir sebagai salah satu pria yang datang bersama rombongan seminggu yang lalu.
Mang Darjo masuk ke dalam rumah berniat memberitahukan kedatangan Paman Emir dan Eyang Elaine pada salah satu anggota keluarga Wicaksana.
"Dimana Alea ya, Mir?" Eyang Elaine celinga-celinguk sembari mengitari ruang tamu.
"Mungkin di dalam!" jawab Paman Emir seraya mendudukkan dirinya di sofa empuk berbahan kayu jati terbaik.
"Rumah sebesar ini kok sepi ya, Mir. Apa mereka nggak punya asisten rumah tangga?"
"Mana aku tahu, aku bukan salah satu dari anggota keluarga mereka!"
Eyang mendelik sebal mendengar setiap jawaban Paman Emir. Ia memilih berhenti bertanya dan duduk dengan tenang menunggu tuan rumah keluar.
Di dalam rumah memang cukup sepi seperti kata Eyang Elaine, Mang Darjo menuju dapur mencari keberadaan Bi Ningsih atau Sella.
"Sih!"
Bi Ningsih yang sedang membereskan meja makan bekas sarapan menoleh.
"Ada apa, Mang?"
"Itu, kamu beritahu Den Arka atau siapapun, diluar ada tamu!"
"Siapa?"
"Itu, rombongan yang minggu lalu datang melamar Alea!"
Bi Ningsih terbelalak. "Kamu nggak salah lihat 'kan?"
"Enggak, mataku belum rabun, Sih!" jawabnya setengah jengkel.
"Ya sudah, kamu kembali aja ke pos satpam biar aku yang mencari Den Arka. Sepertinya beliau tadi nggak ke mana-mana!"
"Biarpun Den Arka pergi tapi 'kan masih ada anggota keluarga yang lain!"
"Iya!" Bi Ningsih lekas menghentikan pekerjaannya untuk sementara dan berjalan cepat menuju kamar Arka dan Raya.
Mang Darjo keluar menghampiri Paman Emir dan Eyang Elaine.
"Maaf, mohon tunggu sedikit lagi. Mungkin sebentar lagi mereka turun. Saya permisi dulu, Tuan, Nyonya!"
Keduanya mengangguk dan mempersilahkan Mang Darjo pergi.
Tak lama kemudian Arka bersama Raya berjalan tergesa-gesa menuju ruang tamu. Keluarga Ravindra sama sekali tidak mengabari perihal kedatangan mereka dan tiba-tiba salah satu asisten rumah tangga mengatakan bahwa Keluarga Ravindra sudah berada di rumahnya, tentu saja hal itu membuat mereka berdua terkejut.
"Pak Emir, Nyonya!... Maaf jika kami tidak menyambut kedatangan kalian!" serunya menyalami kedua tamunya bergantian.
"Tidak apa-apa Pak Arka, salah kami juga datang tanpa pemberitahuan." Keduanya berdiri menyambut jabatan tangan tuan rumah.
"Ah, iya tidak apa-apa. Mari silahkan duduk!" Arka terkekeh canggung. "Saya jadi bertanya-tanya, ada ...," Arka ingin bertanya tapi ragu, untuk itu kalimatnya hanya menggantung dan tidak terselesaikan.
"Kami mengerti jadi begini, Pak Arka, maksud kedatangan kami berdua ke sini adalah untuk menjemput Alea. Kami berencana membawanya ke butik untuk melakukan fitting baju pengantin!"
"Fitting baju pengantin?" Raya bertanya terkejut.
Eyang Elaine mengangguk yakin karena memang itulah kenyataannya.
"Sayang, buatkan mereka minum dan panggilkan Alea ke sini!" titahnya.
Raya mengangguk dan beranjak ke belakang.
"Kamu itu becus nggak sih?" bentak Sella seraya mendorong gagang pel hingga mengenai kening Alea.
"Kalau menurut Mbak Sella aku nggak becus, lebih baik mbak Sella sendiri yang kerjakan!" Alea meraih gagang pel yang tadi sempat mengenainya akibat lemparan Sella. Kini Alea melempar balik gagang tersebut dan berhasil mengenai lengan Sella sebab wanita itu menutup wajahnya untuk melindungi menggunakan lengan.
Alea hendak berbalik pergi meninggalkan Sella tapi Sella yang wajahnya memerah karena marah kembali meraih gagang pel dan melemparkannya lagi ke arah Alea.
Puk!!
Lemparan Sella mengenai tepat punggung Alea yang berhasil menghentikan langkah gadis itu.
"Jangan sombong kamu, Alea. Statusmu cuma anak tidak sah di keluarga ini, jangan bertingkah seperti majikan, sangat tidak pantas! ... Nih, buang ini!" Sella meletakkan dua kantong besar berisi sampah organik sisa-sisa makanan ke depan Alea dengan kasar.
Alea menghembuskan nafas panjang menekan emosinya, ia tidak ingin mendebat yang berujung keributan. Sejak pertengkarannya dengan Arka beberapa hari yang lalu, Alea terus menghindari seluruh keluarga Wicaksana. Tatapan mengejek mereka saat melihatnya membuatnya muak.
"Tunggu apalagi? Sana bawa pergi dan
buang!". Titah Sella ketus.
Alea tidak mengatakan apa-apa, ia meraih kedua kantong tersebut dan membawanya di tangan kanan dan kirinya. Menentengnya melewati pintu belakang dan membawanya keluar, menaruhnya di tempat sampah yang tersedia di luar gerbang, setiap dua hari sekali truk sampah akan datang mengambilnya.
"Alea mana, Sel?" Saat Raya memasuki dapur hanya ada Sella di sana.
"Ke depan, Nyonya, lagi buang sampah!"
Raya terkejut dan berubah panik. "Dia lewat mana?"
Meskipun heran dengan reaksi Raya, Sella tetap tidak bertanya. "Lewat pintu samping."
"Susul dia dan pastikan saat kembali dia tetap lewat pintu samping. Suruh dia mandi dan pakai baju bagus, kalau sudah minta dia ke ruang tamu!"
Sella mengangguk malas, tapi tetap pergi menyusul Alea meski bibirnya terus ngedumel. Setelah kepergian Sella, Raya mulai menyeduh teh sendiri dan membawanya ke depan.
"Enak aja aku di suruh nyusulin anak itu, ogah banget. Lagian kenapa juga mereka semua tiba-tiba berubah jadi baik?" Sella menggerutu lalu mampir ke taman samping dan duduk di sana, menikmati udara dan matahari pagi.
"Segaarr!!" Harum bunga-bunga memang sangat menenangkan bagi siapapun tak terkecuali juga Sella.
Dua menit berdiam dari tiba-tiba muncul ide jahat di benaknya. "Lebih baik nggak usah aku susulin aja si Alea itu, biar dia di amuk Nyonya Raya dan aku tinggal kasi alasan kalau Alea yang nggak percaya dan nggak mau nurut. Beres! ... Pasti Nyonya lebih percaya sama aku."
Sella menyeringai lalu memejamkan matanya kembali menikmati harum bunga dan sinar matahari pagi yang menyehatkan.
"Seandainya aku menjadi Nyonya di rumah ini, pasti hidupku lebih enak dari ini!" gumamnya seraya senyum-senyum sendiri.
Di ruang tamu, Eyang Elaine berulang kali melihat jarum jam pada Michael Kors coklat berdesain elegan dan mewah yang melingkar di pergelangan tangannya.
Arka yang melihatnya menjadi segan, ia menoleh pada Raya dan berbicara.
"Coba kamu panggil lagi Alea, sudah lewat 30 menit tapi anak itu gak keluar-keluar. Sedang apa sebenarnya dia--," titahnya pada Raya yang saat ini sedang duduk di sampingnya.
Raya mengangguk. Baru saja hendak berjalan ke belakang, Alea memasuki ruang tamu dari arah depan. Bajunya lusuh dan tubuhnya penuh keringat, dia berjalan menunduk sembari melipat kantong di tangannya dan ia sama sekali tidak menyadari keberadaan mereka semua di sana.
Jika Paman Emir dan Eyang Elaine tercengang dengan penampilan Alea yang menyedihkan sebagai salah satu anak dari keluarga terpandang. Maka Arka dan Raya berlaku sebaliknya.
Arka mengepalkan tangannya erat dan netranya melotot tajam. Ia sangat marah karena menganggap Alea sengaja ingin mempermalukan dirinya di hadapan keluarga Ravindra dengan berpenampilan seperti itu.
Sedangkan Raya terlihat panik dan tergesa-gesa menghampiri Alea sebelum Arka meledak karena amarah, yang akan semakin memperburuk citra mereka di hadapan keluarga Ravindra.
"Alea kamu dari mana, Mama sudah bilang jangan berpenampilan seperti ini meskipun di rumah, tidak baik, Nak!" serunya seraya mengamit lengan Alea dan menuntunnya masuk.
Alea mengerutkan keningnya, heran dengan tingkah Raya yang tiba-tiba berubah perhatian, sampai-sampai terasa sangat aneh karena juga mempermasalahkan penampilannya yang seharusnya Raya tahu, jika sehari-hari memang seperti itu penampilan Alea.
"Ayo masuk, Mama bantu membersihkan diri!" Raya sedikit meremas lengan Alea dan menyeret gadis itu.
"Tunggu!" Eyang Elaine yang baru saja sadar dari keterpakuannya karena terkejut menghentikan Raya.
Alea menoleh dan tersentak melihat Eyang Elaine ada di sana.
'Ternyata mereka alasan Raya berubah baik!' Alea mendecih dalam hati.
"Biar saya yang menemani Alea membersihkan diri dan berganti pakaian. Ayo, Nak Alea ikuti Eyang, tunjukkan dimana kamarmu!" Eyang meraih lengan Alea yang membuat tangan Raya terlepas. Belum sempat Raya beraksi, Eyang Elaine sudah membawa Alea masuk dan Alea benar-benar menunjukkan arah kamarnya.
Raya hanya bisa menatap punggung keduanya dengan cemas. Ia lalu meminta izin pada Arka untuk pergi ke kamar Bianca.
"Ini kamarmu?"
Alea mengangguk. Meraih handuk dan pamit ke kamar mandi, tidak sopan dan tidak nyaman rasanya jika mengobrol dalam keadaan tubuh kotor. Ia baru saja membersihkan debu, menyapu dan mengepel lantai jadi tidak heran jika tubuhnya bermandikan keringat.
Eyang mengamati kamar Alea yang kosong. Hanya ada satu ranjang kecil, lemari kecil juga meja yang menyatu dengan rak buku. Di atas meja tidak ada peralatan kecantikan seperti wanita pada umumnya, yang ada hanya tumpukan buku dan kerta-kertas juga alat tulis serta sebuah laptop.
Eyang menghela nafas panjang dan bergumam. "Sama sekali tidak ada barang-barang. Apa dia benar-benar tersisihkan di keluarganya sendiri?"
Eyang duduk di ranjang, mengambil beberapa potret barang-barang usang yang ada di kamar Alea.
"Eyang, maaf jika harus menunggu," ucap Alea yang telah keluar dari kamar mandi, ia hanya mengenakan handuk karena lupa membawa pakaian ganti.
Meskipun sama-sama perempuan tapi sejujurnya ia merasa malu.
"Tidak apa-apa, seharusnya malah Eyang yang minta maaf karena datang tiba-tiba tanpa pemberitahuan. Eyang ingin mengajakmu fitting baju pengantin di butik langganan Eyang!"
Alea tertegun. "Baju pengantin? Butik? Apakah perlu?"
"Loh, tentu saja perlu. Jangan berpikir pesta pernikahanmu dilakukan secara sederhana!"
Alea sekali lagi tertegun, ia pikir ini hanya pernikahan rahasia seperti di dalam novel-novel yang selalu di ceritakan Ivy padanya. Ternyata lebih dari itu dan Alea tidak bisa mendeskripsikan perasaannya sekarang, bahagia atau malah sedih.
"Sudah, cepat berganti pakaian, tubuhnya nanti kedinginan. Ayo Eyang bantu memilih baju!" ajak Eyang Elaine antusias.
Alea berjalan menuju lemari dengan langkah enggan. Ragu-ragu ia membuka lemari pakaiannya, ia harap Eyang tidak terkejut melihat isinya.
Namun, sepertinya harapan Alea tidak terjadi, nyatanya sekarang Eyang Elaine sedang menutup mulutnya yang menganga karena terkejut.
"Nak Alea, ini .?" Mata Eyang berkaca-kaca.