Narendra sang pengusaha sukses terjebak dalam situasi yang mengharuskan dirinya untuk bertanggung jawab untuk menikahi Arania, putri dari korban yang ia tabrak hingga akhirnya meninggal. Karena rasa bersalahnya kepada Ayah Arania akhirnya Rendra bersedia menikahinya sesuai wasiat Ayah Arania sebelum meninggal. Akan tetapi kini dilema membayangi hidupnya karena sebenarnya statusnya telah menikah dengan Gladis. Maka dari itu Rendra menikahi Arania secara siri.
Akankah kehidupan pernikahan mereka akan bahagia? Mari kita ikuti ceritanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rose Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Cemburu?
"Gladys-istri saya sama sekali tidak mengetahui apapun tentang pernikahan kedua ini. Mungkin untuk sementara ini hubungan kita harus disembunyikan terlebih dahulu dari keluarga saya. Saya belum sanggup untuk berterus-terang serta menyakiti hati Gladys untuk saat ini. Maka dari itu saya mohon kepadamu untuk tetap tutup mulut sampai keadaan memungkinkan." Ucap Rendra dengan keterpaksaan yang tak berdaya.
"Jadi... Aku seorang pelakor?" Ucap Arania tertunduk pilu.
Tes..
Tes..
Tes...
Air matanya yang deras menerobos dari mata hingga ke pangkuannya. Entah telah berapa banyak air mata yang gadis itu tumpahkan sejak kematian Ayahnya hingga mendengar kabar yang mengiris hatinya saat ini. Ditambah lagi tiba-tiba rasa bersalahnya menyeruak di hatinya. Ia menganggap dirinya adalah wanita jahat yang telah mengambil suami orang. Sungguh hal itu tidak bisa membuatnya bahagia. Tidak mungkin dirinya menari di atas penderitaan wanita lain.
Sejenak menumpahkan emosinya, Arania memberanikan diri untuk menatap Rendra yang juga terlihat wajah gusarnya.
"Ceraikan aku saja, Tuan!"
Deg!
Rendra yang tadi terlihat gusar refleks membalas tatapan mata cantik yang nelangsa itu. Menatapnya lekat mencari kesungguhan di wajah cantik itu.
"Apa?... Cerai?..." Ujar Rendra dengan suara tercekat di tenggorokan.
Arania menganggukkan kepalanya dengan pasti. Memberi keyakinan kepada Rendra bahwa perkataan yang diucapkan memang benar-benar keinginannya.
"Ya, Tuan. Mari kita bercerai saja. Aku tidak mau jadi seorang pelakor. Aku tidak mau menjadi penjahat yang tiba-tiba merebut kebahagiaan wanita lain. Aku tidak mau hidup bahagia di atas penderitaan wanita lain. Aku... Tidak mau itu, Tuan."
"Lalu bagaimana dengan wasit Aba_"
"Kita abaikan saja. Anda sudah memenuhi wasiat itu dengan menikahi ku walaupun hanya sesaat."
"Tapi saya telah berjanji akan menjaga serta membersamai mu dengan menjadikan mu istri, Arania."
"Itu lupakan saja. Aku akan berusaha baik-baik saja walaupun hidup sendirian. Aku akan mencari pekerjaan. Aku pasti bisa, percayalah padaku, Tuan." Ucap Arania dengan senyum ketegarannya.
"Tidak. Saya akan tetap mempertahankan mu, Arania. Itu adalah janji saya kepada Abahmu. Saya akan tetap melaksanakan janji itu."
"Tapi, Tuan.."
"Tidak ada tapi-tapian. Kamu tenang saja semuanya akan baik-baik saja asal kita bisa merahasiakan status kita. Kamu akan tetap menjadi istri saya dan tanggungjawab saya. Setuju ataupun tidak setuju saya akan membawa mu ke Jakarta bersama saya." Tegas Rendra membuat gadis cantik itu tak bisa berkutik di hadapannya.
"Lalu, dengan status apa Anda memperkenalkan ku kepada istri Anda nanti?" Tanya Arania membuat Rendra sedikit berpikir. Tidak mungkin Arania akan dipisahkan darinya dengan tinggal di apartemennya. Itu sama saja melepaskannya dari penjagaan serta pantauannya. Karena gadis ini masih teramat muda untuk menjalani hidup mandiri. Apalagi sebelumnya tidak pernah sekalipun ia terlepas dari penjagaan Abahnya hingga saat kemarin baru saja menerima surat kelulusan Sekolah Menengah Atasnya.
"Saya akan memperkenalkan mu sebagai pelayan di rumahku." Ujar pria dewasa yang baru saja memasuki usia kepala 3-nya.
"Apa.. pelayan?" Arania terkejut dengan keputusan pria yang telah menikahinya itu. Bagaimana mungkin dia akan dianggap sebagai pelayan di rumah suaminya sendiri dan hidup bersama istri pertamanya. Mana mungkin hal itu akan terjadi padanya. Entah derita apa yang akan ditemuinya nanti di rumah suaminya.
"Lebih baik aku tetap di sini saja, Tuan."
"Kenapa? Apa kamu tersinggung dengan keputusan saya yang menjadikan mu pelayanku? Itu hanya penyamaran saja, kamu hanya perlu berpura-pura bekerja di depan Gladys. Tidak ada cara lain yang memungkinkan mu agar bisa tinggal bersama saya selain ini, Arania."
"Bukan begitu, tapi aku tidak mungkin tinggal bersama istri pertama Anda dalam satu atap. Itu tidak akan baik."
"Saya bisa saja menempatkan mu di apartemen. Tapi, itu nanti akan membuat Gladys semakin curiga karena saya pasti akan sering mencuri-curi waktu untuk memantau mu. Maka dari itu sebaiknya kita hidup satu atap di rumahku walaupun dengan kamar yang terpisah. Sehingga mempermudah saya untuk menjaga mu sesuai keinginan Abahmu."
Hati Arania semakin sedih mendengar penuturan Narendra. Ia semakin sadar memang posisinya saat ini bukanlah siapa-siapa bagi pria ini. Pernikahan ini hanyalah demi penghalalan untuk bisa tinggal bersama saja, tidak lebih.
Arania menghapus air matanya dengan tegar. Wajah yang tertunduk ia paksa angkat untuk menatap wajah suaminya. "Baiklah kalau itu keputusan Anda. Saya akan berusaha patuh dan berlapang dada untuk menerimanya." Ucapnya tegar dengan mata yang berkaca-kaca.
"Baiklah kalau begitu bersiaplah untuk berkemas. Kita akan berangkat nanti malam ke Jakarta." Titah Narendra.
**
Sore harinya sebelum menempuh perjalan ke Jakarta, mereka harus pergi ke bengkel terlebih dulu karena mobil Rendra yang kemarin mengalami kecelakaan perlu di servis dan diperbaiki di bengkel yang berada di kota. Maka dari itu mereka memesan ojek untuk mengantar mereka ke kota untuk mengambil mobilnya.
Dua orang tukang ojeg sekitar telah memasuki pelataran rumah kecil Arania.
Arania yang saat ini sudah siap dengan barang bawaannya serta hijab yang dikenakannya terlihat sangat pas di wajah cantiknya yang mungil. Sebenarnya Rendra sejak sedari tadi tanapa sepengetahuan Arania telah mencuri-curi pandang pada istri sirinya itu, sebelum kemudian perhatiannya terfokus pada pesan-pesan di ponselnya.
"Tuan, kita berangkat sekarang? Tukang ojek sudah datang." Ucap Arania pada suaminya yang sedang sibuk pada ponselnya.
'Mungkin dia sedang sibuk berkirim pesan dengan istri pertamanya.' ujar hati Arania.
"Hemm.."
Pria itu hanya bergumam tanpa menunjukan reaksi lainnya. Lantas ia bangkit kemudian mengenakan jaket yang berada di sampingnya.
Arania hanya menghela nafasnya melihat suaminya yang acuh padanya. Dengan membawa tas baju yang besar dan berat gadis itu mendahului Rendra yang masih sibuk dengan urusannya sendiri.
Arania terlihat kesusahan membawa barang-barang itu. Salah satu tukang ojeg yang tak lain adalah tetangganya sendiri sedikit berlari menghampiri Arania.
"Biar aku saja yang membawanya, Ara?" Kata Ujang-pengendara ojek.
"Ah iya. Terimakasih Jang." Ucap Arania pada laki-laki yang terlihat hitam manis itu.
"Berapa lama kira-kira kamu di Jakarta, Ara?" Tanya Ujang.
"Entahlah.. Aku nggak tahu." Pandangan Arania menoleh ke belakang melihat suaminya yang masih berdiri di tempat. Terlihat wajah seriusnya yang dingin sedang mendominasi saat ini. Arania masih saja merasa diabaikan oleh pria itu. Lagi-lagi ia menghela nafasnya dengan kasar, kemudian melanjutkan perbincangannya dengan si Ujang.
Tanpa sepengetahuan Arania sebenarnya Rendra sudah selesai dengan ponselnya sejak tadi. Namun saat ia tahu Arania terlihat akrab dengan laki-laki lain, dirinya tidak menyukainya. Ada rasa yang tak nyaman dalam hatinya kala Arania berbincang dengan pria lain. Rahangnya mengeras, jemarinya mengepal kuat tersembunyi dalam saku celananya.
Tak lama tukang ojek yang lainnya menghampiri Rendra. "Apakah sudah siap, Tuan. Ada barang-barang yang perlu dibawakan?"
"Tidak." Jawabnya dingin. Kemudian melenggang ke luar serta mengunci pintu.
'Busett nih orang, ganteng-ganteng dinginnya kaya kulkas dua pintu.' Gumam tukang ojeg itu.
"Ini." Ucap Rendra datar sembari menyerahkan kunci rumah kepada Arania. Gadis itu hanya menerimanya tanpa banyak kata-kata. Kemudian Arania mulai menaiki motor Ujang dan berpegangan di perut tukang Ojek itu.
Lagi-lagi ada perasaan yang tidak senang di hati Rendra. Tanpa ada aba-aba Rendra mendekat ke arah Ujang yang akan melajukan motornya.
"Sini, biar saya saja yang bawa motornya." Ujar Rendra membuat Ujang terkejut.
"Apa? Lalu aku?"
"Kau bisa berboncengan dengan teman mu itu. Biar saya yang berboncengan dengan istri saya. Kalian bisa memandu kami di depan." Ucap Rendra dengan tegas.
Arania hanya melongo melihat kelakuan suaminya itu. Setelah Ujang beralih ke motor temannya, Rendra langsung mengambil alih kemudi motor.
"Sudah sewajarnya kamu bersama saya. Kamu istri saya. Jadi, jangan dekat-dekat dengan pria lain selain saya. Mereka bukan mahram." Ucap Rendra yang membuat Arania hanya bisa mengerjap-ngerjapkan bola matanya.
Rendra menghela nafas kasarnya setelah beberapa saat menunggu gadis itu tak kunjung berpegangan padanya. Tak ada sentuhan apapun oleh gadis yang ada di belakangnya. Sedangkan tadi pada Ujang saja ia tak segan-segan berpegangan sebelum motor mulai melaju.
Dalam pikiran Arania, 'Ada apa dengan lelaki ini kenapa dari tadi hanya diam mematung tanpa melajukan motornya?'
"Sudah belum?" Ucap Rendra tiba-tiba membuyarkan pikiran Arania.
"Apanya yang sudah?" Jawabannya polos.
"Kamu, apa sudah siap aku bawa berkendara?"
"Tentu, sudah siap dari tadi." Jawab Arania.
"Kamu tidak ingin berpegangan? Baiklah kalau begitu."
Greenggg...
Seketika Rendra menggores gas motor dengan keras hingga motor tersentak sehingga tubuh Arania terasa akan terhempas. Seketika tangan mungil Arania mencengkeram kuat tubuh Rendra dari belakang. Pria itu, mengangkat sedikit sudut bibirnya. Tersenyum penuh kemenangan.
'Astaghfirullah... ada apa dengan lelaki ini?' batin Arania saat motor telah membawanya melaju sangat kencang.
***
Terimakasih /Pray//Pray//Pray/