Rain, gadis paling gila yang pernah ada di dunia. Sulit membayangkan, bagaimana bisa ia mencintai hantu. Rain sadar, hal itu sangat aneh bahkan sangat gila. Namun, Rain tidak dapat menyangkal perasaannya.
Namun, ternyata ada sesuatu yang Rain lupakan. Sesuatu yang membuatnya harus melihat Ghio.
Lalu, apa fakta yang Rain lupakan? Dan, apakah perasaannya dapat dibenarkan? bisa kah Rain hidup bersama dengannya seperti hidup manusia pada umumnya?
Rain hanya bisa berharap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon H_L, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jadi namanya Ghio?
Nyaman dan aman adalah hal pertama yang dicari orang ketika memilih tempat tinggal. Tapi tidak dengan Rain. Selagi tempatnya murah, ia akan mengambilnya. Hitung-hitung sisa uang untuk ditabung. Ditambah Rain dan Kakaknya hanya anak perantau yang berkecukupan, bukan orang kaya yang bisa sepuasnya mengeluarkan uang.
Namun, selain karena murah, salah satu alasan Rain memilih kontrakan ini adalah karena tempatnya yang sejuk. Rain sudah bosan hidup dalam kost-kostan kecil, sumpek, panas, dan jangan lupa pekarangannya yang sangat jauh dari kata asri.
"Ini beneran? Kok, bisa semurah itu?" tanya Asyama. Matanya menatap takjub kontrakan sederhana di depannya.
Rain tersenyum. "kan, katanya tempatnya horor. Makanya murah. Tapi, percaya sama gue, kak. Tempat ini dijamin aman," ucap Rain.
"Tau dari mana?" tanya Asyama. "Bisa aja kemarin pas kamu datang hantunya lagi gak di sini."
Rain memutar bola mata. "Jangan bahas hantu lagi, deh. Ayo kita bersihkan sekarang, karena sebentar lagi barang-barang kita mau sampai," kata Rain sambil melirik jam tangannya.
Hari ini Asyama meminta libur sehari. Ia harus membantu adiknya mengurus perpindahan. Ia yakin, Rain tidak akan bisa menyelesaikannya sendirian.
Akhirnya, mereka mulai membereskan kontrakan.
"Kak!"
Asyama menoleh untuk melihat Rain yang berada dalam kamar. "Apa?"
"Kayaknya, biar Rain aja yang mengurus kamar sama ruang tamu." Rain tampak berpikir. "Barang-barang di sini kayaknya penting-penting semua. Kakak bagian dapur aja, gimana?" kata Rain sambil tersenyum.
Asyama menatap bingung. Namun, ia tetap menuruti kemauan adiknya. Ia lalu beberes di bagian dapur dan kamar mandi.
Rain memastikan apakah kakaknya sudah pergi. Setelahnya, ia mulai mengeluarkan benda yang dia temukan dalam laci paling bawah di dalam kamar.
Rain menatap lurus. "Sejak kapan gue bisa lihat begituan," gumamnya. Lantas, ia memasukkan foto kecil yang didapatkannya ke dalam saku.
Rain tidak membuang barang-barang yang ada di sana. Ia hanya membersihkan dan menyusunnya lebih rapi lagi. Begitu juga di ruang tamu, ia menyusun sofa dan meja menjadi lebih rapi. Ia memangkas sedikit bunga gantung yang jumlahnya sudah terlalu banyak.
Setelah itu, mereka mulai menyapu, mengepel, dan membersihkan bagian dinding-dinding tempat itu.
Pagi sampai siang, itulah pekerjaan mereka. Tempat itu sudah bersih. Pekerjaan mereka tinggal memasukkan barang-barang yang mereka bawa dari kost sebelumnya.
Rain dan Asyama tidak langsung melanjutkan kegiatan mereka. Keduanya memilih makan siang terlebih dahulu. Mereka hanya memakan nasi bungkus. Seluruh perlengkapan memasak mereka sudah dibungkus, terlalu lelah jika harus mengeluarkannya lagi.
Suara klakson mobil terdengar dari luar.
"Mereka sampai," kata Asyama seraya pergi keluar. Ia meninggalkan Rain sendirian di meja makan.
Rain masih mendengar suara mereka dari dalam. Ia tidak berniat keluar. Perutnya lebih penting sekarang.
"Rain mana?"
Samar-samar Rain mendengar suara pamannya dari luar.
Rain berteriak dari dalam. "Makan!"
Kepala pamannya langsung muncul dari balik pintu. "Makan apa, Rain?"
"Ayam penyet. Paman Medra mau?" tawar Rain. Ia menunggu was-was jawaban Medra.
"Makan aja. Paman udah makan tadi. Paman lanjut turunin barang dulu, ya," katanya, lantas keluar dan menutup pintu.
Rain menghela napasnya lega. Untung saja Medra menolak tawarannya. Kalau iya, Rain tidak akan mau berbagi. Ia masih lapar.
Rain menatap makanan Asya yang ditinggalkan gadis itu. Rain tersenyum jahil, lalu mencomot sedikit ayamnya.
Saat Rain mengangkat kepala, ia seperti tersadar. Rain melirik sekelilingnya. Gelap. Ya ampun, ia tidak sadar jika sejak tadi lampu tidak dinyalakan. Ditambah, Medra menutup pintu.
Rain berdecak, lalu berjalan ke arah pintu dan membukanya. Ia mendongak ke luar. "Kalian dulu aja, ya! Rain masih makan!" katanya yang mendapat anggukan dari mereka.
"Jangan sentuh makanan aku, Rain!" peringat Asya.
"Kagak." Rain panik, tapi ia segera mengalihkan topik. "Oh, ya. Pintunya jangan ditutup, ya. Di dalam gelap." Lalu, Rain segera masuk ke dalam.
Mata Rain terpaku pada aqua gelas di atas meja. Rain masih ingat, tadi aqua gelas itu masih berdiri. Apa ia tidak sengaja menyenggolnya saat ingin keluar?
Rain mengangkat bahu sekilas, lantas mengambil aqua gelas itu dan membukanya. Ia meneguk tanpa merasa aneh, lalu melanjutkan makannya.
Rain kembali terpaku ketika makanannya masuk ke dalam mulut. "Kok, dingin?" tanyanya entah kepada siapa.
Ia kembali menyentuh makanannya dan sayangnya semuanya dingin.
"Aneh," katanya sambil menggaruk kepala.
Rain menatap makanan Asya. Ia berpikir sebentar, lalu menyentuh makanan itu.
"Gila, sih. Kok, cuma nasi gue yang dingin?" kesalnya. Tapi, Rain tak ambil pusing. Ia kembali memakan nasinya.
Hingga waktu berlalu, matahari telah menyingsing ke barat, meninggalkan kegelapan yang berkuasa.
Seluruh barang-barang mereka telah tersusun rapi. Tak memerlukan waktu yang banyak untuk menyusunnya, karena barang-barang Rain dan Asyama tidak terlalu banyak.
Saat ini mereka berkumpul di ruang tamu. Bukan hanya Rain dan Asya, tapi ada paman Medra dan satu temannya yang membantu mengangkut barang. Selain itu, Rain juga mengundang tetangganya, Nelli dan beberapa tetangga lain.
Sebenarnya, Asya yang meminta Rain untuk mengundang mereka. Tidak ada alasan penting, hanya untuk mengenal tetangga dan menjalin silaturahmi saja agar mereka tinggal dengan nyaman di sana.
Makan malam sudah mereka habiskan beberapa menit yang lalu. Sekarang, mereka tinggal berbincang dan saling berkenalan lebih dalam lagi.
"Semoga kalian nyaman, Mbak Asya." Nelli membuka suara. "Kalau semisalnya hantunya mengganggu, kalian bisa ke tempat saya," katanya dengan pelan saat menyebutkan hantu.
Rain yang kebetulan duduk di samping Nelli menyenggolnya dengan siku. "Syuut! Jangan bahas itu lagi!" peringat-nya.
"Kalian hati-hati, ya. Terima kasih untuk makan malamnya, nak Asya, nak Rain. Saya pamit dulu."
"Saya juga langsung pamit kalau begitu. Terima kasih."
"Sama-sama, bapak, ibu."
Satu-persatu mereka mulai pergi. Kini tinggal Rain, Asya, Medra dan temannya.
Rain tahu alasan mereka pergi secepat itu. Apalagi kalau bukan takut.
"Langsung pulang, bro?" tanya Medra kepada temannya yang sibuk bermain ponsel.
"kamu juga mau pulang?" tanya Asya kepada Medra. "Gak mau di sini dulu malam ini?"
"Kayaknya aku pulang, Sya. Besok ada kelas."
"Hm. Gue juga pulang. Kalian tahu sendiri akibatnya kalau gue gak pulang," kata Lario, teman Medra.
Mereka tertawa bersama, kecuali Rain. Ia tidak tahu apa yang mereka tertawakan.
"Iya, juga. Atau gak, siap-siap aja Lario langsung diusir dari rumah," kata Asya.
Medra menggelengkan kepala. Temannya satu ini memang beda. Dia itu anak papa. Kalau saja papanya tidak melihat Lario berada di rumah, sudah pasti papanya marah dan mengancamnya dengan menyuruh untuk tidak perlu kembali lagi. Kecuali jika Lario izin karena ada urusan penting, seperti mengerjakan tugas kuliahnya. Itu pun, harus benar-benar ada bukti kuat.
Rain diam memperhatikan mereka mengobrol. Yah, usia mereka memang sedikit jauh di atasnya. Pembahasan mereka pun sudah seputar hal-hal pekerjaan. Walaupun Medra masih kuliah, namun pria itu juga melakukan pekerjaan sampingan. Jadi, kali ini, Rain tidak ikut campur dalam pembahasan mereka.
Namun, kelamaan dalam keadaan seperti ini, Rain jadi bosan juga. Akhirnya ia memilih menyerah.
"Rain tidur duluan, ya. Rain ngantuk," ucap Rain.
Mereka menghentikan obrolan mereka sebentar.
"Tidur aja sana. Udah jam tidur juga ini," ujar Asyama.
"Rain duluan. Dah, paman Medra, bang Rio," Rain melambai seraya masuk ke dalam kamar.
"Selamat malam, Rain. Tidur yang nyenyak," seru Medra sebelum Rain menutup pintu.
Rain tak menoleh. "Iya," katanya, lalu menutup pintu.
Rain langsung merebahkan dirinya di atas kasur. Kasur yang lumayan luas, muat untuk dirinya dan Asya.
Rain tak langsung menutup matanya. Pandangannya tertuju kepada langit-langit kamar. Ia merentangkan kedua tangannya sambil menghembuskan napas. Hari ini sangat melelahkan. Tenaganya langsung terkuras habis. Entah kenapa, akhir-akhir Rain merasa badannya terlalu mudah lelah.
Rain mencoba menutup matanya. Tapi, hanya dalam beberapa detik, matanya langsung terbuka lebar. Rain bangkit dari tidurnya tiba-tiba. Ia duduk diam seperti berpikir keras. Hingga beberapa saat, gadis itu berlari keluar dari kamar.
"Astaga!"
"Rain?"
Asya dan manusia dalam ruang tamu menatap terkejut ke arah Rain yang tiba-tiba keluar dari kamar.
"Dia mau kemana?" tanya Medra.
Sementara itu, Rain berlari ke dalam kamar mandi. Ia mengacak-acak pakaian kotor dalam ember, mengeluarkan celana dari dalam ember itu. Tangannya merongoh saku celana itu satu-persatu.
"Ini dia," katanya senang.
Rain hampir saja lupa. Foto yang ia temukan dalam laci ternyata masih tersimpan di dalam saku celananya yang kotor.
Rain kemudian menyimpan foto itu ke dalam saku celana yang ia pakai. Lantas, berjalan kembali ke kamar.
Tatapan bertanya terpampang di wajah mereka saat melihat Rain berjalan santai ke arah kamar.
Rain mengabaikan tatapan mereka dan berlari masuk ke dalam kamar.
"Gila, sih. Cuma gara-gara ini gue lari kayak orang kesetanan," gumam Rain seraya mengeluarkan foto itu dari sakunya.
Rain mulai menatap foto itu.
"Jadi namanya Ghio?"