Liu Wei, sang kultivator bayangan, bangkit dari abu klannya yang dibantai dengan Pedang Penyerap Jiwa di tangannya. Dibimbing oleh dendam dan ambisi akan kekuatan absolut, dia mengarungi dunia kultivasi yang kejam untuk mengungkap konspirasi di balik pembantaian keluarganya. Teknik-teknik terlarang yang dia kuasai memberinya kekuatan tak terbayangkan, namun dengan harga kemanusiaannya sendiri. Di tengah pertarungan antara takdir dan ambisi, Liu Wei harus memilih: apakah membalas dendam dan mencapai keabadian lebih penting daripada mempertahankan sisa-sisa jiwa manusianya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pralam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kota Seribu Rahasia
Kota Yong'an - atau yang lebih dikenal sebagai Kota Seribu Rahasia - adalah tempat di mana informasi lebih berharga dari emas. Di sinilah para kultivator dari berbagai penjuru datang untuk mencari petunjuk, membeli rahasia, atau menjual informasi.
Liu Wei melangkah memasuki kota ini saat matahari tepat di atas kepala, jubah hitamnya kini telah diganti dengan pakaian pedagang biasa. Pedang Penyerap Jiwa, yang kini terbungkus kain dan tersembunyi dengan ilusi, tetap setia di punggungnya.
Jalanan Yong'an dipenuhi berbagai macam orang - dari pedagang biasa hingga kultivator tingkat tinggi yang menyamar. Liu Wei bisa merasakan puluhan pasang mata mengawasinya sejak dia melewati gerbang kota. Di kota ini, wajah baru selalu menarik perhatian.
"Informasi tentang Menara Iblis Putih," gumam Liu Wei pada dirinya sendiri. "Dan di kota ini, hanya ada satu tempat untuk mencari informasi seperti itu."
Paviliun Daun Merah - sebuah kedai teh yang tampak biasa di permukaan, namun menyimpan jaringan informasi terluas di dunia kultivasi. Liu Wei melangkah masuk, disambut aroma teh berkualitas tinggi dan suara samar percakapan.
"Selamat datang, Tuan," seorang pelayan muda membungkuk sopan. "Silakan duduk di mana pun Anda suka."
Liu Wei memilih sebuah meja di sudut, dari mana dia bisa mengawasi seluruh ruangan. Tak lama, seorang wanita tua membawa secangkir teh ke mejanya.
"Teh Daun Merah untuk Tuan," ucap wanita itu, suaranya serak. "Semoga dapat menghangatkan perjalanan Anda."
Liu Wei mengangkat cangkir itu, menghirup aromanya sejenak sebelum menyesap isinya perlahan. Rasa pahit yang diikuti manis samar menyapa lidahnya. Dia mengangguk pelan - kode yang telah disepakati.
"Saya mencari sesuatu yang... jauh," Liu Wei berkata pelan. "Sesuatu yang putih, tinggi, dan penuh rahasia."
Mata wanita tua itu berkilat. "Ah, pencarian yang berbahaya, Tuan Muda. Bahkan menyebut namanya saja bisa membawa kesialan."
"Saya bersedia membayar harga yang sepadan."
Wanita itu terdiam sejenak, matanya mengawasi Liu Wei dengan teliti. "Ikuti saya."
Liu Wei dibawa ke sebuah ruangan pribadi di lantai atas. Di sana, wanita tua itu menutup pintu dan mengaktifkan formasi segel privasi.
"Menara Iblis Putih," wanita itu berkata tanpa basa-basi. "Tempat yang bahkan para Tetua Agung enggan mendekati. Apa yang membuatmu tertarik, anak muda?"
"Bukan ketertarikan," jawab Liu Wei. "Tapi keharusan."
Wanita tua itu mengeluarkan sebuah peta dari lengan bajunya. "Tiga hari yang lalu, sekelompok kultivator tingkat tinggi terlihat menuju ke arah sana. Salah satunya..." dia melirik Liu Wei, "adalah Lao Tianwei."
Liu Wei merasakan darahnya mendidih mendengar nama itu, tapi wajahnya tetap tenang. "Lanjutkan."
"Mereka membawa sesuatu - atau seseorang. Tiga kereta yang dijaga ketat. Dan yang paling menarik..." wanita itu menurunkan suaranya, "mereka membawa Formasi Penyegel Jiwa."
Formasi Penyegel Jiwa - sebuah alat kuno yang digunakan untuk mengekstrak dan menyimpan jiwa dalam keadaan utuh. Liu Wei mengepalkan tangannya di bawah meja. Apa yang direncanakan Lao Tianwei?
"Berapa?" tanya Liu Wei singkat.
"Untuk informasi seperti ini? Lima ratus ribu batu spiritual tingkat tinggi."
Liu Wei mengeluarkan sebuah kantong penyimpanan. "Enam ratus ribu. Dengan syarat kau melupakan pertemuan ini."
Wanita tua itu tersenyum, menerima kantong itu. "Pertemuan apa, Tuan Muda? Saya hanya melayani tamu yang menikmati teh."
Setelah keluar dari Paviliun Daun Merah, Liu Wei tidak langsung kembali ke penginapannya. Sebagai gantinya, dia menuju ke distrik pasar. Ada beberapa hal yang perlu dia siapkan sebelum mengejar Lao Tianwei.
Di sebuah toko ramuan yang tersembunyi di gang sempit, Liu Wei membeli beberapa ramuan langka - termasuk Bubuk Penghalau Roh dan Pil Pemurnian Darah. Penjaga toko, seorang kakek bungkuk, menatapnya dengan curiga saat dia meminta Rumput Hantu Ungu.
"Hati-hati, anak muda," si kakek memperingatkan. "Ramuan-ramuan ini... bisa membunuhmu jika digunakan dengan cara yang salah."
Liu Wei hanya tersenyum tipis. Kematian adalah kemewahan yang tidak bisa dia nikmati - setidaknya sampai dendamnya terbalaskan.
Malam telah turun ketika Liu Wei kembali ke penginapannya. Di kamarnya yang sederhana, dia mulai mempersiapkan ritual rahasia. Darah dari para kultivator Sekte Awan Hitam yang dia kalahkan masih menyimpan sisa-sisa ingatan dan teknik.
Liu Wei menggambar lingkaran formasi dengan darahnya sendiri, menempatkan ramuan-ramuan yang dia beli di titik-titik tertentu. Kalung jade di lehernya berdenyut pelan, seolah merasakan apa yang akan terjadi.
"Dengan darah sebagai media, dengan jiwa sebagai saksi," Liu Wei memulai mantra kuno. "Tunjukkan padaku rahasia yang tersembunyi dalam daging dan tulang!"
Asap ungu mulai mengepul dari lingkaran formasi. Liu Wei menghirupnya dalam-dalam, membiarkan racun dan pengetahuan mengalir ke dalam tubuhnya. Rasa sakit yang luar biasa menyerangnya saat ingatannya bercampur dengan ingatan para kultivator yang telah dia bunuh.
Di tengah kesakitannya, sebuah ingatan muncul dengan jelas:
Lima belas tahun lalu, Lao Tianwei berdiri di depan sebuah altar di Menara Iblis Putih. Di hadapannya, sosok berjubah putih tanpa wajah berbicara dengan suara yang seolah datang dari kedalaman neraka.
"Gulungan itu harus lengkap," kata sosok itu. "Hanya dengan menggabungkan ketiga bagiannya, ritual bisa dilakukan."
"Tapi anak itu..." Lao Tianwei ragu-ragu.
"Dia membawa darah Liu murni dalam nadinya. Dan dalam darah itu... tersimpan kunci menuju keabadian."
Liu Wei tersadar dari ingatan itu dengan nafas terengah. Darah mengalir dari hidung dan telinganya, tapi dia tidak peduli. Sekarang dia tahu - Lao Tianwei mengincarnya bukan hanya karena pecahan gulungan yang dia simpan, tapi karena darahnya sendiri.
"Kau menginginkan darahku, Lao Tianwei?" Liu Wei tertawa pelan, suaranya serak dan berbahaya. "Kalau begitu, akan kuberi kau lautan darah untuk kau tenggelamkan dirimu."
Malam itu, para penghuni penginapan bermimpi buruk tentang jeritan-jeritan kesakitan dan tawa yang mengerikan. Tapi ketika pagi datang, kamar Liu Wei telah kosong - meninggalkan hanya lingkaran hitam hangus di lantai dan aroma darah yang samar.
Perburuan telah dimulai. Dan kali ini, Liu Wei tidak akan membiarkan mangsanya lolos.