Mimpi yang terus terulang membwa Leora pergi ke dimensi berbeda serta merubah kehidupannya.
Dia yang hanya seorang pemilik toko kecil di pusat kota justru di sebut sebagai ELETTRA (Cahaya) di dimensi lain dan meminta bantuannya untuk melenyapkan kegelapan.
Secara kebetulan, begitulah menurutnya. dirinya pergi ke dimensi berbeda bersama Aron yang menjadi sahabatnya melalui mimpi, namun siapa sangka persahabatnnya bersama Aron justru membawa dirinya pada situasi yang tidak biasa.
Sihir yang semula hanya dia tahu melalui buku secara ajaib bisa dia lakukan.
Dan ketika cinta bersemi di hatinya serta tugas melenyapkan kegelapan telah selesai, apa yang akan dia lakukan?
Akankah dia kembali ke dimensi aslinya atau akan tetap bersama pria yang dia cintai?
Ikuti kisahnya.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FT.Zira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Ld Kembali Bermimpi.
Dapur pribadi yang berada di toko Leora memiliki table kitchen yang unik bagi sudut pandang Aron. Dilengkapi dengan peralatan sederhana, namun cukup lengkap jika hanya ingin membuat menu sarapan untuk di nikmati setiap hari dengan menu berbeda. Salah satu yang menarik perhatian pria itu adalah kursi bulat tinggi yang berada di depan meja mampu memberikan rasa nyaman ketika ingin menikmati makanan sembari mengamati si pembuat menyiapkan makanan yang akan di santap.
Aron duduk di salah satu kursi, meletakkan satu tangan di atas meja sembari menopang dagu dengan pandangan tertuju pada Leora yang berdiri membelakangi dirinya. Tanpa sadar, ia tersenyum, enggan mengalihkan pandangan dari punggung wanita yang tengah mengeluarkan sesuatu dari oven, lalu berbalik dengan gerakan tiba-tiba yang membuat pria itu tersentak dan menjatuhkan dagunya.
"Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Leora tertawa pelan.
"B-b-bukan apa-apa," jawab Aron tergagap.
"Jawaban dan caramu menjawab mengatakan hal yang berbeda," sambut Leora menyipitkan mata.
"Tapi, ku akui satu hal, kau cukup pandai dalam mengelak," sambungnya.
"Dan kau cukup pandai dalam mendesak," balas Aron tak mau kalah.
"Ya,,, Ya,,, Ya,,, tak mau kalah seperti biasa," cibir Leora.
"Makan ini!" imbuhnya memberi perintah sembari menyodorkan Croissant.
"Croissant Coklat Kacang dengan taburan gula di atasnya, seperti yang kamu suka," ujar Leora.
"Maaf, hanya ini yang bisa ku buat dengan bahan yang tersisa. Sepertinya, bahan yang ku pesan akan datang terlambat hari ini," Leora menambahkan.
"Ini sudah lebih dari cukup untukku, aku bahkan sudah merepotkan dan mengganggumu di pagi hari," jawab Aron tersenyum.
"Terima kasih, Leora," tambahnya.
"Tak ku sangka kau cukup sadar diri," ucap Leora tanpa beban.
"Tck,,, Ku tarik kembali kata-kataku," sahut Aron.
"Aku tidak seharusnya berterima kasih pada orang yang masuk ke dapurku seenaknya," balasnya.
Mereka berdua saling pandang sejenak, lalu tertawa tanpa ada satupun dari mereka merasa tersinggung.
Aron mulai menyuap makanannya, sementara Leora hanya menyeruput kopi yang dia buat sendiri.
"Kenapa kamu tidak makan?" tanya Aron.
"Aku sedang tidak berselera untuk makan," jawab Leora.
"Bolehkah aku bertanya padamu, Leora?" tanya Aron di sela makannya.
"Tentu, apa itu?" sahut Leora balas bertanya.
"Sebelum itu, aku ingin memastikan satu hal," ujar Aron memasang wajah serius.
"Apa?" tanya Leora.
"Kau tidak memasukan racun atau semacamnya ke dalam makananku bukan? Yang menjadi alasanmu tidak mau makan di saat kamu bahkan tidak menyentuh sarapanmu di rumah?" selidik Aron menyipitkan mata.
"Aku tidak akan setega itu pada sahabatku sendiri. Khusus untukmu aku hanya menambahkan obat cuci perut!" jawab Leora dengan seringai di wajahnya.
"BURRRR,,,,,, UHUUKK,,,!"
Aron menyemburkan makanan yang tengah ia kunyah dan berakhir tersedak.
"Aronnn!!!" pekik Leora segera berdiri.
"Ewww,,, Apa kau sudah gila!" sungut Leora sembari membersihkan makanan yang mengotori wajah serta pakaiannya.
"Pft,,,,Ha,,, ha,,, ha,,, Maaf,,, Maaf. Aku sengaja," jawab Aron tanpa beban, lalu kembali terbahak.
"Lucu sekali. Maka kau akan kehilangan kesempatan untuk bertanya!" jawab Leora cemberut.
"Hei,,, Ayolah, itu tidak adil," protes Aron.
"Selalu ada kata adil untuk pembalasan!" jawab Leora cemberut sembari membersihkan wajahnya menggunakan serbet.
"Kalau begitu, kamulah yang harus di salahkan. Bagaimana bisa kamu membuat lelucon dengan memasang wajah bahwa kamu telah melakukan hal yang kamu katakan? Jika tidak mengenalmu dengan baik, siapapun akan menganggap yang kamu katakan itu bukan lelucon," ucap Aron tak mau kalah.
"Terima kasih pujiannya," sahut Leora seraya duduk kembali.
"Ini bukan pujian, Lea," Aron menggeram gemas.
"Baik,,, Katakan padaku apa yang ingin kau tanyakan!" perintah Leora.
"Kamu masih saja suka memerintah seperti biasa," sindir Aron.
"Waktumu lima detik," ujar Leora.
"Apa? Itu tidak cukup!" sanggah Aron keberatan.
"Lima,,," Leora mengangkat tangan, menunjukkan lima jarinya.
"Hei,,," protes Aron.
"Empat,,, " Leora melipat kelingkingnya sekaligus mengabaikan protes yang Aron berikan.
"Baik,,, Baik,,, Hentikan! Akan aku katakan," erang Aron merasa kalah.
"Tiga,,," ucap Leora lagi.
"Eerrgghh!" Aron menggeram kesal dengan tangan mencengkram rambutnya sendiri.
"Menyebalkan! Aku hanya penasaran kenapa kamu memakai Wristband hari ini?" Aron berkata cepat.
"Karena aku ingin," jawab Leora singkat.
"Tolong definisikan kata 'Ingin' yang kamu ucapkan!" balas Aron.
"Sayang sekali, waktumu telah habis," jawab Leora menjulurkan lidahnya.
"Apa yang sudah terjadi?" tanya Aron lagi.
Intonasi pada suara Aron seketika berubah, menatap lekat wanita yang duduk di depannya, menyelami ke dalam mata wanita itu untuk mencari tahu apa yang tengah di sembunyikan sahabatnya.
"Kau tahu?"
"Sikapmu yang selalu ceria itu tidak berpengaruh padaku di saat aku bisa menyadari dengan cepat bahwa ada yang salah dengan senyumanmu,"
Leora memalingkan wajah dan menyeruput kopinya lagi, lalu mengernyit. Suara Aron masih terdengar jelas, namun pandangannya tiba-tiba berkabut, cukup untuk membuat kepalanya sedikit menunduk.
"Ada apa?" tanya Aron lagi.
"Aku benar-benar payah dalam membuat kopi, buatanmu jauh lebih enak dari ini," jawab Leora tanpa menoleh.
'Ku mohon jangan sekarang. Setidaknya jangan di depannya,' harap Leora dalam hati.
"Jika kamu ingin berbohong padaku, kamu perlu mencari alasan yang lebih baik dari ini!" jawab Aron tidak puas.
Samar-samar, Leora kembali melihat tempat aneh yang selalu muncul di mimpinya. Berulang kali Leora mengerjapkan mata, berharap hal itu akan membuat penglihatannya kembali normal.
"Lea,,," panggil Aron.
"Hmm,,, Ya,,, Ada apa?" sahut Leora tanpa mengangkat wajah.
"Apakah kamu baik-baik saja?" tanya Aron mulai terdengar cemas.
Leora berniat untuk menjawab pertanyaan Aron dengan benar agar tidak membuat pria itu khawatir. Namun, apa yang terjadi justru sebaliknya.
Rasa terbakar tiba-tiba menyengat lebih kuat dari sebelumnya di pergelangan tangan dimana wristband nya terpasang. Satu tangannya yang masih memegang cangkir terulur dengan hati-hati, menahan rasa sakit yang tidak bisa ia pahami, dan berusaha untuk meletakkan cangkirnya. Namun,,,
'PYARRR,,!!!'
Leora menjatuhkan cangkir di tangannya, menimbulkan suara berisik di dapur yang sebelumnya terasa tenang tanpa suara.
Aron berdiri dan menghampiri untuk menopang wanita itu saat tubuhnya kehilangan tenaga untuk menahan tubuhnya sendiri.
"Lea,,,!" panggil Aron.
Tepat setelah Aron kembali memanggil namanya, rasa panas terbakar di tangannya digantikan dengan dengungan di kepala Leora, memperlihatkan kembali dengan lebih jelas sebuah hutan yang selalu menjadi mimpi buruk bagi Leora.
Pria yang memiliki rambut abu terang itu terlihat lebih jelas, rambut abu-nya memiliki helaian perak yang berkilau di kepalanya dan tengah berdiri di bibir jurang. Di jarak beberapa meter dari pria itu, sosok besar hitam menggenggam sabit melesat cepat kearah pria itu seakan ingin menebasnya.
Sekali lagi, pria itu menoleh ke arah Leora dan tersenyum lemah, bibirnya kembali membentuk sebuah kata,
'TOLONG,,,'
Leora memejamkan mata, mecengkram kuat kepalanya, berusaha untuk kembali ke kesadaran miliknya saat kepulan asap hitam bergerak seolah ingin menyerang dirinya.
"Lea,,!" panggil Aron lagi.
Leora tersentak, merasakan sentuhan tangan seseorang yang tengah menopang tubuhnya dengan melingkarkan tangan di bahu Leora. Rasa sakit yang sebelumnya Leora rasakan berangsur-angsur hilang.
"Kita ke rumah sakit sekarang!" ucap Aron khawatir.
"Tidak, aku tidak apa-apa," tolak Leora.
"Kamu tidak melihat seperti apa dirimu bukan?" sahut Aron mulai kesal.
"Kamu masih dengan tenangnya mengatakan tidak apa-apa setelah aku melihatmu seperti itu?" sambungnya.
"Beberapa hari ini aku kurang tidur, itu hanya anemia," jawab Leora mencoba menenangkan sahabatnya.
"Hanya,,,?!" dengus Aron.
"Kamu bilang hanya?" ulang Aron kesal.
Leora menghembuskan napas panjang, menurunkan tangan pria itu dari bahunya.
"Aku baik-baik saja, sungguh. Pekerjaanku akhir-akhir ini cukup banyak karena beberapa pesanan yang aku terima, dan aku tidak bisa tidur dengan benar yang membuatku bermimpi buruk, itu saja," jelas Leora.
"Kamu tidak mengatakan kebenaran sepenuhnya, bukankah begitu?" tanya Aron menatap lekat mata wanita di depannya.
Cara Aron menatap membuat Leora memalingkan wajahnya. Aron tertawa pelan sebelum mengulurkan tangan untuk meraih dagu Leora dan mengarahkan wajahnya hingga pandangan mereka saling bertemu.
"Jangan lupakan satu hal ini Lea, aku mengenalmu jauh lebih baik dari siapapun yang kamu kenal. Aku tidak berniat untuk mendesakmu. Tapi, jika kamu ingin berbohong, jangan lakukan di depanku, karena aku akan segera tahu setelah kamu mengatakannya," tutur Aron lembut.
"Dan jika kamu memang tidak ingin mengatakan hal itu, aku tidak akan memaksamu, aku juga tidak akan bertanya mengapa," Aron menambahkan.
Leora terdiam, menepis lembut tangan pria yang masih berada di dagunya dan memalingkan wajah lagi, tidak yakin bagaimana harus bereaksi. Sebelum keheningan berlangsung lebih lama, pintu dapur terbuka.
"Suara apa itu tadi?" Monic bertanya panik.
"Aku tidak sengaja menjatuhkan gelas," jawab Leora.
"Apakah Anda terluka?" tanya Monic khawatir menghampiri atasannya.
"Tidak," jawab Leora singkat.
"Saya akan membersihkannya, sebaiknya Anda beristirahat," saran Monic.
"Tidak perlu sampai seperti itu Monic, aku bisa melakukannya sendiri," jawab Leora.
"Anda sudah terlihat tidak sehat sejak pagi," sanggah Monic.
"Bagus sekali bukan? Kamu memintaku istirahat sementara kamu sendiri memaksakan dirimu sendiri," ucap Aron.
"Apakah menurutmu itu adil?" sindirnya.
"Kenapa sekarang kalian berdua menyerangku?" protes Leora.
"Karena kamu sangat keras kepala!" jawab Aron.
"Maaf, Nona. Namun, saya sependapat," timpal Monic.
"Baiklah,,, Aku turuti kalian, kalian senang?" sungut Leora.
Aron tersenyum penuh kemenangan, sementara Monic hanya mengelengkan kepala melihat atasannya dan pria yang menjadi pemilik cafe di sebelah toko sang atasan lebih sering adu argumen namun saling peduli satu sama lain.
Leora bangun dari duduknya, ingin bersantai di sofa yang di sediakan toko miliknya. Namun, ketika ia mencapai pintu, penglihatannya kembali berkabut, kepala berdenyut lebih kuat dan tenaganya tiba-tiba terkuras begitu saja.
Leora terhuyung, kehilangan keseimbangan dengan pandangan yang berubah hitam kelam. Sebelum tubuhnya terjatuh menyentuh lantai, sepasang tangan kokoh telah menangkapnya.
"LEA,,,,!!!"
...\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=...
Leora mencengkram kepalanya dan mengerjap. Mencoba untuk kembali membuka matanya dan tersentak menyadari dirinya tidak berada di dapur toko, melainkan hutan yang memiliki warna serba hitam.
Tangannya merasakan kembali sebuah lilitan yang menekan kuat pergelangan tangan kirinya.
' Tidak mungkin,,, Mustahil,,, Kenapa aku bisa berada di sini? Tempat apa ini sebenarnya? Jangan katakan padaku setelah ini akan ada _,,,'
Kalimat dalam benaknya terputus saat ia melihat sosok hitam di kejauhan mendekat ke arahnya.
. . . . . .
. . . .. .
To be continued....
tanya leora ini 🧐
🤣🤭