Revisi
Ada beberapa hal yang dirasa kurang memuaskan, jadi diputuskan untuk merevisi bagian awal cerita.
Petugas kepolisian Sektor K menemukan mayat di sebuah villa terpencil. Di samping mayat ada sosok perempuan cantik misterius. Kasus penemuan mayat itu nyatanya hanya sebuah awal dari rentetan kejadian aneh dan membingungkan di wilayah kepolisian resort kota T.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bung Kus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Villa Kosong
Mobil pick up warna hitam milik kepolisian sektor K bergerak perlahan di jalanan terjal pedesaan. Guntur menyambar terdengar mengerikan, tapi hujan tak kunjung datang. Terkadang alam pun hanya suka menggertak. Mungkin seperti pepatah jawa, kakehan gludug ra ono udan. Sebuah kalimat yang juga berarti banyak bicara tapi tidak ada tindakan nyata.
Tabah dan Andre duduk berhimpitan di dalam pick up yang dikemudikan oleh polisi tua bernama Wariman. Tabah tahu jika wilayah yang mereka tuju harus melewati jalanan pedesaan yang hancur hingga sering dijuluki wisata jeglongan sewu. Baik Tabah ataupun Andre merasa kemampuan mengemudinya belum mumpuni, sehingga mereka mengajak serta Wariman.
"Pak Wariman dulu katanya pernah tinggal di daerah sini kan?" tanya Andre memecah kesunyian.
"Iya, dulu aku jadi bhabinkamtibmas cukup lama di desa ini. Desa yang adem ayem," sahut Wariman sambil tetap berkonsentrasi memperhatikan jalanan.
"Berarti Pak Wariman tahu siapa pemilik villa di ujung desa?" tanya Andre penasaran. Tabah tampak tidak tertarik dengan topik obrolan. Dia bersandar pada kaca jendela mobil.
"Villa itu katanya sih peninggalan jaman Belanda dulu," jawab Wariman singkat. Andre manggut-manggut. Jawaban Wariman tidak memuaskannya. Andre menduga sang sopir tidak tahu detail villa yang dia tanyakan.
"Desanya sepi ya Pak." Andre mengedarkan pandangan. Kiri kanan terlihat rumah-rumah warga berderet. Namun suasananya terlalu sunyi. Bahkan ada rumah yang terlihat terbengkalai dengan sampah dedaunan menumpuk di halaman depan. Bulu kuduk Andre meremang.
"Banyak yang sudah pindah. Transmigrasi ke luar pulau," sahut Wariman.
Tabah yang sedari tadi memandangi sekeliling melalui kaca jendela, kali ini menemukan pemandangan yang aneh. Tampak seorang laki-laki renta berdiri terpaku di halaman depan rumah lawas yang tak terawat. Laki-laki tua dengan kepala botak dan sangat kurus. Tubuh bagian atasnya tak terbalut pakaian menunjukkan tulang rusuk yang kurus kering dan menonjol.
Lalu apa yang aneh dari seorang kakek yang berdiri di depan rumahnya? Tatapannya yang kosong dan nyaris sama sekali tak bergerak. Sekilas pandang Tabah teringat dengan film-film zombie yang ada di bioskop.
"Rata-rata yang menetap di desa ini para lansia. Yang muda-muda memilih untuk pindah," ucap Wariman mengalihkan perhatian Tabah.
"Kok serem yak," sambung Tabah mengusap-usap lehernya.
"Apa Pak Dhe?" tanya Andre. Dia tidak melihat apa yang sudah dilihat Tabah.
"Ada Mbah-mbah diam mematung di depan rumahnya. Ini desa para jompo apa gimana? Nggak kelihatan anak-anak bermain sama sekali." Tabah semakin mendekatkan tubuhnya pada Andre. Padahal mereka sudah duduk berhimpitan.
"Apa sih Pak Dhe? Ndak usah lebay. Anak-anak di dalam rumah lah. Lha wong mau turun hujan gitu," sergah Andre, meski sebenarnya dia sama takutnya dengan Tabah.
Wariman diam saja tak menyahut. Laki-laki itu tampak fokus memperhatikan jalanan. Guntur kembali terdengar bersahut-sahutan. Sulit membayangkan jika nanti turun hujan jalanan akan berubah selicin apa.
Mobil pick up terus melaju dengan perlahan. Meninggalkan pemukiman penduduk yang sunyi. Kini berganti hutan bambu yang lebat, dengan daunnya yang kuning berguguran.
"Lhoh, pemukiman warga segitu tok Pak Man?" tanya Andre heran.
"Ya satu desa memang hanya dihuni beberapa kepala keluarga. Mungkin tidak genap tiga puluh KK," sahut Pak Wariman santai.
"Sepertinya lebih pas kalau disebut dusun jika seperti itu," sambung Andre.
"Masalahnya kalau tidak berdiri sebagai desa sendiri, mau gabung sama desa mana? Terlalu jauh jarak ke wilayah ke desa lain. Memang terpencil." Tabah ikut berkomentar. Tabah memang sering mempelajari kondisi geografis desa-desa di bawah naungan kepolisian sektor K. Polisi berbadan tambun itu bukanlah tong kosong meski nyaring bunyinya.
Semakin masuk ke dalam, hutan bambu kian lebat. Kegelapan langsung menyergap. Bahkan kalaupun cahaya matahari bersinar terang, sepertinya tak mampu menembus rindangnya pepohonan. Apalagi saat ini langit tengah bermendung hitam. Tentu saja kegelapan yang pekat mengurung tiga petugas kepolisian itu.
"Aku kok jadi ragu dengan keputusanku sendiri mengajak kalian kemari. Mungkin lebih bijak jika kita datang ke villa itu besok pagi saat cuaca sudah membaik," ujar Tabah merasakan suhu di sekitarnya kian terasa beku.
"Lihatlah di depan sana balai desa," ucap Wariman setelah diam beberapa saat. Dia mengabaikan kekhawatiran Tabah.
Andre dan Tabah pun memperhatikan lokasi yang ditunjuk oleh Wariman. Di antara rumpun bambu yang subur, berdiri sebuah bangunan berbentuk rumah bergaya joglo yang cukup besar. Ada aula di bagian depan dengan empat tiang dari kayu yang dipernis mengkilat.
"Balai desa kok di tengah hutan bambu gini sih Pak?" protes Andre heran dengan yang dilihatnya.
"Ya kan malah adem. Seandainya kamu bertugas di tempat ini juga bakal krasan kok. Mungkin awal-awal berasa sepi, tapi tempat ini benar-benar ayem, tenang, damai. Bahkan di musim kemarau yang biasanya matahari terik sekalipun, di balai desa ini tetap sejuk dan nyaman," jawab Wariman meyakinkan.
"Terus sekarang siapa yang menjadi babin di desa ini?" tanya Tabah kemudian. Wariman menjawab dengan mengangkat kedua bahunya tanda tak tahu.
"Desa yang aneh," gumam Tabah.
Tidak jauh dari balai desa,terlihat bangunan megah yang berada di bagian atas bukit. Sebuah villa yang terbengkalai. Sekilas pandang pun terlihat jelas jika bangunan itu peninggalan dari jaman Belanda. Ciri khas trap-trap tangga naik, jendela dan daun pintu dengan garis-garis tegas.
Wariman menepikan pick up dan memarkirnya di bagian tanah yang lapang bawah bukit. Kemudian dia keluar dari mobil pick up terlebih dahulu. Tabah dan Andre menyusul kemudian.
"Tidak ada sinyal," keluh Andre saat mengeluarkan handphone. Dia memotret villa dari tempatnya berdiri. Villa terlihat indah dan kokoh meski terkesan lawas dan kurang terawat.
"Ayuk. Kita segera memeriksa villa itu, terus cepet-cepet pulang. Banyu langit e mau turun." Tabah menunjuk mendung di atas bukit. Benar-benar hitam bergulung-gulung, seperti kue spiku roll varian kopi.
Tabah dan Wariman melangkah lebih dulu. Andre masih asyik mengambil beberapa foto. Handphone nya keluaran terbaru yang memang memiliki kualitas kamera jernih, bahkan ketika pencahayaan sedang redup.
Tiba-tiba saja Andre menyadari sesuatu yang membuatnya termenung. Dia mematung seraya memandangi layar handphonenya. Sebuah keanehan yang sulit untuk dijelaskan.
"Jika di tempat ini tidak ada sinyal. Lalu, bagaimana cara orang yang mengaku menemukan mayat tadi menelpon ke kantor? Pakai telepon rumah? Wifi? Kabel jaringannya tidak ada Cik!" gumam Andre kebingungan.
"Ah sial. Bisa saja ini ulah orang iseng."
Andre segera berlari menyusul Tabah dan Wariman yang sudah menapaki anak tangga menuju ke villa. Andre berteriak-teriak memanggil Tabah. Sayangnya, polisi berbadan tambun itu mengabaikannya. Tabah terlalu lelah untuk mengacuhkan panggilan Andre.
"Cik, dipanggil malah pura-pura nggak denger Pak Dhe!" protes Andre setelah berhasil menyusul Tabah.
"Matamu nggak lihat? Capek nih! Hah hah," sambung Tabah seraya mengatur napas.
"Ada apa sih?" tanya Tabah kemudian. Sedangkan Wariman yang berada di bagian depan mengabaikan dua rekannya. Petugas kepolisian yang sebentar lagi pensiun itu tetap mengarahkan pandangan pada bangunan villa di hadapannya.
"Kelihatannya kita dijebak Pak Dhe. Kita dikerjai. Coba pikir, di tempat ini tidak ada sinyal sama sekali. Bagaimana caranya ada yang bisa menelpon ke kantor jika sinyal saja tidak ada? Kabel telepon ataupun wifi juga nihil," Andre menatap Tabah dengan raut wajah penuh keseriusan. Tabah manggut-manggut.
"Ssttt! Kalian diamlah!" bentak Wariman tiba-tiba. Andre dan Tabah pun terkejut, kompak menutup mulutnya menggunakan telapak tangan.
"Ada suara perempuan menangis," ucap Wariman setengah berbisik.