Kiyai Aldan menatap tajam Agra dkk dan Adira dkk. Ruangan ini begitu sagat panas dan terasa sesak dengan aura yang dikeluarkan oleh kiyai Aldan.
“Sedang apa kalian di sana?” Tanyanya pelan namun dingin.
“Afwan kiyai, sepertinya kiyai salah paham atas…,” Agra menutup matanya saat kiyai Aldan kembali memotong ucapannya.
“Apa? Saya salah paham apa? Memangnya mata saya ini rabun? Jelas-jelas kalian itu sedang… astagfirullah.” Kiyai Aldan mengusap wajahnya dengan kasar. “Bisa-bisanya kalian ini… kalian bukan muhrim. Bagaimana jika orang lain yang melihat kalian seperti itu tadi ha? “
“Afwan kiyai.” Lirih mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERTEMUAN PERDANA MEREKA
Pernah melihat atau mendengar sekolah atau madrasah melakukan upacara bendera merah putih menggunakan bahasa Arab?
Jika pada umumnya sekolah melakukan upacara bendera merah putih setiap senin dengan bahasa Indonesia, maka berbeda dengan pondok pesantren Al-Nakhla ini.
Mereka sudah lama menerapkan untuk menggunakan bahasa Arab untuk melaksanakan upacara, tujuannya untuk mengasah kemampuan peserta didiknya dalam menggunakan bahasa Asing.
Madrasah Aliyah/MA. Mereka berdiri dan baris di kelas masing-masing, begitu juga dengan keempat santriwati yang telah siap mengikuti serangkaian upacara pagi ini.
“Ini masih jam tujuh, kenapa mataharinya terasa panas seperti disiang bolong.” Lirih Ayyara.
Adira yang baris disebelahnya mengangguk setujuh dengan ucapan Ayyara barusan. “Benar, mana masih lama.”
“Kalian jangan ribut, tuh liat kiyai Aldan.” Timpal Almaira yang baris paling depan tepat didepan Ayyara. “Dari tadi ngawasin kita, mana tatapannya kaya mau menerkam kita.” Lanjutnya dengan berbisik.
“Ustadz Agra tampan banget.” Celetuk Aruna tiba-tiba. Berdiri tegak di barisan pertama dengan Almaira, dibelakangnya ada Adira.
“Hussstttf, sempat-sempatnya kamu Aruna.” Ujar Almaira.
اِحْتِرَامٌ عَامٌّ إِلَى مُدِيْرِ الْمَرَاسِيْمِ تَحْتَ قِيَادَةِ قَائِدِ الْمَرَاسِيْمِ
PENGHORMATAN UMUM KEPADA PEMBINA UPACARA.
إِهْتَمُّوْا إِلَى الجَمِيع، إِلَى مُدِيْرِ الْمَرَاسِيْمِ تَحِيَّةٌ إِحْتِرَامًا دُرْ !
SELURUHNYA, KEPADA PEMBINA UPACARA HORMAT GERAK!
سَلامٌ كِفْ
TEGAK GERAK!
رَفْعُ الْعَلَمِ اْلأَحْمَرِ الأَبْيَضِ بِجَيْشِ"مَنْبَعُ الصَّالِحيْن" الرَافِعِ العَلَمَ مُشَيَّعٌ بِنَشِيْدً وَطَنِيٍّ
PENGIBARAN BENDERA MERAH PUTIH DI IRINGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA OLEH KELOMPOK PADUAN SUARA.
إِهْتَمُّوْا إِلَى الجَمِيع، إِلَى اللِّوَاء اْلأَحْمَرِ الأَبْيَضِ تَحِيَّةٌ إِحْتِرَامًا دُرْ !
PERHATIAN… SELURUHNYA, KEPADA BENDERA MERAH PUTIH HORMAT GERAK!
سَلامٌ كِفْ
TEGAK GERAK!
Upacara berlangsung dengan khidmat, dalam upacara ini santri putra dan putri tidak disatukan melainkan memiliki barisan masing-masing khusus santri putri dan khusus santri putra. Begitu juga pada saat dalam ruangan kelas mereka dibatasi oleh tirai yang menjadi penghalang keduanya.
xxx
“Panasss…,”
“Haus…,”
“Lelah, letih, lemas…,”
“Capek…,”
Pemilik suara itu adalah Adira dkk yang saat ini berjalan dengan lemas kearah kantin madrasah, di saat santri lainnya mengarah ke kelas untuk menunggu guru namun berbedah dengan keempatnya yang memilih mengademkan tenggorokan terlebih dahulu.
“Kenapa jam pertama harus setoran sih, mana bisa fokus kalau gerah kaya gini.” Ujar Aruna. Anak itu sedari tadi mengeluh perihal hafalan yang sebentar lagi disetor.
“Tidak bisa fokus atau belum hafal Aruna?” Tanya Ayyara dengan menaik turunkan alisnya menatap kearah Aruna.
Aruna memicingkan matanya saat mendengar pertanyaan itu, namun tak berselang kemudian dia terkekeh pelan. “Dua-duanya.” Jawabnya. Ketiga temannya hanya menggeleng dan tertawa.
“Awas loh nanti bu Jamilah yang masuk, bukan suaminya. Bisa-bisa dihukum lagi kamu.” Tutur Adira.
“Nah benar! Bu Jamilah kan udah masuk lagi setelah cuti lahiran.” Timpal Almaira.
Mereka berjalan beriringan melewati koridor yang masih banyak santri berlalu lalang menuju kelas masing-masing, saat hendak berbelok melewati lapangan basket keempat santri putri itu malah dikejutkan dengan segerombolan laki-laki tampan.
“Astagfirullah.” Lirih Adira dengan pelan. Dia hampir saja menabrak dada bidang seseorang.
“Hampir.” Lanjut ketiga santri putri itu. Mengelus dada masing-masing karena hampir saja terjadi insiden yang tidak diinginkan.
“Loh kalian mau kemana?” Suara bas milik dari seorang laki-laki diantara mereka mengundang perhatian keempat santri putri itu.
Adira, Almaira, Aruna, Ayyara tidak bisa menahan rasa penasaran hingga mereka dengan kompak menatap pemilik suara bas itu. Hingga…,
“Ma sya Allah, rezeki anak sholeh.” Cicit Aruna dengan pelan. Tanpa sengaja memukul pelan lengan Ayyara yang tepat berada disebelahnya.
“Pangeran dari mana kah ini? Aku tidak sedang bermimpikan?” Lanjut Ayyara tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah-wajah bak pangeran itu.
Adira dan Almaira menggeleng pelan, malu dengan kedua temannya yang bisa-bisa memuji secara langsung didepan para ustadz muda di pondok mereka.
“Teman siapa sih mereka?” Tanya Almaira dengan suara pelan kepada Adira.
“Punya teman kok gini amat ya Allah.” Ucap Adira. Menghela napas panjang. “Afwan ustadz, tadi ana tidak melihat dan hampir saja menabrak anda.” Lanjutnya dengan pandangan melihat ujung sepatunya.
“Tidak apa-apa, lagi pula tidak disengajakan dan lain kali hati-hati.” Jawab ustadz tersebut yang berdiri didepan ketiga temannya.
“Na’am ustadz Agra, sekali lagi maaf.” Ucap Adira lagi masih merasa tidak enak kepada ustadz Agra.
Agra tersenyum tipis bahkan hampir tidak terlihat. “Sudah, jadi kalian ini mau kemana? Bukannya ini sudah masuk jam belajar?” Cecar Agra kepada keempat santriwati itu.
“Eh…, i-tu kita mau ke-kantin dulu ustadz.” Jawab Adira dengan gugup. Lengannya sibuk menyenggol Almaira untuk membantunya menjawab.
Almaira yang paham mengangguk. “B-benar ustadz, k-kita mau beli minum dulu.”
“Benarkah? Kenapa gugup seperti itu? Kami tidak memakan manusia, jadi santai saja.” Celetuk seseorang tepat disebelah Agra. “Tunggu…,”
“Eh-iya?”
“Hussstttff, sudah kalian silahkan kekantin tapi ingat segera kembali kekelas. Jangan bolos, apa lagi buat ulah.” Tutur Agra dengan tegas. “Kalau sampai itu terjadi, ingat… kami yang akan memberi hukuman kepada kalian, paham?”
Keempatnya mengangguk dengan cepat.” PAHAM USTADZ!”
“Bagus, kami permisi. Assalamu’alaikum.” Salamnya. Lalu berjalan menjauh diikuti oleh ketiga teman-temannya.
“Wa’alaikum salam.” Jawab mereka.
“Gila! Aura mereka kuat sekali, aku merinding.” Ujar Ayyara pelan dengan tatapan masih menatap punggung para ustadz itu.
“Benar banget, apa lagi tadi dengar nada tegas ustadz Agra.” Lanjut Almaira.
xxx
“Jadi mereka adalah yang dimaksud kiyai Aldan? Santriwati yang selalu melanggar?” Tanya salah seorang dari mereka.
Mereka duduk ditaman madrasah yang memperlihatkan luasnya lapangan basket didepan mereka, mereka juga sedikit mengenang momen dimana mereka masih menjadi santri sebelum akhirnya mereka kembali lagi untuk mengabdikan diri mereka sebagai seorang guru.
“Benar, mereka yang menjadi tanggung jawab kita.” Jawab Agra. Menikmati semilir angina yang menyapa wajahnya.
“Owwhhh, kalau diperhatikan mereka tidak terlihat seperti santri yang suka melanggar.” Ucap Abraham.
Abraham Fairus, seorang ustadz muda yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di Mesir bersama-sama ketiga sahabatnya, laki-laki muda dengan wajah kecil namun terlihat tegas. Tubuhnya tegap dan juga dia paling ramah.
“Benar Abraham, namun kenyataannya ya mereka memang santriwati dengan segala tingkah ajaibnya.” Lanjut Bima. Duduk diantara Agra dan Abraham.
Aditnya Bima Rajasa, umurnya lebih tua dari semua rekan-rekannya mereka selisih setahun. Laki-laki muda yang memiliki wajah manis dan lesung pipi di sebelah kanannya menambah kesan manis saat dia tersenyum. Dia juga sedikit misterius.
“Ana bahkan tidak berfikir kita akan kembali mengasuh anak-anak dengan segala tingkahnya itu, untung saja kita sudah berpengalaman.” Timpal Abyan.
Abyan Putra Praharja laki-laki dengan segala tingkah yang sangat sulit ditebak, terkadang dia akan menjadi pribadi yang dingin seperti Agra. Memiliki rahang tegas dan bola mata hitam pekat, dia paling tidak suka saat seseorang berbohong entah alasan apapun itu.
Agra dan lainnya mengangguk setuju, mereka sudah memiliki pengalaman mendidik santri nakal jadi itu tidak sulit bagi mereka berempat. Namun…,
“Itu santri putra, dan kita sedang menghadapi makhluk sejenis betina?” Tanya Abraham dengan wajah tak menyangka. “Wahhh, ana harus menyiapkan mental.” Lanjutnya lagi.
“Ya, mendidik mereka sangat jauh berbeda dengan yang kita lakukan kepada santri putra. Bahkan tadi adalah pertemuan perdana kita.” Ujar Bima.
“Itu juga karena tak sengaja bertemu.” Lanjut Abyan.
Agra memainkan lidahnya didalam sana, sepertinya dia tengah memikirkan sesuatu.
semangat 💪👍