Ketika seorang pemuda dihantui oleh teka-teki atas hilangnya sang Ayah secara misterius. Bertahun-tahun kemudian ia pun berhasil mengungkap petunjuk dari buku catatan sang Ayah yang menunjuk pada sebuah batu prasasti kuno.
Satrio yang memiliki tekad kuat pun, berniat mengikuti jejak sang Ayah. Ia mulai mencari kepingan petujuk dari beberapa prasasti yang ia temui, hingga membawanya pada sebuah gunung yang paling berbahaya.
Dan buruknya lagi ia justru tersesat di sebuah desa yang tengah didera sebuah kutukan jahat.
Warga yang tak mampu melawan kutukan itu pun memohon agar Satrio mau membantu desanya. Nah! loh? dua literatur berbeda bertemu, Mistis dan Saint? Siapa yang akan menang, ikuti kishanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deni S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP26
Petua Adat menatap Satrio dengan tatapan tajam, meski tetap ada kelembutan di sana. "Anak muda? Mengapa kau tampak murung? Percayalah, hanya itu yang aku ketahui, dan hanya itulah warisan yang ditinggalkan leluhur kami. Selebihnya hanya ada pantang-pantangan, hukum-hukum adat, dan beberapa cerita rakyat lama."
Satrio mengangguk pelan, meski keinginannya untuk tahu lebih jauh tak teredam. "Cerita rakyat? Jika berkenan, mungkin aku ingin mendengarnya, Petua Adat," katanya, sambil menjaga kerendahan suaranya, penuh hormat.
Petua Adat menarik napas panjang, bibir berkerutnya perlahan tertarik membentuk senyum kecil. "Kau sungguh datang jauh-jauh untuk mendengar cerita dongeng, ya?" gurau Petua Adat, diiringi tawa serak yang ringan. "Baiklah, baiklah. Aku akan ceritakan satu legenda untuk kalian."
Matanya menerawang, memulai kisah dengan nada yang dalam, menggema dalam ruangan sederhana itu. “Di tempat ini, dahulu kala, hiduplah sebuah pohon raksasa yang konon disebut sebagai Nenek Moyang dari segala pohon. Pohon itu begitu besar, tingginya menjulang, lebih dari apa pun yang ada di sekitarnya. Sedangkan akarnya, menjalar jauh ke dalam perut bumi. Orang-orang zaman dahulu percaya, pohon ini mampu menjadi penuntun bagi siapa pun yang tersesat. Dalam kegelapan atau badai, pohon itu selalu terlihat dari kejauhan, seakan memberikan arahan bagi mereka yang mencari jalan pulang.”
Ekot tersenyum tipis, merasa mulai terhibur dengan cerita itu. Namun tidak dengan Satrio, wajahnya penuh perhatian, tak ingin melewatkan sepatah kata pun.
Petua Adat melanjutkan dengan tatapan yang jauh, seolah melihat kembali bayangan masa lampau. “Namun, sebesar dan sehebat apa pun pohon itu, ia memiliki kekurangannya sendiri. Pohon raksasa ini, kesepian. Ia menyaksikan waktu yang terus bergulir, menyaksikan orang-orang datang dan pergi, namun ia sendiri tak mampu bicara atau berkelana. Pohon itu merasa hidupnya hanya untuk orang lain, memberi petunjuk dan perlindungan, tapi tak ada satu pun yang benar-benar mengerti dirinya.”
Tawanya mengalun kecil, serak dan penuh makna, saat Petua Adat melanjutkan. “Akhirnya, pohon itu memilih untuk mengakhiri masanya. Pada suatu malam, dengan segala kebesaran dan kesepian yang ia rasakan, pohon itu pun roboh. Orang-orang bilang, suara robohnya seperti guntur yang menggema jauh ke segala penjuru hutan. Setelah itu, akar-akarnya mengeras, membentuk bukit-bukit tinggi, menjadi tanda abadi dari keberadaannya. Hingga kini, orang-orang menyebutnya. Bukit Larangan. Simbol yang tak bisa hilang dari sejarah tempat ini.”
Hening mengisi ruangan, sementara Satrio terdiam, mencerna setiap kata yang barusan ia dengar. Cerita itu menyisakan kesan mendalam, seakan menyingkap tabir lain dari rahasia desa ini yang belum sepenuhnya terungkap.
Petua Adat mengakhiri ceritanya dengan senyuman yang sarat makna, sebuah senyuman lemah yang tampak dipenuhi kenangan masa lalu. “Itu hanya legenda yang turun-temurun,” ujarnya, suara lembutnya terdengar jauh. “Orang tua dulu selalu punya cerita seperti itu untuk anak-anak mereka, agar mereka bisa bermimpi dan belajar menghargai alam.”
Ekot tertawa kecil, seolah cerita itu baginya hanyalah hiburan ringan. “Sejak kukecil, aku suka sekali mendengar dongeng dari Petua Adat,” sahutnya ceria, mencairkan suasana dengan senyumnya yang lebar.
Namun, Satrio tetap tenang, tak sedikit pun tersenyum. Matanya tak lepas dari wajah Petua Adat, menatap dengan tatapan penuh makna, seolah mencari lebih dalam dari sekadar kata-kata. Bagi Satrio, cerita itu bukanlah sekadar dongeng.
Ia merasakan adanya lapisan tersembunyi di baliknya, seperti kunci dari sebuah misteri besar yang selama ini mengganggu pikirannya. Kisah tentang pohon raksasa yang berubah menjadi bukit-bukit, tentang petunjuk arah bagi mereka yang tersesat, dan kesepian mendalam yang membawa pohon itu memilih untuk tumbang. Semua itu terasa seperti potongan dari teka-teki yang hilang.
"Pohon raksasa. Penuntun bagi yang tersesat, dan bukit larangan," Satrio bergumam dalam hati, sementara pikirannya mulai mengaitkan potongan informasi yang selama ini ia kumpulkan. Di gua itu, ia pernah melihat simbol-simbol aneh: pohon raksasa, matahari, dan bulan, seolah memberikan petunjuk. "Simbol yang tertoreh di badan gua mengisahkan pohon raksasa… Matahari dan bulan sebagai penunjuk arah…"
Ia berpikir dalam-dalam, mencoba merangkai semua ini, hampir seperti merasakan jika ada serangkaian pola, yang akan segera bersatu. "Ayo, Satrio," batinnya, menekan dirinya sendiri untuk berpikir lebih keras, menggali jauh ke dalam ingatannya. Semua tanda-tanda ini, cerita-cerita lama, seakan mulai membentuk sebuah jejak--jejak yang ia yakini bisa membawanya pada jawaban yang selama ini ia cari.
Satrio pun jatuh dalam lamunan yang dalam, pikirannya berputar, menyusun kembali misteri yang perlahan-lahan mulai terungkap, sementara Petua Adat dan Ekot memperhatikannya dengan tatapan heran. Mereka tak menyadari bahwa di balik tatapan kosongnya, Satrio tengah menyusuri lorong-lorong rahasia sejarah.
Petua Adat menatap Satrio dengan raut penasaran. “Mengapa kau terlihat begitu serius, Nak?” tanyanya, membuat Satrio terkesiap.
Satrio terdiam sejenak, mencoba merangkai pikirannya. “Begitulah sebuah legenda bisa tercipta. Berawal dari apa yang ada, hingga waktu merubahnya secara perlahan, dan menjadikannya sebuah legenda.”
Kali ini, Petua Adat tidak tersenyum lagi. Ia hanya menatap Satrio dalam-dalam, seakan mempertimbangkan sesuatu. Ekot menoleh ke arah Satrio dengan bingung, tak memahami ke mana arah pemikirannya.
Namun, di mata Petua Adat, ada secercah pengakuan. Sebuah kepercayaan yang pelan-pelan muncul di antara keraguan.
Satrio mengangguk pelan, berusaha merangkai cerita Petua Adat dengan informasi yang telah ia dapatkan.
Ia terjebak pada satu kalimat yang menarik perhatiannya, dan tanpa banyak basa-basi, Satrio akhirnya bertanya, “Petua Adat. Apakah memiliki cerita, tentang bukit larangan?”
Mendengar pertanyaan itu, Petua Adat tampak terdiam sejenak. Raut wajahnya berubah, menampakkan bayangan rasa pedih yang mendalam. Ekot memperhatikan dengan tatapan cemas, namun Satrio tetap menunggu dengan tenang.
Petua Adat menghela napas panjang, seolah mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan rahasia yang sudah lama terpendam. “Bukit itu… Adalah tempat yang tidak boleh dimasuki oleh siapapun. Hutan Larangan, begitulah masyarakat mengenalnya, adalah wilayah yang penuh dengan misteri dan bahaya.”
Ekot tampak hendak membuka mulut, namun ia menahannya ketika melihat raut wajah Satrio yang sangat serius. Petua Adat melanjutkan dengan suara berat, “Dulu, masyarakat kami percaya bahwa di tengah Hutan, ada sebuah lembah. Lembah itu tidak seperti lembah-lembah biasa. Konon katanya, itu adalah tempat berkumpulnya semua roh yang berdiam di hutan ini. Mereka yang meninggal dengan cara yang tidak wajar, yang penuh dendam dan kesakitan, berkumpul di sana. Tempat itu dianggap sakral dan sangat berbahaya.”
Petua Adat menatap Satrio dalam-dalam, seolah menilai apakah pria ini mampu menerima kebenaran yang ia ungkapkan. “Orang tua dulu selalu mengingatkan, siapa saja yang berani mendekati lembah itu, akan mengalami kesialan dan keburukan. Sebab, roh-roh yang ada di sana menyimpan dendam dan rasa sakit yang tidak pernah bisa mereka lepaskan. Mereka tersesat di sana, dan siapa pun yang datang akan menjadi mangsa rasa dendam mereka. Itulah mengapa dinamakan, Hutan Larangan.”
Satrio menahan napas. Cerita ini terasa jauh lebih nyata dan lebih mengerikan daripada sekadar legenda belaka. Petua Adat tampaknya tidak hanya mengisahkan dongeng dari masa lalu, melainkan sebuah peringatan yang dipegang teguh oleh masyarakat.
Petua Adat mengalihkan pandangannya ke arah jendela, tatapannya penuh kesedihan dan kehati-hatian. “Aku sendiri… sudah melihat banyak orang yang hilang atau mati dengan cara yang aneh setelah mencoba mendekati lembah itu,” ujarnya dengan suara pelan. “Termasuk orang-orang terdekatku…”
Satrio dan Ekot saling bertukar pandang, mencoba mencerna apa yang baru saja mereka dengar. Ekot tampak bingung, sementara Satrio merasa firasatnya semakin kuat bahwa semua ini berkaitan dengan misinya. Namun, ia tahu bahwa mendesak Petua Adat terlalu jauh hanya akan membuat suasana menjadi lebih berat.
“Maafkan aku, Petua Adat,” kata Satrio dengan hormat. “aku tidak bermaksud membangkitkan kenangan yang menyakitkan.”
Petua Adat hanya mengangguk perlahan. “Tidak apa-apa,” jawabnya lemah. “Jika kau memang harus mengetahui, aku rasa kau akan mengetahuinya dengan sendirinya. Tapi berjanjilah satu hal Nak.”
Satrio menatap Petua Adat dengan serius, menunggu permintaan itu.
“Berjanjilah, apapun yang kau tahu dari leluhur kami, jangan sampai hal itu membawa malapetaka bagi desa ini,” ujar Petua Adat, nadanya penuh ketegasan dan kekhawatiran. “Jangan sampai kau membangunkan sesuatu yang seharusnya tetap tertidur.”
Satrio mengangguk dengan mantap, meski hatinya dipenuhi kegelisahan. “Aku berjanji, Petua Adat,” jawabnya. Dalam hatinya, ia merasakan panggilan kuat untuk menuntaskan apa yang ia mulai, meski ancaman yang mengintai tampak semakin nyata.
Ekot yang mengerti, isyarat yang diberikan Satrio akhirnya berpamitan. "Petua Adat, Terima kasih banyak atas waktunya. Kami izin pamit," kata Ekot dengan nada Hormat. Petua Adat hanya mengangguk pelan, seraya senyum di bibirnya.
Mereka pun melangkah cepat meninggalkan rumah Petua Adat, hingga di halaman depan, Djaya sudah menunggu mereka dengan tatapan bertanya. "Apa kalian sudah selesai?" tanya Djaya.
"Sudah, Paman. Terima kasih atas waktunya," jawab Ekot dengan sopan. Setelah berpamitan, ia pun bergegas mengikuti langkah Satrio yang tampak semakin cepat.
"Kita harus cepat, Ekot," ujar Satrio, matanya menyiratkan tekad yang tak tergoyahkan. "Ada yang ingin aku pastikan di gua leluhur."
Melihat Satrio yang tampak tergesa-gesa, Ekot hanya mengangguk, tanpa berani bertanya lebih jauh. Ia mempercepat langkahnya, mengikuti kecepatan Satrio yang seolah tak sabar untuk segera tiba.
Setibanya di gua leluhur, Satrio langsung menerobos masuk tanpa ragu. Suasana hening di dalam gua, diselimuti aroma tanah basah. Satrio membuka buku catatannya, meneliti tiap simbol dan ukiran yang ada di dinding gua, sementara tangannya bergerak cepat, mencocokkan catatannya dengan setiap lekukan ukiran kuno yang ia amati.
Beberapa kali, Satrio mengangguk pelan, kemudian kembali menunduk pada catatannya. Tatapannya semakin tajam, matanya menyusuri setiap detil di dinding gua, mencocokkan, membandingkan, hingga akhirnya ia menutup bukunya dengan senyum penuh kepuasan.
"Akhirnya, Ekot! Akhirnya," serunya, suaranya menggema di dalam gua. "Aku berhasil melengkapi mata rantai yang hilang itu. Kini kerangka teoriku terasa sempurna."
Ekot menatap Satrio dengan kebingungan, menyaksikan ekspresi penuh kemenangan di wajahnya. Meski tak sepenuhnya mengerti apa yang dimaksud Satrio, Ekot tak bisa menahan senyum miris. Baginya, semua ini tampak seperti rangkaian teka-teki rumit yang hanya bisa dipahami oleh orang seperti Satrio.
“Jadi… kau sudah menemukan apa yang kau cari?” Ekot akhirnya bertanya, suaranya pelan namun penuh harap.
Satrio mengangguk, masih dengan senyum tersungging di bibirnya. “Ya, Ekot. Aku menemukan jawabannya, setidaknya bagian terpenting dari jawaban itu. Gua ini, pohon besar dan Hutan Larangan, semuanya memiliki keterkaitan yang selama ini tersembunyi di balik simbol-simbol kuno ini.”
Ekot mengangguk pelan, meski ia masih belum sepenuhnya paham. Namun, melihat keyakinan di wajah Satrio, ia tahu perjalanan mereka menuju kebenaran akan semakin menarik, sekaligus berbahaya.
lanjut nanti yah