Nadif, seorang pria tampan berusia 30 tahun yang hidupnya miskin dan hancur akibat keputusan-keputusan buruk di masa lalu, tiba-tiba ia terbangun di Stasiun Tugu Yogyakarta pada tahun 2012- tahun di mana hidupnya seharusnya dimulai sebagai mahasiswa baru di universitas swasta ternama di kota Yogyakarta. Diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan masa lalunya, Nadif bertekad untuk membangun kembali hidupnya dari awal dan mengejar masa depan yang lebih baik.
Karya Asli. Hanya di Novel Toon, jika muncul di platform lain berarti plagiat!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fernicos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nadif - Bab 3: First Step
Setelah memastikan tanggal dan tahun dengan pejalan kaki, Nadif melanjutkan perjalanannya, masih merasa bingung dan takjub. Ia mendekati stasiun dan melihat banyak taksi berjejer. Nadif memesan taksi dan memberi tahu sopir tujuan.
“Pak, tolong bawa saya ke Jalan Kaliurang Kilometer 13,5. Saya mau cari alamat kontrakan sepupu saya,” kata Nadif.
Sopir taksi mengangguk dan mulai menjalankan mobil. Nadif duduk di kursi belakang, merenung tentang kesempatan baru ini. Jalan Kaliurang, tempat tinggal sepupunya, menjadi harapan baru baginya.
Selama perjalanan, Nadif melihat pemandangan Jogja yang lama tak ia lihat. Jalanan yang dulu ia kenal kini tampak seperti kenangan lama yang menghubungkannya dengan masa lalu.
“Rasanya seperti kembali ke masa lalu. Gue harus mulai dari awal dan tidak mengulangi kesalahan yang sama,” pikirnya.
Setibanya di Jalan Kaliurang, Nadif minta sopir berhenti di dekat alamat yang ia ingat. Setelah membayar tarif, ia turun dan mulai mencari alamat kontrakan sepupunya.
Setelah berkeliling dan mencari nomor rumah yang dikenal, akhirnya Nadif menemukan rumah yang familiar, rumah kontrakan dengan tampilan sederhana. Papan nama di depan rumah memastikan ini adalah tempat yang ia cari.
Nadif berdiri di depan pintu, memegang koper dan tas dengan canggung. Ia mengambil napas dalam-dalam dan mengetuk pintu. Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan Diana, sepupunya, muncul dengan senyuman ramah.
“Nadif! Baru datang, ya? Tadi nyasar nggak?” tanya Diana.
“Iya mbak, agak bingung nyari alamatnya,” jawab Nadif sambil tersenyum penuh rasa syukur.
Diana mengangguk dan mempersilakan Nadif masuk.
“Ayo masuk, ada kamar kosong. Itu nanti kamar kamu. Taruh barang-barangmu di situ.”
Nadif mengikuti Diana masuk dan melihat kamar kosong yang ditunjukkan. Kamar itu bersih dan nyaman, dengan tempat tidur sederhana dan beberapa perabotan dasar. Ia mulai menata barang-barangnya.
“Makasih banyak Mbak Diana,” kata Nadif tulus.
Diana berdiri di pintu kamar sambil tersenyum.
“Sama-sama. Kita udah lama nggak ketemu ya? Oh, by the way, aku bakal jadi senior kamu nanti di kampus. Aku di Teknik Informatika angkatan 2008. Aku mungkin butuh setahun lagi buat selesai kuliah.”
“Ah, iya. Aku pasti akan butuh banyak bantuan di kamu awal-awal ini,” jawab Nadif.
Diana meninggalkan Nadif untuk menyelesaikan penataannya. Nadif menyelesaikan penataan barang-barangnya dan memutuskan untuk istirahat sebelum hari pertama di kampus.
Pagi harinya, Nadif terbangun dengan semangat baru. Matahari pagi menyinari kamarnya dan udara segar memberi dorongan awal untuk memulai hari. Ia bersiap-siap dengan rapi dan wangi.
Saat turun ke ruang makan, Diana sudah menyiapkan sarapan—nasi goreng, telur ceplok, dan segelas susu. Diana menyambutnya dengan senyum hangat.
“Pagi, dif. Sarapan sudah siap. Aku sudah masukin jadwal ospekmu ke ponselku. Kalau butuh bantuan, tinggal tanya ya,” kata Diana.
“Makasih Mbak. Masakan kamu kok enak bgt ini” puji Nadif sambil melahap sarapannya.
Setelah sarapan, Nadif merapikan meja dan bersiap untuk berangkat ke kampus. Dengan tas punggung yang sudah siap, ia berjalan kaki menuju kampus, menikmati suasana pagi kota Jogja.
Sesampainya di gerbang kampus, Nadif terpesona dengan pemandangan yang mengingatkannya pada masa lalu.
Gerbang utama universitas menyambut kedatangannya dengan megah. Di sepanjang boulevard menuju mesjid universitas, ia melihat arsitektur yang indah.
Para mahasiswa sibuk dan penuh semangat. Nadif merasa semakin siap untuk memulai perjalanan barunya di kampus.
Di dalam mesjid kampus, Nadif bergabung dengan kelompok mahasiswa yang sudah berkumpul. Panitia ospek menjelaskan jadwal dan perlengkapan yang diperlukan.
“Selamat datang di universitas kami. Pastikan kalian memakai seragam dengan ketentuan ospek. Atasnya adalah kemeja putih dan celana atau rok hitam, lalu membawa buku catatan, alat tulis, dan botol air minum. Ospek Universitas berlangsung 2 hari dan fakultas akan dilanjutkan hari berikutnya setelah ospek universitas. Selamat beradaptasi,” kata panitia.
Nadif mencatat semua informasi penting di ponselnya dan merasa semakin termotivasi.
Di tengah keramaian, seorang mahasiswa di sebelahnya tiba-tiba menyapa.
“Hey, bro,” sapa mahasiswa itu.
Nadif menoleh dan merasa wajahnya familiar. Ia mencoba mengingat dan tiba-tiba tersadar—ini adalah Ryo, temannya dari kehidupan sebelumnya.
“Ryo, kan?” tanya Nadif.
Ryo tampak bingung.
“Iya, tapi kok lo bisa tahu nama gue?”
Nadif tersenyum.
“Hmm, coba nebak aja. Lo Teknik Informatika, kan? Kita satu jurusan.”
Ryo semakin bingung.
“Iya, bener. Tapi kok lo bisa nebak?”
“Gue Nadif dari Purwokerto.” Kata Nadif menjelaskan.
Ryo terlihat kaget.
“Kita kan baru ketemu. Kok lo bisa tahu?”
“Mungkin lo yang lupa, gue pernah kenal lo dulu.” Jawab Nadif.
Ryo tertawa.
“Hehe, iya mungkin gue lupa. By the way, ospek universitas wajib, prasyarat buat ikut KKN. Ospek fakultas sih nggak wajib. Gue bakal bolos pas ospek fakultas, males banget panas-panasan.”
Nadif mengangguk.
“Iya, gue tetap ikut. Nikmatin aja masa-masa ospek ini, pengalaman kayak gini ga bakal bisa keulang, kecuali lu balik ke masa lalu” jawabnya dengan penuh arti.
"Buset dah, dalem banget bahasa lo. Yaudah yuk, abis ini ke kost gue. Gue kenalin ke temen-temen kost.”
Nadif setuju. Setelah acara selesai, mereka menuju kost Ryo. Di sana, Ryo memperkenalkan Nadif kepada teman-temannya yang ramah.
“Ini Nadif dari Purwokerto, satu jurusan dengan kita di Teknik Informatika. Nadif, ini teman-teman gue,” kata Ryo.
Teman-teman Ryo menyambut Nadif dengan antusias. Alex, salah satu temannya, menawarkan camilan.
“Selamat datang di Jogja, Nadif. Sering-sering aja main ke kost kita. Malem abis ospek fakultas hari terakhir, kita rencana mau ke clubbing di Hug*s. Lo mau ikut?” tanya Alex.
Nadif tersenyum.
“Makasih, Alex. Mungkin nggak sekarang, lain kali aja.”
Alex mengangguk. “Oke, kapan-kapan kalau mau ikut party, tinggal bilang aja.”
Nadif ingat betul ajakan Alex untuk clubbing di Hug*s di kehidupannya yang lalu. Kini, ia memutuskan untuk menjauhi hal itu, kecuali ada alasan yang penting.
Menjelang sore, Nadif berpamitan dengan Ryo dan teman-temannya, Nadif berjalan pulang ke kontrakan dengan langkah santai. Suasana sore Jogja yang hangat dan sedikit berangin menemani pikirannya yang mulai dipenuhi oleh ingatan masa lalu.
Sesampainya di kontrakan, Nadif segera membersihkan diri dan bersiap untuk tidur. Kamar kontrakannya yang sederhana tapi nyaman menjadi tempatnya merenung sebelum tidur.
Nadif berbaring di tempat tidur, matanya menatap langit-langit kamar yang diterangi lampu remang-remang. Ia mencoba mengingat kejadian yang terjadi di kehidupan sebelumnya—peristiwa yang masih ia sesalkan hingga sekarang. Pikirannya kembali ke hari pertama ospek fakultas yang akan ia hadapi beberapa hari lagi.
Dia ingat, tidak ada yang istimewa di hari pertama dan kedua ospek universitas, tetapi di hari pertama ospek fakultas yang diselenggarakan di hari berikutnya, ada hal yang sangat istimewa untuknya.
Itu adalah sosok Vonzy, cinta pertamanya saat menjadi mahasiswa baru. Vonzy adalah seorang mahasiswi Teknik Kimia perantauan asal Kota Balikpapan yang sangat cantik dan manis, yang selalu membuat Nadif merasa gugup setiap kali melihatnya.
Di kehidupannya yang lalu, Nadif hanya berani mengagumi Vonzy dari jauh, tanpa pernah benar-benar mendekat atau berkenalan dengannya.
Rasa takut dan rasa minder membuatnya tidak berani mengambil langkah lebih jauh, terutama karena dia tahu bahwa Vonzy sudah punya pacar.
Pikirannya terus bergulir ke momen yang tidak pernah ia lupakan—hari pertama ospek fakultas, ketika Vonzy dan pacarnya dihukum untuk naik ke panggung karena melakukan pelanggaran kecil. Itu adalah pertama kalinya Nadif melihat Vonzy dari dekat, dan saat itulah perasaan kagum yang mendalam mulai tumbuh.
Namun, melihat Vonzy bersama pacarnya membuatnya semakin merasa tidak berdaya dan hanya bisa memendam perasaannya.
“Gue nggak akan biarin itu terjadi lagi,” gumam Nadif kepada dirinya sendiri.
“Gue nggak mau cuma jadi penonton lagi. Gue harus berani maju, berani ngomong sama Vonzy, dan nggak peduli dengan apapun yang terjadi.”
Nadif menarik napas panjang, menguatkan tekadnya.
Di kehidupan yang baru ini, dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan membiarkan kesempatan untuk dekat dengan Vonzy berlalu begitu saja. Meski ada kemungkinan Vonzy masih bersama pacarnya, Nadif tahu bahwa kali ini dia tidak akan mundur tanpa mencoba.
“Besok, gue akan mulai langkah pertama. Gue akan bikin perubahan,” bisiknya dalam hati, penuh keyakinan.
Dengan pikiran itu, Nadif perlahan menutup matanya dan membiarkan kelelahan hari itu membawanya ke alam mimpi. Tekadnya untuk mengubah takdirnya semakin kuat, dan dia yakin bahwa besok akan menjadi awal dari perjalanan yang baru.
Di kamarnya yang tenang, Nadif tertidur dengan senyum kecil di wajahnya, siap menghadapi hari pertama ospek fakultas dengan semangat yang lebih besar.
Kita sebagai pembaca seolah dibawa oleh penulis buat ngerasain apa yg Nadif alamin. Keren bangettt 🌟🌟🌟🌟🌟
semangat berkarya ya thor🙏🏽
#Gemes aku bacanya klw MC-nya Naif kaya gini.
Harusnya MC lebih Cool dan benar2 fokus memperbaiki diri, bahagiain keluarga, memantapkan karirnya. Jangan diajak2 RUSAK, malah mau...🙄