"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rian solekhin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25: Sial
Keesokan harinya, pagi itu, Ryan duduk diam di dalam bus, wajahnya muram. Jendela di sampingnya dipenuhi embun pagi yang masih tersisa, memantulkan bayangannya yang tampak lesu. Di luar, jalanan penuh sesak. Mobil-mobil mengular, membuat bus nyaris tidak bergerak.
TINN... TIINN...
suara klakson mobil terdengar bersahut-sahutan.
Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 6:43. Sekolah mulai pukul 7:00. Waktu terasa menghimpitnya. 'Sial, kenapa aku naik bus? Kalau aku jalan kaki dari awal, mungkin sudah sampai,' pikirnya sambil menahan kesal.
Dengan perasaan sebal, Ryan menghela napas panjang, pandangannya kembali tertuju ke luar jendela. Dari sudut matanya, ia melihat Cici duduk tak jauh darinya. Wajah Cici tampak berbeda dari biasanya, ada raut khawatir yang sulit ia sembunyikan. Tatapan itu bukan seperti Cici yang ia kenal yang biasanya selalu terlihat percaya diri dan sedikit tegas.
'Ada apa dengannya?' batinnya, sambil menatapnya lebih lama. 'Ini bukan Cici yang biasanya.'
Ketika Cici akhirnya menoleh, mata mereka bertemu. Hanya sekejap, tapi cukup untuk membuat Ryan terdiam, merasa ada sesuatu yang berbeda. Wajah Cici, dengan ekspresi yang lebih lembut dan imut dari yang ia ingat, membuat jantung Ryan tiba-tiba berdetak lebih cepat.
degh... degh... jantungnya berdegup kencang.
Ryan cepat-cepat memalingkan wajahnya, merasakan keringat dingin di pelipis. "Kenapa harus sekarang?" gumamnya pelan, merasa semakin kesal pada dirinya sendiri. Seharusnya hari ini lebih baik daripada kemarin, tapi semuanya justru terasa makin kacau. Semalam ia terjebak hujan deras, gagal pergi ke gym Om Dedi, dan pagi ini dia malah terjebak di bus yang bergerak seperti siput.
"Hari ini benar-benar apes."
Setelah beberapa saat, Ryan mendengar langkah Cici mendekatinya. Ia mengangkat pandangannya, melihat Cici berdiri di depannya dengan ekspresi cemas.
"Ryan, bisa bantu aku?" suara Cici terdengar lembut, sedikit ragu.
Ryan mengerutkan dahi. "Ada apa?"
"Aku lupa menyerahkan laporan kerja kelompok kemarin. Bisa tolong antarkan ke sekolah? Aku harus menemui guru lain dulu," Cici menyerahkan beberapa lembar kertas dengan tangan gemetar.
Ryan menatap kertas itu, lalu kembali melihat wajah Cici yang tampak serius. Cahaya matahari pagi yang menembus jendela memantulkan sinar di wajahnya, membuatnya tampak seolah bercahaya. Ryan terpaku sejenak, merasa canggung, tapi segera meraih kertas itu dengan satu tarikan napas.
"Baiklah," ucapnya pasrah.
Cici tersenyum, terlihat lega. "Terima kasih banyak."
Ryan berdiri, melangkah ke arah pintu bus. "Pak, boleh saya turun di sini?" tanyanya kepada sopir, mencoba mengabaikan keraguan yang mulai muncul.
Sopir menoleh heran. "Di sini? Tapi uangmu nggak bisa dikembalikan."
"Nggak apa-apa," Ryan hanya mengangguk cepat. Ia harus segera bergerak.
desis... suara pintu otomatis bus terbuka
Ryan turun ke trotoar. Hawa pagi terasa segar namun menekan. Jam di tangannya menunjukkan pukul 6:45. Hanya lima belas menit tersisa sebelum jam masuk sekolah. Dia berdiri sejenak, lalu menarik napas panjang, memusatkan pikirannya.
"Kalau nggak cepat, semua ini bakal sia-sia. Aku harus berlari," tekadnya bulat.
Dengan satu tarikan napas, Ryan bersiap. Dunia di sekelilingnya terasa melambat, pandangannya semakin fokus. Ia mulai berlari, kakinya menyentuh aspal dengan irama cepat.
tap... tap... tap...
Angin menerpa wajahnya, menyapu dingin, sementara napasnya teratur dan dalam. Kecepatan ini, adrenalin yang mengalir di nadinya, membuatnya merasa hidup.
shhh
Di dalam bus, Cici sempat melirik ke luar jendela, matanya membelalak melihat Ryan yang berlari dengan kecepatan yang tak biasa. "Itu... Ryan?" pikirnya terkejut, tak percaya pada apa yang dilihatnya.
Ryan terus melewati kerumunan pejalan kaki di trotoar yang penuh, sesekali seseorang berteriak marah saat hampir tersenggol olehnya.
"Hei, hati-hati!"
Ryan tidak peduli. Tatapannya hanya tertuju ke depan, setiap langkahnya terasa semakin cepat. Genangan air dari hujan semalam masih tersisa di beberapa tempat, tapi itu bukan halangan.
Splash... suara air pecah di bawah kakinya.
Dia melompati genangan, lalu berbelok tajam melewati gerobak pedagang yang baru membuka dagangannya. Bau makanan bercampur dengan sampah pagi menyeruak ke hidungnya, tapi ia berusaha mengabaikannya.
Ffft
Kakinya semakin berat, tetapi dia tahu dia tidak bisa berhenti. Jam sudah menunjukkan pukul 6:54. Waktu terus berjalan, tidak menunggunya. 'Sedikit lagi,' pikirnya, napas semakin berat.
Saat gerbang sekolah akhirnya terlihat, ada kelegaan yang menghampiri. Dia mempercepat langkahnya sekali lagi, bahkan ketika seluruh tubuhnya terasa menjerit.
Gerbang itu ada di sana, hanya beberapa langkah lagi. Ryan merasa seperti sedang mengejar sesuatu yang tidak bisa ia biarkan lepas.
"Masih ada waktu."
Saat ia melangkah melewati gerbang, jam menunjukkan pukul 6:58. Dua menit sebelum bel berbunyi. Ryan berhenti, menahan napas dengan tangan di lutut. Tubuhnya terasa terbakar, tapi ia berhasil.
'Kamu benar-benar berlari seperti orang gila, Ryan,' pikirnya sambil tersenyum pahit.
Setelah mengatur napas, ia mulai berjalan masuk ke gedung sekolah. Kertas laporan itu masih berada di tangannya. 'Semua ini... demi sesuatu yang seharusnya bukan urusanku,' batinnya, merasa kesal.
Bel tanda masuk sekolah akhirnya berbunyi.
kriiing...
Ryan masih terengah-engah ketika melangkah ke dalam kantor guru di lantai 1. Keringat mengalir di wajah dan lehernya, membuat seragamnya terasa lengket. Langkahnya berat, berderak pelan saat memasuki ruangan yang hening.
srek... srek...
Guru yang berjaga di meja memandangnya dengan tatapan tajam, seolah mencium masalah besar yang belum terungkap.
"Laporan kerja kelompok kemarin, Bu," ucap Ryan, suaranya sedikit terputus, napasnya masih terengah-engah. Dia menyerahkan kertas di tangannya, berusaha terdengar tenang.
Guru itu mengambil laporan itu dengan gerakan lambat, matanya menyipit ketika memeriksa halaman demi halaman. Seolah setiap huruf dan angka di laporan itu punya salah besar.
hmm...
Setelah beberapa saat yang terasa seperti seumur hidup, tatapan guru itu kembali ke Ryan. Kali ini lebih tajam, lebih menusuk.
"Ryan, kamu sadar ini sudah terlambat?"
Jantung Ryan berdetak cepat, tapi bukan karena lari tadi, melainkan karena rasa tidak nyaman yang kini merayapi dirinya. Tangannya gemetar, menahan dorongan untuk menjelaskan. Rasanya ingin sekali berteriak bahwa ini bukan salahnya, bahwa laporan ini terlambat karena Cici yang memintanya di menit terakhir. Namun, dia diam. Menyerahkan dirinya pada apa pun yang akan keluar dari mulut guru itu.
Guru itu mendesah, suara napasnya berat, penuh kekecewaan.
huff...
"Kamu tahu kalau keterlambatan ini bisa mempengaruhi nilai seluruh kelompok, kan? Apa yang kau pikirkan?" Suaranya tegas, hampir menusuk, memecah kesunyian ruangan.
Ryan menunduk, genggaman tangannya mengencang, merasakan kuku-kuku yang hampir menembus telapak tangannya. Diamnya semakin membuat beban itu berat, menyesakkan. Namun, ia tahu, mengatakan kebenaran hanya akan membuat Cici malu. Harga diri Cici yang akan hancur, dan itu tidak baik untuknya.
"Maaf, Bu. Saya... lupa membawa laporan itu tadi pagi," suaranya pelan, sedikit bergetar. Kebohongan yang dipaksakan, mencoba terdengar meyakinkan.
Guru itu mendengus, menatapnya dengan penuh kritik. Suara dengusan itu seperti sebuah penghakiman kecil, membuat Ryan merasa semakin kecil di hadapannya.
hmmph...
"Seharusnya, sebagai anggota kelompok, kamu punya tanggung jawab untuk memastikan laporan ini dibawa tepat waktu," ucap guru itu, suara semakin tinggi. "Ini bukan hanya tentang kamu, Ryan, tapi seluruh kelompok."
Kata-kata itu menusuk, menghujam seperti anak panah yang terus menerus menembus hati Ryan. Hening mengisi ruang, tapi tiap kata yang tadi terucap masih menggema di telinganya.
Ryan menunduk lebih dalam, merasakan rasa panas yang menyebar ke wajahnya. Malu, marah, semuanya bercampur menjadi satu di dadanya. Tapi dia tetap diam, menelan semua perasaan itu.
Guru itu menghela napas panjang, tatapannya melembut sedikit, tapi tetap dingin.
"Baik," ucapnya pelan. "Tapi ini akan ada konsekuensi. Lain kali, jangan sampai mengulangi kesalahan seperti ini."
Suasana kembali hening, ketegangan yang menggantung di udara membuat Ryan ingin segera keluar dari sana. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, guru itu mengalihkan pandangannya, memberi isyarat bahwa percakapan telah selesai.
Ryan menelan ludah, menunduk hormat, lalu keluar dari kantor dengan langkah berat.
tap... tap... tap...
Pintu menutup di belakangnya, terdengar suara gemuruh kecil.
tuk...
Kesunyian menyelimuti koridor sekolah, namun di dalam kepalanya, suara guru tadi masih berputar-putar, membayangi setiap langkahnya. Keringat masih mengalir di wajah dan lehernya, makin memperburuk suasana hatinya. Hukuman untuk kesalahan yang bukan miliknya membuat dadanya sesak oleh amarah yang tertahan.
"sial..."
Di novelku juga ada permainan seperti itu, judul chapternya “Truth to Truth. Tapi beda fungsi, bukan untuk main atau bersenang-senang. 😂