Dealova, gadis cantik dengan segala kesedihannya. Dipaksa menjadi orang sempurna membuat Lova tumbuh menjadi gadis yang kuat. Dia tetap berdiri saat masalah datang bertubi-tubi menghantamnya. Namun, sayangnya penyakit mematikan yang menyerang tubuhnya membuat Lova nyaris menyerah detik itu juga. Fakta itulah yang sulit Lova terima karena selama ini dia sudah menyusun masa depannya, tapi hancur dalam hitungan detik.
***
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
"Va, gue ada rezeki pagi ini. Nih, buat lo. Gue tau lo suka coklat." Venus menyodorkan dua coklat pada Lova.
"Maksudnya apa nih? Lo mau bunuh gue lewat coklat ini?" Dia adalah Dealova, tak mungkin bisa percaya begitu saja dengan seseorang.
"Ya ampun, Va... Apa tampang gue kriminal banget?" keluh Venus.
"Bukan kriminal lagi! Muka lo itu buronan polisi!" sahut Gibran.
"Diem lo, pantat cacing!"
"Buruan ambil, pegel nih tangan gue," lanjut Venus sembari menatap Lova yang sedari tadi menatapnya dengan tatapan penuh curiga.
"Gak ada racunnya, Va. Demi Tuhan!" ucap Venus. Bisa-bisanya niat baiknya malah disalahartikan oleh Lova.
"Ya udah, gue ambil. Thanks!" kata Lova setelah dia mengambil coklat tersebut.
"Yoi! Jangan lupa dimakan, ye!" ucap Venus seraya menyengir lebar.
"Ntuh coklat emang gak ada racunnya, Va. Tapi, udah kadaluarsa!" seru Gibran mengompori.
Seketika mata Lova melotot menatap Venus. "LO NYARI MATI, HAH?!"
Venus melambaikan tangannya berkali-kali. "Jangan percaya pantat cacing, Va! Sumpah, itu gak kadaluarsa! Coba liat tanggalnya!"
"Gibran anj! Gue tandain muka lo! Awas aja minta traktir gue lagi!" teriak Venus sambil mengejar Gibran yang sudah lari terbirit-birit.
****
Lova menatap pantulan cermin di depannya, lebih tepatnya menatap 2 orang gadis yang berdiri di belakang.
"Mau apa?" tanya Lova bernada sinis. Dia kembali melanjutkan cuci tangannya sambil menunggu jawaban dari kedua gadis tersebut.
"Jauhin cowok gue, Va," ucap Riya, salah satu gadis tadi.
"Yang mana?" tanya Lova.
"Reyhan! Gara-gara lo, dia jadi cuekin gue!" jawab Riya menggebu.
"Reyhan anak basket itu? Serius lo labrak gue gini? Gak salah?" sinis Lova. Dia berbalik dan bersedekap dada.
"Kalau bukan lo, siapa lagi? Lo yang sering main basket sama dia!" kesal Riya.
"Dia yang ngajakin, masa gue tolak? Jadi, itu bukan salah gue, tapi salah cowok lo." Lova menjawab dengan santai.
Tiba-tiba Riya tersenyum miring dan menatap remeh Lova. "Dasar gak sadar diri. Asal lo tau, semua cewek di sini gak ada yang suka sama lo! Mereka benci karena cowok-cowok lebih ladenin elo dibanding mereka! Lonte ya tetap lonte!" geram Riya.
"Terus, lo pikir gue peduli?" Lova mengangkat kedua alisnya. Sangat menyebalkan di mata Riya dan temannya.
"Apa pernah lo lihat gue godain cowok-cowok yang lo maksud itu? Semua orang juga tau kalau mereka sendiri yang datang ke gue. Satu lagi, gak usah jelek-jelekin gue kalau aslinya lo lebih jelek dan munafik," balas Lova tak kalah pedas.
"MAKSUD LO APA?! YANG MUNAFIK ITU ELO LOVA, LO!" teriak Riya penuh amarah. Sedetik kemudian gadis itu menyerang Lova, menjambak bahkan mencakar nya.
Tentu saja Lova tak tinggal diam. Dia membalas jambakan Riya dan temannya. 1 lawan 2? Siapa takut. Lova tidak selemah itu.
Pagi itu toilet siswi sangat ramai karena ulah mereka bertiga. Banyak yang menonton tapi tidak mau melerai karena mereka menikmatinya.
"Woy woy woy! Ada apa nih?!" Venus, Gibran dan kawan-kawan nya datang dengan heboh.
"Sssttt! Jangan dipisah! Kalian diam aja!" seru para siswi.
"Jangan dipisah pantat lo bolong! Anak orang bisa mati!" kesal Venus.
"Bantuin gue pisahin itu 3 curut, cepet!" lanjut Venus pada ketiga temannya.
Akhirnya keempat cowok itu melerai aksi jambak-jambakan antara Riya dan temannya serta Lova.
"Lepasin!" bentak Lova. Ia memberontak saat Gibran dan Venus memegang kedua tangannya. Di sini, Lova lah yang paling brutal, jadi harus 2 orang yang menangani.
"Nyebut, Va, nyebut!" seru Gibran.
"Dasar lonte lo!" pekik Riya.
"Semuanya! Hati-hati, jaga pacar kalian. Si Lova itu lonte, jangan sampai pacar kalian diambil sama ini cewek!" seru Riya memberitahu semua orang yang ada di sana. Dan seketika semuanya berbisik-bisik negatif tentang Lova.
Tentu saja ucapan Riya membuat Lova kesal dan geram. Itu sama saja membuat namanya semakin buruk di mata orang.
"Inget ya Riya. Bokap lo kerja di rumah sakit punya keluarga gue! Jangan harap lo bisa lolos kali ini!" desis Lova tak main-main. Dia menyentak tangan Gibran dan Venus, setelahnya gadis itu pergi dari sana dengan langkah tergesa. Penampilan Lova sangat kacau, bahkan ada luka cakar di pipinya.
Mendengar ucapan Lova, Riya baru sadar kalau ayahnya memang bekerja di rumah sakit milik keluarga Lova. Gawat, dia kalah kali ini.
"Mampus! Rasain lo! Bentar lagi jadi gembel, deh!" ledek Gibran pada Riya yang terdiam meratapi nasibnya nanti.
"Makanya kalau cari lawan itu yang sepadan!" timpal Venus. Senyum puas tercetak jelas di bibir keduanya.
****
"Kurang ajar banget dia. Bisa-bisanya gue diginiin!"
Lova terus menggerutu sambil terus berjalan menuju belakang sekolah. Dari raut wajahnya saja kentara kalau dia sedang dalam mode senggol bacok. Para murid yang melihat dirinya pun segera menyingkir dari pada kena semprot.
"Lihat aja nanti, gue bakal bilangin Bang Kai!"
Bang Kai adalah Kakak pertama Lova yang paling dekat dengannya. Sayangnya, Kai bertugas di rumah sakit milik keluarga yang ada di luar kota, jadi, Lova hanya bisa mengadu lewat telepon.
"Kamu berubah profesi jadi gembel, ya?"
Lagi-lagi suara itu yang membuat telinga Lova terasa panas.
Dealova menghentikan langkahnya dan menatap Aksara yang berdiri di ambang pintu ruang BK sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Seharusnya terlihat tampan, namun Lova malah merasa mual ketika melihat guru sok cool itu.
"Kayaknya Bapak bisa tipes kalo gak ledekin saya satu hari aja," ketus Lova.
"Saya gak pernah ledekin kamu tuh," balas Aksa.
Lova mendengus, "Gini amat ngomong sama orang tua," gumamnya. Setelah itu dia kembali melangkah.
"Tunggu."
Lova berdecak kesal, "Ada apa lagi, sih, Pak?! Jangan gangguin saya satu hari aja bisa gak sih?!" kesalnya.
"Sepertinya saya tau kenapa kamu sensitif hari ini," ujar Aksa. Wajah tanpa ekspresi itu terlihat menyebalkan di mata Lova.
"Saya emang begini orangnya! Kenapa? Gak suka?" tantang Lova. Dia melipat kedua tangannya di depan dada. Makin kurang ajar saja tampang si bad girl ini.
Aksa tersenyum tipis, sangat tipis. "Rok kamu merah, Lova," ucapnya langsung to the point.
"What?" Ekspresi Lova berubah tegang. Dia menoleh kebelakang menatap roknya, dan benar saja, rok nya merah. Dia lupa kalau hari ini memang jadwal bulanannya.
Lova segera melepas tasnya dan dia gunakan untuk menutupi noda merah tersebut, tapi sayangnya tidak tertutup semuanya.
"Makanya, jangan terlalu cepat berburuk sangka sama orang," ujar Aksa, "Tunggu di sini sebentar."
Bibir Lova cemberut, matanya menatap Aksa yang masuk kembali ke ruangannya.
"Gue yang malu," gumamnya. Sebal sekali. Sepertinya hari ini memang hari apes untuk Lova.
Tak lama kemudian, Aksa kembali dengan membawa sesuatu di tangannya.
"Pakai jaket saya buat nutupin itu. Gak usah dikembalikan," ucap pria itu, dia menyerahkan jaketnya pada Lova.
Karena Lova sangat membutuhkan benda itu, pada akhirnya ia menerimanya meski dengan bibir cemberut.
"Ya udah kalo Bapak maksa!" ucapnya tak tau diri.
Lova segera mengikat jaket tersebut di pinggangnya. Noda merah yang tadinya merusak pemandangan pun kini tertutup sudah.
"Tapi saya gak mau nyimpan jaket ini, jadi, besok saya balikin!" ketusnya. Seperti biasa.
"Nggak usah," ujar Aksa. Dia masih banyak koleksi jaket seperti itu.
"Kenapa emangnya? Bapak gak suka bekas saya, ya? Kalau gak suka, kenapa pinjemin saya jaket?" kesal Lova.
Aksa menghela nafas berat. Bicara dengan Lova sangat menguras tenaga.
"Terserah kamu aja, Lova. Lebih baik kamu pulang aja sekarang."
"Kok ngusir?!"
Tuh kan, salah lagi.
"Emangnya kamu mau belajar dengan penampilan seperti itu?" tanya Aksa.
"Bapak ngeledek saya?!"
"Ada apa ini, Pak Aksa?"
Perdebatan keduanya terhenti saat ada seorang guru wanita, masih muda, datang menghampiri keduanya, namanya Fara.
"Tidak apa-apa," jawab Aksa singkat.
Lova melirik sinis guru wanita tersebut. Selain Aksa, Fara juga adalah musuh Lova, karena tak jarang keduanya berdebat hebat.
"Kamu bikin masalah apa lagi Lova? Kenapa penampilan kamu seperti ini?" Fara melontarkan pertanyaan pada Lova.
"Itu jaketnya Pak Aksa, kan? Kok kamu pakai?" lanjut Fara. Dia menatap tak suka pada Lova. Pasalnya, baru kali ini Aksa mau meminjamkan barangnya dengan suka rela. Aksa itu tidak suka ada yang meminjam barang miliknya dan Fara tau betul sifat Aksa ini.
"Emangnya kenapa? Pak Aksa yang kasih! Ibu iri, ya? Makanya jangan suka caper, Bu. Udah tau Pak Aksa gak suka, masih aja ditempelin," cibir Lova blak-blakan.
Sifat Fara yang sok berkuasa membuat Lova muak. Makanya dia berani bicara seperti itu.
"Jaga ucapan kamu, Lova! Saya ini lebih tua dari kamu!" tekan Fara.
Lova memutar bola matanya malas, "Iya deh, Nyai!"
Setelah mengucapkan itu, Lova segera pergi dari sana sebelum Fara mengeluarkan tanduknya.
"LOVA!" panggil Fara penuh amarah.
Aksa tersenyum tipis melihat tingkah Lova. Tanpa menghiraukan Fara, Aksa lebih memilih masuk ke ruangannya saja.
***
up up up! CRAZY UP!
oiya janlup up ya kak