Perkumpulan lima sahabat yang awalnya mereka hanya seorang mahasiswa biasa dari kelas karyawan yang pada akhirnya terlibat dalam aksi bawah tanah, membentuk jaringan mahasiswa yang revolusioner, hingga aksi besar-besaran, dengan tujuan meruntuhkan rezim curang tersebut. Yang membuat mereka berlima menghadapi beragam kejadian berbahaya yang disebabkan oleh teror rezim curang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zoreyum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merekrut Lebih Banyak
Malam itu, di kafe yang sama, mereka berlima kembali berkumpul. Kali ini, suasana lebih serius. Haki, Dito, Luvi, Yudi, dan Mayuji saling berbagi informasi tentang perkembangan gerakan mereka.
“Gue udah dapet lebih banyak dukungan dari anak-anak Ekonomi,” kata Haki sambil mengangkat bahunya. “Mereka mulai sadar kalau kita harus ngelakuin sesuatu.”
“Gue juga udah dapet respon positif dari anak-anak Teknik,” tambah Yudi. “Mereka siap buat gabung kalau waktunya udah tepat.”
“Dan gue berhasil dapet beberapa nama mahasiswa yang bisa kita percaya,” kata Dito. “Kita udah punya jaringan yang solid. Tinggal nunggu momen yang pas buat mulai aksi besar.”
Luvi, yang sejak tadi mendengarkan, menambahkan, “Konten gue mulai banyak dibicarain di media sosial. Gue bakal terus dorong orang buat mikir kritis. Kalau mereka udah mulai peduli, itu artinya kita udah di jalur yang benar.”
Mayuji mengakhiri diskusi dengan catatannya. “Kita punya dasar hukum yang bisa kita pakai buat menentang undang-undang ini. Tapi kita harus hati-hati. Pemerintah juga pasti udah mulai mencium gerakan ini.”
Mereka berlima saling bertukar pandang, menyadari betapa besar risiko yang mereka hadapi. Namun, ada rasa yakin bahwa langkah-langkah yang telah mereka ambil adalah langkah yang benar.
---
Seiring dengan makin kuatnya jaringan bawah tanah yang mereka bangun, Haki, Dito, Luvi, Yudi, dan Mayuji menyadari bahwa mereka hanya tinggal menunggu momen yang tepat untuk memulai aksi nyata. Mereka tahu bahwa setiap langkah yang mereka ambil harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Mereka juga sadar bahwa gerakan ini sudah tidak bisa lagi dianggap enteng—mereka kini bergerak di bawah bayang-bayang kekuasaan yang siap menghancurkan siapa saja yang berani menentang.
Malam itu, mereka berkumpul di apartemen Luvi, tempat yang mereka pilih karena lokasinya yang lebih aman dan tidak terlalu mencolok. Luvi duduk di depan laptopnya, menampilkan beberapa data tentang perkembangan konten viral yang sudah ia unggah beberapa minggu terakhir.
"Reaksi dari konten gue terus naik," kata Luvi sambil menunjukkan grafik di layar laptopnya. "Ini artinya orang-orang mulai lebih peduli. Kalau kita bisa pertahankan momentum ini, kita bisa punya basis dukungan yang solid."
Haki menatap layar itu dengan senyum puas. "Ini luar biasa. Gue nggak nyangka bisa secepat ini."
Dito, yang duduk di sudut ruangan dengan laptopnya sendiri, menambahkan, "Gue juga dapet lebih banyak data dari sistem kampus. Ada lebih banyak mahasiswa yang bisa kita percaya untuk gabung. Gue yakin kita udah punya cukup dukungan buat mulai."
Mayuji yang selalu tenang dan berpikir jauh ke depan, menghela napas. "Dukungan kita mungkin udah kuat, tapi jangan lupa, kita masih harus waspada. Pemerintah nggak akan tinggal diam kalau mereka tahu kita yang ada di balik semua ini. Kita harus punya rencana cadangan."
Yudi, yang dari tadi mendengarkan, akhirnya angkat bicara. "Jadi, kapan kita mulai? Gue udah siap kapanpun."
Suasana di dalam apartemen menjadi lebih serius. Mereka semua tahu, apa yang akan terjadi selanjutnya adalah sesuatu yang besar, dan tidak ada jalan untuk kembali. Namun, sebelum memutuskan langkah besar, mereka harus memastikan bahwa mereka benar-benar siap menghadapi apa pun yang terjadi.
“Gue rasa kita harus nunggu satu momen penting,” kata Haki sambil berpikir keras. “Sesuatu yang bisa bikin pemerintah lengah atau setidaknya bikin mereka bereaksi berlebihan. Saat itu terjadi, kita harus siap bergerak.”
Mayuji mengangguk setuju. “Gue setuju. Kalau kita bisa tunggu momen yang tepat, kita bakal bisa manfaatin kekacauan untuk gerakan kita.”
“Kita butuh satu pukulan besar yang bisa bikin mereka panik,” kata Dito. “Kalau kita bisa bikin gerakan ini besar dalam satu malam, mereka gak akan bisa kontrol semua media dan opini publik sekaligus.”
Luvi menutup laptopnya dan menatap teman-temannya satu per satu. "Gue bakal siapin konten berikutnya. Sesuatu yang lebih provokatif, tapi tetep hati-hati. Kita harus pastiin orang-orang makin peduli soal isu ini, dan itu bakal bikin kita siap buat ngelakuin aksi besar.”
Diskusi terus berlangsung hingga larut malam. Mereka merencanakan setiap detail dengan teliti, menyiapkan strategi untuk menghadapi segala kemungkinan. Mereka paham bahwa ketika momen itu tiba, mereka harus siap melawan dengan segenap kekuatan mereka. Tidak ada lagi ruang untuk kesalahan.
Akhirnya, setelah beberapa jam berdiskusi, mereka mencapai kesimpulan yang jelas: momen yang mereka tunggu akan datang. Dan ketika saat itu tiba, mereka akan siap memimpin ribuan mahasiswa di seluruh negeri untuk berdiri melawan kekuasaan yang sudah terlalu lama menindas rakyat.
_____
Beberapa minggu setelah pertemuan terakhir mereka, suasana di negara itu semakin tegang. Berita mengenai korupsi di kalangan pejabat tinggi pemerintah tersebar luas, namun, alih-alih mengambil tindakan yang benar, pemerintah malah semakin menekan kebebasan masyarakat. Pada malam hari, stasiun televisi yang dikendalikan oleh pemerintah menayangkan pidato dari seorang pejabat penting, mengumumkan kebijakan baru yang semakin membatasi kebebasan berekspresi di media sosial. Undang-undang baru ini akan memberi pemerintah kendali lebih besar atas konten online, termasuk hak untuk memblokir dan menindak akun yang dianggap menyebarkan “provokasi” atau “kritik yang tidak konstruktif.”
Di dalam kamar apartemennya, Luvi menonton pidato itu dengan mata lebar. “Ini dia,” bisiknya pada diri sendiri. Kebijakan baru ini adalah pukulan terakhir bagi kebebasan publik, dan Luvi tahu bahwa inilah momen yang selama ini mereka tunggu-tunggu. Ia segera mengambil ponselnya dan mengirim pesan cepat ke grup mereka: *”Mereka baru saja mengumumkan undang-undang baru. Ini waktunya.”*
Sementara itu, di toko roti, Haki sedang membersihkan meja ketika ia menerima pesan tersebut. Detak jantungnya meningkat seiring dengan rasa antisipasi yang telah ia rasakan selama berminggu-minggu. Tanpa ragu, ia menanggapi: *”Gue siap. Mulai kapan kita bergerak?”*
Di waktu yang hampir bersamaan, Dito, Yudi, dan Mayuji juga menerima pesan itu. Reaksi mereka serupa—mereka tahu bahwa ini adalah pemicu yang mereka tunggu-tunggu. Mereka telah menyiapkan segala hal: jaringan mahasiswa yang tersebar di seluruh kampus, konten viral yang siap dipublikasikan, serta strategi untuk memanfaatkan celah hukum yang ditemukan oleh Mayuji.
Tak lama setelah pidato itu selesai, mereka berlima berkumpul kembali di apartemen Luvi. Wajah mereka serius, namun ada semangat yang tak bisa disembunyikan. Masing-masing dari mereka tahu bahwa apa yang akan mereka lakukan malam ini akan menentukan masa depan gerakan mereka.
“Ini saatnya,” kata Haki dengan nada tegas. “Kalau kita nggak bergerak sekarang, kita nggak akan pernah punya kesempatan sebesar ini lagi.”
---