**Meskipun cerita ini beberapa diantaranya ada berlatar di kota dan daerah yang nyata, namun semua karakter, kejadian, dan cerita dalam buku ini adalah hasil imajinasi penulis. Nama-nama tempat yang digunakan adalah *fiksi* dan tidak berkaitan dengan kejadian nyata.**
Di tengah kepanikan akibat wabah penyakit yang menyerang Desa Batu, Larasati dan Harry, dua anak belia, harus menelan pil pahit kehilangan orang tua dan kampung halaman. Keduanya terpisah dari keluarga saat mengungsi dan terjebak dalam kesendirian di hutan lebat.
Takdir mempertemukan mereka dalam balutan rasa takut dan kehilangan. Saling menguatkan, Larasati dan Harry memutuskan untuk bersama-sama menghadapi masa depan yang tak pasti.
Namun, takdir memiliki rencana besar bagi mereka. Pertemuan mereka bukanlah kebetulan, karena keduanya ditakdirkan untuk memikul tanggung jawab yang jauh lebih besar. Menjadi Penjaga Gerbang Semesta. Dan pelindung dunia dari kehancuran!. Selamat menikmati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ansus tri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Keajaiban itu datang
Di pagi yang tenang. Mentari baru saja mengintip di balik rerimbunan daun, menyapa hutan dengan hangatnya cahaya. Larasati dan Harry, seperti biasa, bersiap untuk berburu. Senjata andalan mereka diperiksa dengan seksama, sebelum akhirnya mereka melangkah keluar dari gubuk, menyusuri jalan setapak yang telah begitu familiar.
Canda tawa mewarnai perjalanan mereka. Namun, ada yang berbeda hari itu. Seolah ada aura magis yang
menyelimuti hutan, membuat langkah mereka penuh penuh antisipasi.
Tiba di sebuah lembah tersembunyi, mata mereka tertuju pada sebuah objek yang tak biasa. Sebuah batu
besar, berkilauan tertimpa sinar matahari, tertanam kokoh di tanah.
“Kakak, lihat!” seru Harry,matanya berbinar-binar. “Batu apa itu?” Larasati mendekati batu itu dengan hati-hati. Permukaannya halus, memancarkan kehangatan yang aneh. “Akubelum pernah melihat batu seperti ini. Rasanya… istimewa.”
Sebuah energi tiba-tiba mengalir ke tubuh mereka saat menyentuh batu itu. Larasati merasakan kekuatan baru
mengalir di dalam dirinya, sementara Harry merasakan ketenangan yang luar biasa.
“Aneh…” gumam Larasati. “Akumerasa… kuat. Seolah energi ini mengalir ke dalam diriku.”
“Aku juga, Kak,” sahut Harry,matanya tak berkedip. “Apakah ini… keajaiban?”
Kebingungan dan kekaguman bercampur menjadi satu. Mereka sadar, ada sesuatu yang besar tengah terjadi,
sesuatu yang melampaui nalar dan logika.
“Harry,” Larasati berbicara dengan nada serius, “apa yang seharusnya kita lakukan dengan kekuatan ini?”
Harry terdiam sejenak, mencerna pertanyaan itu dalam-dalam. “Aku tidak yakin, Kak. Tapi… mungkin ini adalah
kesempatan untuk kita berbuat baik. Melindungi hutan ini, dan orang-orang di sekitar kita.”
Didorong oleh rasa ingin tahu yang besar, Harry dan Larasati memutuskan untuk menjelajahi lebih dalam ke
jantung hutan. Mereka percaya, batu ajaib itu bukanlah satu-satunya keajaibanyang tersembunyi.
Langkah kaki mereka membawa mereka menyusuri jalan setapakbaru, menembus rerimbunan pohon yang semakin lebat.
Di sebuah lahan terbuka, mereka menemukan sesuatu yang membuat mata mereka terbelalak. Berbagai macam tanaman obat tumbuh subur di sana, beberapa di antaranya bahkan belum pernah mereka lihat sebelumnya. Warna-warni bunga dan aroma harum menyebar di udara,menciptakan suasana magis yang kental.
“Di tengah-tengah taman obat itu, tergeletak sebuah buku kuno. Sampulnya yang terbuat dari kulit binatang memancarkan aura misterius, seakan menyimpan rahasia yang telah lama terpendam.
Aksara-aksara kuno yang samar dan asing bagi Larasati dan Harry terukir di sana, namun di beberapa halaman, terselip ilustrasi-ilustrasi detail tentang tanaman obat dan teknik pernapasan yang tampak familiar bagi mereka.
Gambar-gambar itu seperti membisikkan petunjuk, mengarahkan mereka untuk memahami isi buku. Dengan hati-hati, Larasati mengambil buku itu, meniup debu yang menempel, rasa penasaran menjalari hatinya.
“Buku apa ini, Kak?” tanya Harry, matanya terpaku pada sampul buku yang penuh teka-teki.
Larasati membuka buku itu perlahan. Lembar-lembarnya yang terbuat dari kulit kayu tipis, dipenuhi tulisan dan gambar-gambar tangan yang rumit. Meskipun aksara-aksara itu asing, ilustrasi-ilustrasi tanaman obat dan teknik pernapasan yang tersebar di beberapa halaman memberikan secercah harapan.
“Sepertinya… buku tentang ilmu pengobatan alami,” jawab Larasati, matanya menyisir setiap goresan tinta dan gambar. “Dan… cara menyerap energi dari alam.”
Tanpa dikomando, Larasati menepuk ruang kosong di sisinya, mengajak Harry untuk ikut menelusuri lembaran-lembaran kuno itu.
Harry menerima ajakan itu tanpa ragu, bahunya bersentuhan hangat dengan bahu Larasati. Bersama-sama, mereka tenggelam dalam misteri buku kuno itu, berharap bisa memecahkan kode dan mengungkap rahasia yang tersembunyi di dalamnya.”
Hari berganti hari, mereka tekun mempelajari ilmu yang terkandung di dalamnya. Tubuh mereka semakin kuat, panca indra mereka semakin tajam. Mereka bisa merasakan aliran energi di sekitar mereka, energi yang memberi mereka kekuatan yang luar biasa.
“Luar biasa…” bisik Larasati suatu hari. “Aku tidak percaya kita bisa sekuat ini.”
“Ini semua berkat batu ajaib itu, Kak,” sahut Harry, matanya berkilau. “Dan buku ini… buku ini membuka mata kita
akan kekuatan alam semesta.”
Namun, petualangan mereka belum berakhir. Suatu sore, saat sedang berlatih mengendalikan energi di dekat batu
ajaib, sebuah fenomena aneh terjadi. Sebuah portal berbentuk pintu muncul begitu saja di hadapan mereka, memancarkan cahaya keemasan yang menyilaukan.
“Pintu… ke mana itu?” tanya Harry, terperangah. Larasati menatap pintu itu dengan hati-hati. Rasa ingin tahu bercampur dengan sedikit kekhawatiran di dadanya. “Entahlah, Harry. Tapi… aku rasa kita harus masuk ke sana.”
Tanpa ragu, mereka bergandengan tangan, melangkah masuk ke dalam portal cahaya itu. Seketika, mereka terpental ke dimensi yang berbeda.
Setibanya di balik portal, mata Larasati dan Harry terbelalak kagum. Mereka berada di sebuah dunia yang sama
sekali berbeda! Langit biru membentang luas, dihiasi bintang-bintang yang berkilauan bak berlian bertaburan.
Pepohonan raksasa dengan daun emas berkilauan menjulang tinggi, menciptakan pemandangan yang sangat spektakuler. “Ini… ini luar biasa!” seru Larasati, suaranya penuh kekaguman.
Mereka melangkah masuk lebih dalam, menjelajahi dunia ajaib yang penuh dengan makhluk-makhluk aneh dan
tumbuhan-tumbuhan unik. Ada kelinci berbulu biru yang melompat-lompat riang, kupu-kupu sebesar layang-layang dengan sayap bercorak pelangi, dan bunga-bunga kristal yang memancarkan cahaya lembut. Semuanya terasa begitu nyata, meskipun seolah-olah diambil langsung dari mimpi.
Di tengah perjalanan, muncul sesosok makhluk raksasa dari balik pohon besar. Wujudnya seperti manusia, namun
bertubuh kekar dan berbulu emas lebat. Wajahnya bijaksana, dan matanya memancarkan kehangatan.
“Selamat datang di Dunia Ajaib,” sapanya dengan suara gemuruh yang menggelegar, namun terasa menenangkan.
“Tempat di mana hati adalah kunci untuk mengungkap keajaiban sejati.”
Larasati dan Harry terpaku, menatap makhluk raksasa itu dengan penuh rasa ingin tahu. “Apa maksudmu dengan
‘hati ’, Tuan?” tanya Larasati dengan sopan.
Orang Hutan Emas itu tersenyum. “Keajaiban sejati hanya akan terungkap bagi mereka yang memiliki hati yang
tulus dan pikiran yang terbuka,” jelasnya. “Kebaikan, keberanian, dan kasih sayang adalah kunci untuk membuka rahasia dunia ini.”
Dan benar saja, selama berpetualang di Dunia Ajaib, Larasati dan Harry mengalami berbagai macam keajaiban. Mereka bertemu dengan berbagai makhluk, baik yang baik hati maupun yang licik. Mereka belajar tentang kekuatan alam yang luar biasa, dan merasakan sendiri keajaiban persahabatan, keberanian, dan cinta.
Namun, seperti halnya semua petualangan, perjalanan mereka di Dunia Ajaib pun harus berakhir. Saat waktunya
tiba untuk kembali, Larasati dan Harry merasa sedih harus meninggalkan tempat yang penuh keajaiban itu.
“Aku tidak akan melupakan petualangan ini,” bisik Harry, matanya menerawang jauh.
“Aku juga,” sahut Larasati. “Sekarang aku mengerti, keajaiban ada di mana-mana, asal kita memiliki hati
yang tulus dan pikiran yang terbuka.”
Mereka kembali ke lembah tempat mereka menemukan batu ajaib. Batu itu masih berada di sana, berkilauan lembut tertimpa sinar matahari. Namun, ada yang berbeda. Saat Larasati dan Harry menatapnya, batu itu perlahan-lahan menghilang, seolah menyatu kembali dengan tanah.
Sebelum benar-benar lenyap, seberkas cahaya terang memancar dari batu itu, memasuki tubuh Larasati dan Harry tanpa mereka sadari.
Saat cahaya dari batu ajaib menyatu dengan diri mereka, Larasati dan Harry merasakan kehangatan yang menyebar ke seluruh tubuh. Seperti aliran energi yang menenangkan, mengisi setiap serat tubuh mereka dengan kekuatan baru. Mereka saling berpandangan, mata mereka berkilau penuh harapan dan kebahagiaan.
Dunia Ajaib memang telah mereka tinggalkan, namun kenangan dan pelajaran berharga yang mereka dapatkan akan terpatri selamanya di hati. Mereka kembali ke gubuk kecil mereka dengan semangat baru, siap menjalani kehidupan yang lebih bermakna.
Hari-hari berlalu dengan dipenuhi canda tawa dan kehangatan cinta di antara Larasati dan Harry. Namun, takdir rupanya telah menyiapkan rencana lain untuk mereka.
Suatu sore, saat matahari mulai terbenam, Harry bertemu dengan dua orang pemburu yang kelihatan kebingungan. Salah satu dari mereka mengalami cedera kaki yang cukup parah. Tulang kakinya patah, dan mereka tampak kehilangan harapan.
Tanpa ragu, Harry menawarkan bantuan. Ia ingat dengan ilmu pengobatan yang ia dapatkan dari buku kuno di Dunia Ajaib. Dengan perlahan dan hati-hati, Harry menyentuh kaki pemburu yang cedera itu, menyalurkan energi yang ia miliki.
Ajaib! Tulang yang patah itu bergeser kembali ke tempatnya, dan rasa sakit yang menyiksa berangsur-angsur hilang.
Berita tentang kemampuan Harry menyembuhkan dengan cepat menyebar di kalangan pemburu dan penduduk desa sekitarnya. Harry dan Larasati pun dikenal sebagai “Tabib Ajaib” dari hutan.
Sejak saat itu, hidup mereka berubah. Gubuk kecil mereka tak pernah sepi dari kunjungan orang-orang yang membutuhkan pertolongan.
Harry, dengan keterampilan menyembuhkannya yang luar biasa, dan Larasati, dengan pengetahuan tentang tanaman obat warisan leluhur, menjadi penolong bagi siapa saja yang datang dengan penuh harapan.
Mereka menjalani hari-hari dengan penuh syukur, menggunakan “keajaiban” yang mereka miliki untuk membantu sesama. Kebahagiaan yang mereka rasakan tak ternilai harganya, jauh lebih berharga dari emas permata. Karena sesungguhnya, kebahagiaan terbesar adalah ketika kita bisa berbagi dan menebarkan kebaikan kepada sesama.
Senja itu, semburat jingga keemasan menyelimuti langit di atas hutan lebat. Harry dan Larasati sedang beristirahat di gubuk mereka setelah seharian yang panjang, aroma teh herbal mengepul lembut di antara mereka. Tiba-tiba, suara langkah tergesa-gesa memecah keheningan.
Dua orang pemburu, wajah mereka dipenuhi kekhawatiran, muncul dari balik pepohonan. Mereka membawa serta seorang lelaki yang terbaring lemah, kakinya tertekuk dengan sudut yang tidak wajar.
“Tabib Ajaib,” ucap salah seorang pemburu dengan nada memohon. “Kami mohon pertolonganmu. Teman kami mengalami kecelakaan saat berburu. Kami sudah mencoba segala cara, tapi lukanya tak kunjung membaik.”
Harry, dengan ketenangan yang menenangkan, mengangguk. “Biarkan aku melihatnya.” Dengan gerakan hati-hati, mereka membantu lelaki yang terluka itu berbaring. Harry mendekat, matanya mengamati dengan seksama. Luka itu tampak parah, tulang keringnya patah. Larasati, dengan sigap, menyiapkan air hangat dan kain bersih.
Harry menarik napas panjang, memusatkan energinya. Cahaya keemasan samar terpancar dari tangannya saat ia menyentuh kaki yang terluka. Suasana hening mencekam, hanya terdengar desisan napas mereka yang menyaksikan.
Perlahan, luka itu mulai menutup, tulang yang patah menyatu kembali dengan ajaib. Wajah lelaki yang terluka itu, yang semula mengerut kesakitan, kini melunak.
“Aku…aku bisa merasakan kakiku lagi,” bisiknya tak percaya. “Terima kasih, Tabib Ajaib!”
“Kalian sungguh luar biasa,” tambah salah seorang pemburu, matanya berkaca-kaca. “Bagaimana kami bisa membalas budi?” Larasati tersenyum lembut. “Menolong sesama adalah kebahagiaan bagi kami.”
Kabar tentang kesembuhan ajaib itu menyebar dengan cepat bagai api yang melahap hutan kering. Reputasi Harry dan Larasati sebagai Tabib Ajaib semakin termasyhur. Orang-orang dari berbagai penjuru desa, bahkan dari desa-desa yang jauh, berbondong-bondong datang mencari pertolongan.
Setiap hari, gubuk kecil mereka dipenuhi dengan kisah pilu, harapan, dan rasa syukur yang tak terucapkan.
Di tengah hiruk pikuk itu, cinta Harry dan Larasati semakin kuat, terjalin erat oleh setiap kehidupan yang mereka sentuh, setiap senyuman yang mereka ciptakan.
Mereka adalah suar harapan, pancaran keajaiban di tengah hutan belantara. Dan kisah mereka, kisah Tabib Ajaib, terus bergema, abadi dalam bisikan angin dan gemericik air sungai.
Ketenaran Harry dan Larasati sebagai Tabib Ajaib telah merambah jauh melampaui batas hutan. Suatu hari,
seorang petani dengan wajah meringis kesakitan tertatih-tatih menuju gubuk mereka.
“Tabib Ajaib,” rintihnya, “aku mohon bantuanmu. Aku terjatuh dari pohon dan kakiku terkilir.”