Ello, seorang dokter pediatri yang masih berduka atas kehilangan kekasihnya yang hilang dalam sebuah kecelakaan, berusaha keras untuk move on. Namun, setiap kali ia mencoba membuka hati untuk wanita lain, keponakannya yang usil, Ziel, selalu berhasil menggagalkan rencananya karena masih percaya, Diana kekasih Ello masih hidup.
Namun, semua berubah ketika Ello menemukan Diandra, seorang gadis misterius mirip kekasihnya yang terluka di tepi pantai. Ziel memaksa Ello menikahinya. Saat Ello mulai jatuh cinta, kekasih Diandra dan ancaman dari masa lalu muncul.
Siapa Diandra? Apakah ia memiliki hubungan dengan mendiang kekasih Ello? Bagaimana akhir rumah tangga mereka?
Yuk, ikuti ceritanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Usilnya Ziel
Ello duduk di sebuah kafe dengan wajah lesu, menyeruput kopinya tanpa semangat. Angga, yang duduk di depannya, mengernyit melihat ekspresi sahabatnya itu.
"Kenapa mukamu kusut gitu? Kencanmu gagal lagi?" tanya Angga dengan nada setengah bercanda.
Ello menghela napas kasar, menaruh cangkirnya. "Apalagi kalau bukan masalah itu?" jawabnya lemas.
Angga tergelak. "Keponakan kecilmu yang usil itu lagi, ya? Keponakanmu itu terlalu cerdas."
Ello mengusap wajahnya kasar, tampak benar-benar frustrasi. "Bocah itu memang kelewat cerdas. Kamu tahu nggak, gimana dia kabur?"
Angga menyeringai, menunggu penjelasan. "Gimana? Ceritain!"
Ello mendesah dan mulai bercerita. "Jadi, waktu itu aku udah memastikan dia sibuk sama guru privatnya, 'kan. Aku bahkan ngunci pintu kamarnya dari luar biar nggak kabur. Tapi entah gimana, dia berhasil kabur dari guru privatnya, ngebuka kunci pintu. Nggak cuma itu, dia pesen taksi online buat dirinya sendiri!"
Angga terbahak. "Hah? Bocah umur tujuh tahun? Kok bisa, supir taksinya nggak curiga?"
Ello memijat pelipisnya, masih tidak percaya dengan yang terjadi. "Ya, jadi gini. Ziel pakai akun taksi online-nya Pak Juli, asisten di rumah. Nggak tau gimana caranya dia nemuin ponsel Pak Juli dan ngeakses aplikasinya. Dia nyamar pakai topi, trus bilang ke supir kalau dia disuruh Pak Juli buat jemput saudara yang lagi nunggu di restoran. Supirnya nggak curiga, karena 'kan bocah itu ngomong lancar banget kayak orang dewasa."
Angga ternganga, nyaris nggak percaya. "Dia bener-bener jenius!"
Ello mengangguk lesu. "Iya, jenius dalam bikin hidupku jadi susah. Semalam juga gitu," keluh Ello, sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. "Aku udah keluar rumah kayak maling, ngendap-endap, tapi tetap saja ketahuan sama dia. Dan ujung-ujungnya, dia muncul di restoran waktu aku lagi makan malam sama Dira, teriak-teriak manggil aku 'Papa!' Lagi-lagi kencanku gagal total!"
Angga tertawa lebih keras kali ini, sambil menepuk bahu Ello. "Ziel memang pintar banget, sih. Dia bisa tahu kamu kabur gimana pun caranya."
Ello mengangguk lesu. "Iya, bocah itu terlalu cerdas buat umur tujuh tahun. Aku sampai nggak ngerti gimana dia bisa lolos dari guru privatnya, mencari keberadaanku, dan nyusul aku tanpa dicurigai. Dia selalu berhasil menggagalkan kencanku."
Angga menghela napas panjang, kali ini tatapannya lebih serius. "Kamu masih belum bisa move on dari Diana, ya?" tanyanya hati-hati.
Ello mendesah lelah, menunduk sambil memain-mainkan cangkir kopinya. "Ziel yang kenal Diana cuma dua tahun aja nggak bisa move on, apa kabar aku yang sudah pacaran sama dia tujuh tahun?" suaranya terdengar getir.
Angga mengangguk pelan, memahami betapa dalamnya hubungan mereka. "Diana itu orangnya memang istimewa. Mungkin itu juga yang bikin Ziel nggak bisa lupa sama dia. Dia 'kan masih kecil, tapi dia bisa merasakan kebaikan seseorang."
Ello hanya terdiam. Kenangan tentang Diana perlahan kembali membanjiri pikirannya. Bagaimana Diana selalu sabar menghadapi tingkah Ziel, senyumnya yang menenangkan, dan caranya berbicara yang selalu membuat hati terasa hangat. Tidak heran kalau Ziel, bocah cerdas tapi nakal itu, begitu terikat dengan Diana.
Angga melanjutkan dengan pelan, seolah tidak ingin menambah beban pikiran Ello, "Kamu sadar nggak sih, sifat Diana itu mirip banget sama Elin? Mungkin itu sebabnya Ziel suka sama Diana. Karena dia ngelihat sosok Elin dalam diri Diana."
Ello terdiam sejenak, merenungkan ucapan Angga. "Iya, mungkin kamu benar," gumamnya akhirnya, senyum masam tersungging di bibirnya.
Angga berkata dengan hati-hati. “Mungkin kamu juga tertarik sama Diana karena itu, 'kan? Kamu terlalu mengagumi kakakmu.”
Ello hanya tersenyum masam, merasa tersindir tetapi tidak bisa membantah. “Mungkin. Sejak orang tua kami tiada, Kak Elin yang jadi segalanya buat aku. Dia yang bangun keluarga ini dari nol, jadi aku nggak heran kalau aku nyari seseorang yang mirip dia.”
Angga menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Yah, itulah masalahnya. Kamu punya standar setinggi langit gara-gara sister complex-mu itu. Jadi jangan heran kalau Ziel pun akhirnya nggak pernah puas sama siapa pun.”
Ello hanya bisa tertawa pelan, tapi jauh di dalam hatinya, dia tahu ada kebenaran dalam kata-kata Angga.
Angga menghela napas pelan. "Kamu benar-benar akan jadi perjaka tua kalau standarmu seperti itu."
Ello tertawa kecil, tapi tawanya terdengar getir. "Entahlah, Ngga. Mungkin kau benar, mungkin salah. Yang jelas, sampai sekarang aku masih terjebak di masa lalu. Baik sama Diana, maupun sama semua yang ada di sekitarnya."
Suasana di antara mereka menjadi hening sejenak. Angga tahu, ini bukan hal mudah untuk Ello. Menyembuhkan luka kehilangan memang tidak pernah sederhana, apalagi ketika banyak kenangan yang terus menempel, sulit dilepaskan.
"Dan bocah itu," Ello menggelengkan kepala, tersenyum samar. "Ziel selalu berhasil mengingatkan aku tentang Diana, dengan caranya yang ... unik."
"Dia memang jago bikin masalah, sih," Angga menyahut dengan tawa kecil, berusaha mencairkan suasana. "Tapi aku rasa, Ziel juga nggak mau lihat kamu terluka lagi."
Ello memandangi Angga, lalu tersenyum tipis. "Mungkin kamu benar. Tapi tetap aja, kalau terus-terusan kayak gini, aku nggak bakal bisa pacaran lagi. Alamat jadi perjaka tua."
"Siapa tahu Ziel juga bakal merestui di akhirnya," canda Angga, mencoba mengangkat semangat temannya itu.
"Entahlah." Ello menghela napas panjang sebelum menceritakan lebih jauh pada Angga. “Kamu nggak akan percaya gimana Ziel selalu berhasil menggagalkan kencanku. Waktu itu di taman kota, aku lagi duduk-duduk romantis sama cewek, tiba-tiba bocah tengil itu bikin heboh dengan meledakkan petasan di dekat kita. Aku cuma bisa geleng-geleng kepala ngeliat cewek itu kabur ketakutan.”
Angga tergelak, tapi mencoba menahan tawanya. "Petasan? Serius?"
Ello mengangguk lelah. "Itu belum apa-apa. Waktu aku kencan di tepi danau, tiba-tiba cewekku ngerasa ada sesuatu yang merayap di baju dia. Dan ternyata, ada beberapa ekor ulat bulu di sana. Siapa lagi kalau bukan Ziel yang nyelipin itu di bajunya! Habis itu, ya jelas cewekku langsung kabur, teriak-teriak."
Angga nyaris tersedak kopi. "Ulat bulu?! Itu gila, sih."
Ello melanjutkan dengan wajah semakin lesu. “Kencan di kafe juga nggak kalah parah. Tiba-tiba aja Ziel muncul entah dari mana, nimbrung di meja kami. Dan, kamu tahu gimana Ziel, 'kan? Bocah itu nggak berhenti ngoceh sampai kita nggak bisa ngobrol leluasa sama sekali. Cewekku kelihatan jengah, akhirnya ya, bubar begitu aja.”
Angga tertawa terbahak-bahak, menepuk bahu Ello. "Nggak nyangka bocah segitu kecilnya bisa segitu liciknya!"
Ello tersenyum masam. “Dan semalam ... yang paling parah, dia ngaku sebagai anakku di restoran. Bisa bayangin nggak betapa malunya aku di depan cewekku? Semua orang ngeliatin kita kayak aku ini bapak nggak bertanggung jawab.”
Angga hanya bisa menggelengkan kepala, tak bisa menahan tawa di wajahnya. "Ziel itu benar-benar di luar nalar, Ell. Kalau dia terus begitu, kamu beneran bisa jadi perjaka tua!"
Angga tiba-tiba mengubah ekspresi wajahnya menjadi serius, membuat Ello sedikit bingung. "Eh, kenapa kamu nggak pacaran aja sama sesama dokter?" tanya Angga sambil menyandarkan punggungnya ke kursi, seolah itu adalah solusi paling logis. "Dijamin aman dari Ziel, deh!" lanjutnya penuh keyakinan.
Ello mengernyitkan kening, menatap temannya dengan tatapan bingung. "Kenapa sepertinya kamu yakin banget kalau pacaran sama sesama dokter bakal aman? Ziel nggak bakal ganggu?"
Angga tersenyum penuh arti, lalu menjawab dengan santai, "Karena kalau pacaran sama dokter, kencannya bisa di kamar mayat. Ziel mana mungkin berani ngeganggu di sana."
Ello yang awalnya mengernyit bingung, langsung memutar bola matanya kesal. “Sialan kamu, Angga!” serunya sambil mengumpat, tapi tak bisa menahan tawa. Pada akhirnya, mereka berdua tertawa lepas, membuat suasana yang semula lesu menjadi lebih ringan.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued