Satu persatu teror datang mengancam keselamatan Gio dan istri keduanya, Mona. Teror itu juga menyasar Alita, seorang anak yang tidak tahu apa-apa. Konon, pernikahan kedua Gio menjadi puncak kengerian yang terjadi di rumah mewah milik Miranda, istri pertama Gio.
“Apakah pernikahan kedua identik dengan keresahan?”
Ada keresahan yang tidak bisa disembuhkan lagi, terus membaji dalam jiwa Miranda dan menjadi dendam kesumat.
Mati kah mereka sebagai tumbal kemewahan keluarga Condro Wongso yang terus menerus merenggut bahagia? Miranda dan Arik kuncinya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon skavivi selfish, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Kutukan Istri Pertama ³
Gio keluar dari kamarnya setelah semua teror yang merayapi tubuhnya hilang. Darah segar keluar dari cakaran kukunya sendiri saat terjadi sebuah kesengsaraan yang membunuh kesadaran dan kesabarannya. Luka-luka di tubuhnya seolah-olah ingin menyaingi romantisme bulan madunya yang penting hingga meremehkan teror itu sulit dicapai nalarnya.
Gio terlihat sulit mengenyahkan perasaan bahwa semua masalahnya takkan terjadi jika bukan karena kelalaiannya. Semua kesengsaraan itu menggugah sifat alaminya yang memang kejam dan pemarah.
“Mona... Mona...” teriak Gio sambil menuruni anak tangga. Lampu kristal telah menyala, pun tangis Alita kembali terdengar.
“Ada apa ini?” tanya Gio dari ambang pintu.
Alita melepaskan diri dari pelukan Bibi Darmi seraya menuding Mona. Wanita muda yang memakai gaun bunga-bunga itu sontak heran sendiri mengapa Alita begitu.
“Aku cuma mandiin dia, Mas.” ucap Mona.
Alita menggeleng, alih-alih berkata bahwa Mona memelototinya dengan ganas dia terkejut dengan tubuh ayahnya.
“Papa kenapa? Kenapa badan Papa begitu?”
Gio menepis tangan Alita yang berusaha menyentuhnya. “Jangan sentuh-sentuh Papa, Lita. Ini masih sakit semua!” bentaknya sambil menjauh.
Alita menggabungkan diri ke pelukan Bibi Darmi. Takut sekali dengan ayahnya yang baru pertama kali membentaknya.
Bibi Darmi mengelus rambut Alita, berusaha menenangkannya. “Istighfar, Pak! Anak ini tidak salah apa-apa.”
Gio mendesis sewaktu mimik wajah Alita mengintipnya takut-takut. “Tante Mona ikut Papa sebentar, kamu sama Bibi. Tidur!”
“Tadi Papa janji mau bikin susu hangat dan pancake.” gumamnya sambil memandangi Bibi Darmi.
Sepotong senyum pada yang sedih Bibi Darmi berikan sementara Gio dan Mona sudah keluar kamar.
“Bibi nanti yang bikin, kamu keringkan rambut dulu biar Bibi ke dapur.” Gegas Alita meraih tangan Bibi Darmi sebelum betul-betul pergi ke dapur, “Lita ikut. Lita takut sendirian.”
Bibi Darmi mengangguk agar semua jauh lebih baik. Setidaknya, mereka bersama di malam yang tidak henti-hentinya memberi kejutan.
“Habis ini kita tidur, Non. Bibi capek.” ucap Bibi Darmi sambil menaruh sepiring pancake hangat di meja. Aromanya luar biasa menjadi pelipur rumah megah Miranda yang dibangun atas usaha dan kegigihannya.
“Ini susunya masih lumayan panas, minumnya pelan-pelan!”
Alita menggosok-gosok matanya yang lelah.
“Kalo Mama pulang kerja, Papa pasti nggak akan marah-marah sama Lita. Iya kan, Bi?”
Bibi Darmi membiarkan jawaban jujur menerjangnya dengan singkat, cukup lecutan tajam akan kenangan pahit itu menggenangi kepala. Lebih baik berbohong pada si kecil yang gamang akan keberadaan Ibunya. Kasian dia.
“Doakan saja Mama tenang, Mama baik-baik saja. Tapi ini pancake cepat di makan.” Bibi Darmi menguap, tidak mau sembrono dalam berkata-kata. “Bibi sudah ngantuk, Non. Bajunya Bibi juga masih basah ini, bisa masuk angin!”
Alita menyeringai sewaktu Bibi Darmi pura-pura menggigil kedinginan. “Papa tadi juga janji mau nemenin aku tidur. Papa nyebelin, Papa...”
Bibi Darmi menaruh jari telunjuknya di depan mulut sambil menggelengkan kepala. “Papa baru capek, Non. Capek. Alerginya mungkin kumat, jadi gatal, jadi galak. Jadi Nona tidur sama Bibi saja sampai Papa sembuh, kasian.”
Alita meraih sendok dan garpu, bersiap menyantap pancake-nya yang berlimpah susu kental manis coklat dan potongan stroberi.
“Lita lebih suka bobo sama Bibi Darmi, Bibi Darmi empuk mirip roti sobek.” Senyum Alita yang terlihat tulus di mata Bibi Darmi itu ayal membuat seorang wanita yang telah melihat asam garam kehidupan di rumah itu trenyuh.
“Bibi tunggu Non sampai selesai makan.”
“Asik...” Dengan lahap gadis kecil itu menyantap pancake-nya seakan kejadian yang menimpanya tak terlalu membebani pikiran.
-
“Mas... badanmu kenapa? Kok tiba-tiba begini, tadi belum ya... Kena ulat bulu ini?” keluh Mona dengan heran sekaligus jijik. Darah-darah itu mengotori ketampanan dan kegagahan suaminya.
Sementara Gio menaiki anak tangga, bayang-bayang yang lumayan menakutkan terpikirkan olehnya, menjadi gelisah seperti putus asa.
“Kamu pikir habis dari mana aku sampai kena ulat bulu?” ucap Gio keras.
Mona mendengar tapi tidak menyahut, dia justru sibuk menolehkan kepalanya ke kiri. Ke jendela kaca tanpa gorden yang berbatasan dengan taman samping rumah sambil mengernyit. Dan secara tiba-tiba dia meraih lengan Gio, membuat pria itu menggertaknya.
Alih-alih marah, sikap manja Mona tetap luruh pada Gio. Dia memindahkan sebagian bobot tubuhnya ke pelukan Gio. Pria itu terheran tapi mendapati tubuh Mona gemetar dan begitu rapuh, dia melupakan ketidakseimbangan permasalahannya.
“Kamu kenapa?”
“Apa ada orang lain di sini?”
Gio menggiring Mona menuju kamarnya. Di kamar yang masih terpajang rapi foto pernikahannya dengan Miranda, Gio mengigit bibirnya kuat-kuat. Menahan perih yang timbul karena pelukan yang Mona lakukan meskipun keduanya telah duduk di tepi ranjang.
“Tidak ada siapa pun di rumah ini, Mon.”
“Mon?” Mona membeo sambil memandangi Gio tidak senang. Dan sesuatu yang dia tahan-tahan sejak memandikan Alita segera tercurahkan. “Kenapa sih pernikahan kita harus disembunyikan dari Alita? Kenapa juga aku harus jadi pengasuh? Nggak banget tau, Mas.”
Mona terlihat bermuram durja. “Kamu gak siap sama risikonya, Mas? Nggak siap kamu?”
Gio merasa Mona bergerak-gerak gelisah di sebelahnya. Sekarang jelas dia hanya bersandiwara dengan menyebut ada orang lain di rumah itu.
“Kamu mau apa sekarang? Mau bilang ke Lita kalo kamu pengganti Mamanya? Kamu pikir semudah itu Alita dan Darmi tidak ngomong ke siapa-siapa?” Gio menunjuk kepala Mona. “Mikir, jangan cuma pakai perasaanmu yang baru senang sampai lupa posisimu gimana!”
Mona beranjak. Tatapannya mengarah ke foto Gio dan Miranda. “Takdir sudah memutuskan hubungan kita dengan nggak adil, Mas. Iya, aku ngerti, jadi yang kedua emang gak bebas. Tapi jadi pengasuh? Kamu ngerendahin aku!”
Gio mengeram, tercekik pelbagai jenis perasaan rumit dan ganjil. “Kalo gitu kamu keluar sekarang, aku males ribut! Aku capek.”
“Tapi aku tadi lihat orang ngintip kita, Mas! Di jendela!” sembur Mona sambil menoleh. Jantungnya berdebar-debar tak karuan. “Dia senyum-senyum, apa dia tukang kebun kurang ajar?”
“Mana ada tukang kebun bisa panjat dinding?” bentak Gio. “Kamu paling salah lihat!”
Terus terang Mona tersinggung dengan ucapan Gio. Terlebih-lebih matanya masih sehat tak berkacamata. “Orang itu kelihatan jelas banget. Apa jangan-jangan maling? Ada maling di rumah ini?” tukasnya dengan tidak tenang.
Gio berdecak. Tidak mungkin ada maling di rumahnya. Siapa yang berani menyusup ke rumah keluarga Miranda, orang yang disegani dan tidak bisa di pandang sebelah mata di kampung itu?
Mona berhasil mengunci pintu kamar, dia pun pergi ke arah jendela seraya menyibak tirai untuk memastikannya sudah terkunci. Disaat itu pula, cengiran bodoh dari wajah pucat dan bermata sinis yang sempat ia lihat tadi muncul, menempel pada kaca. Matanya bergerak-gerak tidak pasti, berdarah-darah. Mereka berpandangan selama beberapa saat sebelum Mona menjerit histeris. Sadar akan hal sinting yang dilihatnya.
-
👍 great...
menegangkan, seru
say Miranda
duh punya berondong manise disanding terus, alibi jadi sekretaris pribadi nih...
next
jgn2 miranda jd tumbl bpknya sndri. krn thu miranda sdg skit hati.