Nana, gadis pemberani yang tengah berperang melawan penyakit kanker, tak disangka menemukan secercah keajaiban. Divonis dengan waktu terbatas, ia justru menemukan cinta yang membuat hidupnya kembali berwarna.
Seorang pria misterius hadir bagai oase di padang gurun. Sentuhan lembutnya menghangatkan hati Nana yang membeku oleh ketakutan. Tawa riang kembali menghiasi wajahnya yang pucat.
Namun, akankah cinta ini mampu mengalahkan takdir? Bisakah kebahagiaan mereka bertahan di tengah bayang-bayang kematian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putu Diah Anggreni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 2: Secangkir Kopi dan Sebuah Janji
...Hidup itu kayak secangkir kopi. Kadang pahit, kadang manis, tapi selalu bikin kita bangun....
...Ada saat-saat di mana rasanya terlalu pekat, bikin kita mau muntah....
...Tapi ada juga momen-momen di mana aromanya aja udah bikin kita semangat....
...Yang penting, jangan lupa buat nikmatin tiap seruputannya....
...Karena sama kayak kopi, hidup ini punya cita rasa uniknya sendiri....
...Dan kalo udah abis?...
...Yah, bikin lagi aja cangkir baru....
...Inget, selama masih ada biji kopi, masih ada harapan buat bikin secangkir keajaiban baru....
...****************...
Udah seminggu sejak gue ketemu Arga di taman. Tiap hari, gue balik ke sana. Berharap ngeliat cowok aneh dengan payung birunya. Tapi dia nggak pernah muncul lagi. Gue mulai mikir, jangan-jangan dia cuma halusinasi gue aja. Efek samping obat kemo, mungkin?
Hari ini, gue mutusin buat mampir ke kafe deket rumah sakit. Abis check-up rutin, rasanya butuh sesuatu yang bikin mood naik. Dan buat gue, itu artinya secangkir cappuccino. Plus croissant cokelat kalo lagi pengen ngehibur diri.
"Satu cappuccino, tanpa gula ya. Oh, sama croissant cokelatnya satu," gue pesen ke barista yang rambutnya dicat warna-warni. Gue sempet mikir, apa nggak capek ya tiap hari mewarnai rambut kayak gitu? Tapi yah, at least dia masih punya rambut.
Sambil nunggu pesanan, gue duduk di pojok kafe. Dari sini, gue bisa ngeliat jalanan Jakarta yang rame. Orang-orang pada sibuk, lari ke sana-sini. Kayaknya mereka nggak sadar betapa berharganya waktu yang mereka punya. Gue jadi inget quotes yang pernah gue baca:
"We only realize how precious time is when we don't have much left."
Ironis banget ya, harus kena kanker dulu baru ngerti arti waktu.
"Ini pesanannya, Mbak," si barista nyamperin gue, naruh cangkir sama piring kecil isi croissant di meja.
"Makasih," gue senyum tipis. Dia bales senyum, terus balik ke counter.
Baru aja gue mau nyeruput kopi, tiba-tiba...
"Wah, kebetulan banget. Nana kan?"
Gue dongak. Dan di situ, berdiri cowok yang seminggu ini gue cari-cari. Rambut berantakan, kemeja yang nggak disetrika, dan senyum yang bikin jantung gue berdetak lebih kenceng.
"Arga?" gue nggak bisa nyembunyiin kaget gue. "Lo... lo beneran ada?"
Dia ketawa. "Ya iyalah. Emang gue hantu?"
Gue masih melongo. Arga nyengir. "Boleh duduk di sini?"
Gue ngangguk. Arga langsung duduk di depan gue.
"Lo ngapain di sini?" gue nanya, masih nggak percaya.
"Minum kopi lah. Masa mandi," dia ketawa. "Lo sendiri? Abis dari rumah sakit ya?"
Gue mengerutkan dahi sejenak. "Kok tau?"
"Tebakan beruntung," dia angkat bahu. "Jadi, gimana kabar lo?"
Gue diem sebentar. Bingung mau jawab apa. "Baik... mungkin?"
Arga manggut-manggut. "That's good. At least not worse, right?"
Gue tersenyum tipis. "Yeah, I guess."
Hening sejenak. Gue nyeruput kopi gue, dia juga. Gue ngerasa aneh. Seminggu nyariin ini orang, dan sekarang dia ada di depan gue, gue malah nggak tau mau ngomong apa.
"Nana," dia tiba-tiba manggil. "Lo percaya sama keajaiban nggak?"
Gue ngeliatin dia. "Maksud lo?"
"Ya keajaiban. Miracle. Sesuatu yang nggak bisa dijelasin sama logika," kata Arga menjelaskan.
"Lo percaya nggak?"
Gue mikir sebentar. "Honestly? Gue nggak tau. Mungkin dulu gue percaya. Tapi sekarang..."
"Sekarang lo ngerasa Tuhan nggak adil sama lo?" Ucap Arga yang berusaha menebak.
Gue kaget. Kok dia bisa tau? Apa segitu keliatan ya di muka gue?
"Gue ngerti kok," kata Arga sambil tersenyum. Bukan senyum kasihan, tapi senyum yang... pengertian?
"Tapi Na, lo tau nggak? Keajaiban itu bukan cuma tentang kesembuhan. Kadang, keajaiban itu ada di hal-hal kecil."
"Contohnya?" tanya gue, penasaran.
"Ya kayak kita ketemu lagi hari ini. Itu keajaiban kan?" dia nyengir. "Atau lo yang masih bisa nikmatin secangkir kopi. Itu juga keajaiban."
Gue diem. Kata-katanya bikin gue mikir. Bener juga sih. Dulu, gue nggak pernah mikir kalo bisa minum kopi aja udah termasuk keajaiban.
"Jadi," lanjutnya.
"Mungkin besok, atau lusa, atau kapanpun itu, lo bakal nemu keajaiban lo sendiri. Yang penting, lo jangan berhenti percaya."
Entah kenapa, kata-kata dia bikin mata gue panas. Gue nunduk, nyembunyiin air mata yang mulai numpuk. Gue nggak mau nangis di depan dia. Nggak lagi.
"Hey," dia manggil pelan. Gue bisa ngerasa dia nyodorin tisu ke gue.
"Gue punya ide. Gimana kalo kita bikin bucket list?"
Gue ngangkat muka. "Bucket list?"
"Iya. Daftar hal-hal yang pengen lo lakuin. Kita bisa mulai dari yang gampang-gampang dulu," ucap Arga sambil menjelaskan.
"Lo mau?"
Gue mikir sebentar. Sebenernya, ide ini agak... menyedihkan. Kayak pengingat kalo waktu gue tinggal dikit. Tapi di sisi lain, mungkin ini bisa jadi motivasi buat gue.
"Oke," kata gue yang akhirnya setuju.
Arga langsung nyengir lebar. Dia ngeluarin notes kecil dari tasnya. "Jadi, apa yang pengen lo lakuin?"
Gue mikir keras. Selama ini, gue nggak pernah kepikiran buat bikin bucket list. Hidup gue cuma berputar di rumah sakit-rumah-rumah sakit. "Umm... gue pengen... liat sunrise di Borobudur."
Arga mulai menulis. "Oke, terus?"
"Terus... gue pengen belajar main gitar."
Dia ngangguk-ngangguk. "Bagus tuh. Apalagi?"
Gue mulai semangat. "Gue pengen... bikin video diary. Buat di-upload di YouTube kalo gue udah... you know."
Arga berhenti nulis. Dia natap gue.
"Lo yakin?"
Gue ngangguk mantep. "Iya. Gue pengen ninggalin sesuatu. Buat ingetin orang-orang kalo hidup itu berharga."
Dia senyum. Bukan cengiran kayak biasanya, tapi senyum yang... tulus?
"Oke," dia lanjut nulis.
"Ada lagi?"
Gue berpikir sejenak.
"Umm... kayaknya udah dulu deh. Nanti kalo ada tambahan, gue kasih tau."
"Sip," dia nutup notesnya.
"Jadi, kapan kita mulai?" tanyanya.
Gue kaget. "Kita?"
"Iya, kita. Masa lo mau ngerjain ini semua sendirian?" Tanya cowok berbadan jangkung itu sambil ketawa.
"Gue bakal bantuin lo, Na. That's a promise."
Gue nggak tau harus ngomong apa. Orang yang baru gue temui dua kali ini, tiba-tiba aja nawarin buat nemenin gue ngelakuin bucket list?
"Kenapa?" tanya gue.
"Kenapa lo mau bantuin gue?"
Arga diem sebentar. Terus, dia senyum. Senyum yang bikin jantung gue berdetak lebih kenceng.
"Karena gue percaya sama lo," jawabnya sambil nyengir.
"Gue percaya lo bisa ngalahin ini semua. Dan gue pengen ada di sana pas lo berhasil."
Gue nggak bisa nahan air mata gue lagi. Gue nangis. Bukan nangis sedih, tapi nangis... lega? Bahagia?
Arga ngasih gue tisu lagi. "Jadi, deal?"
Gue ngangguk, sambil lap air mata. "Deal."
Dan di saat itu, di kafe kecil ini, dengan secangkir kopi di antara kita, gue ngerasa... hidup lagi. Untuk pertama kalinya sejak diagnosis itu, gue punya sesuatu untuk dinantikan.
"Jadi," Arga nyengir.
"Kapan kita mulai petualangan kita?" lanjutnya, sambil menatap ke arah gue.
Gue ketawa kecil. "Slow down, cowok. Gue masih harus konsul sama dokter dulu."
"Oke, oke," dia angkat tangan, pura-pura nyerah.
"Tapi inget ya, begitu dokter udah ngasih lampu ijo, kita langsung gas!" Katanya dengan nada bersemangat.
Gue ngangguk. "Deal."
Arga ngangkat cangkir kopinya. "Cheers?"
Gue ikutan ngangkat cangkir. "Cheers."
Cangkir kita beradu pelan. Dan entah kenapa, gue ngerasa ini bukan cuma toast buat kopi. Ini toast buat awal yang baru. Buat harapan. Buat kehidupan.
Mungkin, ini awal dari keajaiban gue. Dan kali ini, gue nggak sendirian ngadepin semuanya.
yuk kak saling dukung #crazy in love