Rea memilih berdamai dengan keadaan setelah pacar dan sahabatnya kedapatan tidur bersama. Rasa cinta yang sejatinya masih bertuan pada Devan membuat Rea akhirnya memaafkan dan menerima lamaran pria itu.
Sepuluh tahun telah berlalu mereka hidup bahagia dikarunia seorang putri yang cantik jelita, ibarat tengah berlayar perahu mereka tiba-tiba diterjang badai besar. Rea tidak pernah menduga seseorang di masa lalu datang kembali memporak-porandakan cintanya bersama Devan.
Rea berjuang sendirian untuk membongkar perselingkuhan Devan, termasuk orang-orang di belakang Devan yang membantunya menyembunyikan semua kebusukan itu.
IG. ikeaariska
Fb. Ike Ariska
Tiktok. ikeariskaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ike Ariska, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Trauma
Terengah-engah Devan jatuh dan terkulai di samping Rea saat mereka selesai menuntaskan hasrat. Satu kecupan hangat mendarat di kening Rea sesaat sebelum akhirnya pria gagah nan rupawan itu terlelap dan tenggelam dibuai lamunan malam.
Di bawah temaram malam Rea perhatikan wajah Devan lekat-lekat perlahan diusapnya lembut sepasang alis melintang yang menghiasi mata setajam elang.
“Banyak hal yang sudah kita lalui bersama, Dev. Harapanku jangan sampai Anna kembali menjadi momok menakutkan dalam hubungan kita,” gumam Rea dalam diam.
Jemarinya yang rampai kini turun menjamahi garis rahang yang terlukis begitu sempurna. Belaian kasih sayang tidak luput juga mendarat di sana.
Sialnya meski malam telah larut kantuk seolah enggan datang bertandang sudah berulang kali Rea mencoba untuk tidur, tapi tak juga terlena. Akhirnya memilih bangun dan mengenakan kembali lingerie yang teronggok di lantai.
Setelah kembali dari kamar mandi Rea melangkah mendekati jendela. Di pekatnya malam ia buka jendela untuk sekadar mencari udara segar. Dingin malam pun tanpa permisi menyentuh kulit lembut yang putih seputih kapas. Sesekali Rea mengusap lengannya mencoba mengusir dingin, seperti hati dan pikirannya yang sejak tadi juga berusaha mengusir bayang Anna di ingatan.
“Ayolah, Re, terus berpikir positif!” batin Rea.
Nyatanya gelisah tak kunjung bisa diredam, sebesar apa pun usaha Rea untuk mengenyahkan bayangan masa lalu, tetap saja ketakutan lebih kentara menyelimuti hatinya
Dingin semakin menusuk pori-pori membuat Rea akhirnya menutup kembali jendela dan menarik tirai indah berbahan sutera yang terpampang memperindah tampilan ruang kamar.
Langkahnya gontai menuju meja rias, karena kembali ke kasur pun rasanya mata masih enggan terpejam.
Sejenak Rea memperhatikan wajah cantiknya dari pantulan cermin, wajah ayu berbentuk oval dihiasi sepasang mata indah dan hidung yang runcing. Rea dikaruniai bentuk wajah yang cantik, hanya saja akhir-akhir ini ada banyak bintik merah sejenis jerawat tumbuh menghiasi. Jujur saja beberapa bulan ini Rea sudah jarang sekali merawat diri.
Tanpa diminta bayangan Anna datang menyalip di tengah kesibukan Rea yang sedang membersihkan wajahnya menggunakan micellar water. Pergerakan jari-jemari yang rampai itu pun seketika terhenti dengan sendirinya.
Kegelisahan yang Rea rasa makin menjadi-jadi saat diingatnya tadi Anna tampil jauh lebih cantik dibanding saat terakhir kali mereka bertemu.
“Makin hari aku makin kurus saja, wajahku juga sudah tidak terurus. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan.” Lekat Rea memperhatikan diri sendiri dari pantulan cermin.
“Bagaimana kalau Dev tiba-tiba berpaling? Bagaimana kalau seandainya tanpa sengaja Dev dan Anna bertemu di jalan? Anna sekarang jauh lebih cantik ia terlihat makin muda, sementara aku terlihat kurus dan tidak terurus,” batin Rea.
Rea seperti sudah kehilangan akal sehatnya. Ia yang biasanya realistis dan tidak suka memikirkan hal-hal semacam itu bisa berubah setelah bertemu dengan Anna.
“Bagaimana kalau ternyata Dev lebih tertarik pada Anna dan kejadian di masa lalu terulang kembali?”
Trauma di masa lampau datang untuk menyakiti sudut hati yang pernah terluka, seharusnya baring disembuhkan oleh waktu, tapi kini kembali dikikis dibasahi darah yang bercampur air mata.
Pergumulan panas antara Dev dan Anna di ruang kamar apartemen sejatinya tidak ingin diingatnya lagi, tapi malam ini bayangan itu begitu nyata menari-nari di ruang mata. Rea tidak sanggup lagi menahannya sendiri. Rea takut jika sampai rumah tangga yang sudah lama ia bina bersama Devan hancur hanya karena Anna.
“Aaaaaaaaaaaa!”
Rea menjerit sekuat-kuatnya saat sekelebat bayangan kelam itu kembali terlintas di benaknya. Bayangan ketika Devan mencumbu Anna di bawah kungkungannya, bayangan di mana ke dua anak manusia itu bergulat di lautan nikmat dan keringat.
Puas menjerit Rea kemudian mengusap wajahnya dengan telapak tangan, lalu perhatiannya tertuju pada benda kecil berbentuk pipih di atas meja, di antara banyaknya peralatan makeup yang tersusun di sana.
“Apa arti diriku di matamu, kalau memang mencintaiku kenapa harus ada Anna di antara kita?” racau Rea.
Diraihnya silet yang mengkilap, lantas kemudian menyayat tangannya sendiri. Bukan untuk bunuh diri, melainkan hanya ingin menyakiti diri sendiri.
“Uuuuuuuu...” Rea menangis histeris.
Sementara itu Devan yang terbangun dari tidur langsung menyadari jika sesuatu yang buruk telah terjadi pada Rea, ia berhamburan dan memeluk Rea erat. Secepat kilat disambarnya silet tadi dan dilemparnya ke lantai.
“Hei, kamu kenapa?” tanya Devan khawatir.
Kali ini ia berdiri persis di hadapan Rea. Memperhatikan lekat-lekat wajah cantik yang tertunduk sangat dalam.
Sementara darah segar mengalir di tangan yang halus putih seputih salju. Devan raih tangan itu dan dilihatnya luka Rea tidak terlalu dalam, meski begitu cepat ia cari kotak P3K.
Rea masih saja membisu, ia bungkam. Diperhatikannya Devan yang tengah sibuk membalut lukanya menggunakan perban.
“Apa masih hal yang sama, Anna lagi?” tanya Devan dengan suara yang sedikit ditekan.
“Re, please! Ini bukan kali pertama kamu menyakiti diri kamu sendiri kalau lagi ada masalah. Waktu itu kamu juga menyayat tanganmu. Tolong percayalah aku hanya mencintaimu! Harus berapa kali aku katakan Anna hanyalah sebuah kesalahan, sampai kini kesalahan itu selalu aku sesali, ketakutanmu tidak akan pernah terjadi, sama halnya kesalahan itu pun juga tidak akan pernah terulang lagi!” tekan Devan meyakinkan.
Rea berurai air mata mendengarkan. Kata-kata Devan tadi membuat ia terjaga dari mimpi yang sangat menyeramkan. Tersadar kalau Devan sangat mencintainya.
“Dev maafkan aku, aku juga tidak mengerti kenapa perasaan ingin menyakiti diri sendiri itu tiba-tiba datang saat aku lagi sedih. Maafkan aku Dev. Aku janji ini tidak akan terulang lagi,” sesal Rea.
“Hm,” angguk Devan masih dengan wajah yang terlihat kesal.
“Re, kamu juga harus ingat rumah tangga ini bukan hanya kita berdua, tapi juga ada Airin. Kamu mau Airin tahu hal ini? Bagaimana kalau seandainya nanti rasa itu memintamu untuk melakukan lebih seperti menyayat pergelangan tangan misalnya? Apa kamu mau Airin tumbuh tanpa seorang ibu?” tanya Devan.
Rea makin tertunduk, wajahnya terlihat begitu menyesal. Mata indah yang dihiasi telaga sebening kristal itu kini tampak seperti berkabut.
“Bagaimana bisa aku melupakan tentang Airin? Ya Tuhan, ampuni aku!” gumam Rea.
“Cepat atau lambat kita harus ke psikiater,” tegas Devan.
“Dev, please! Kamu berlebihan!” elak Rea.
“Mungkin terkesan berlebihan, Re. Tapi kalau tetap dibiarkan ini akan jadi masalah yang sangat besar untukmu nanti! Tolong jangan sangkal aku lagi!” sergah Devan.
Rea sudah tidak bisa berkata-kata. Sadar kalau apa yang sudah ia lakukan memang salah.
“Dev, maafkan aku.”
Sesaat Rea pandangi mata tajam Devan yang balas menatap lekat. Sehingga untuk beberapa detik tatap ke duanya saling terkunci di satu titik yang sama.
“Ayo sekarang tidurlah! Jangan berpikiran yang aneh-aneh. Aku mencintaimu dan selamanya akan tetap mencintaimu. Tidak akan kubiarkan satu orang pun merusak kebahagiaan rumah tangga kita. Kamu dan Airin adalah prioritas utamaku, tidak akan pernah ada orang lain termasuk Anna!”
“Re, Sayang. Aku hanya mencintaimu!” gumam Devan menatap sayu. Nada bicaranya melemah, amarahnya dikalahkan oleh perasaan cinta terhadap Rea.
“Aku juga mencintaimu,” Rea balas menatap sayu. Setidaknya kini merasa jauh lebih tenang setelah mendengar kata-kata cinta yang dilontarkan Devan untuknya.
Rea meninggalkan Devan menuju ranjang. Di sisi lain pria itu memperhatikan Rea dengan perasaan gundah, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam Devan menyesal telah menggores trauma di hati Rea sehingga wanita itu nyaris mengalami depresi hanya karena dirinya. Devan menyadari gangguan mental yang dialami Rea berasal dari kesalahan masa lalu yang pernah ia lakukan dulu.
“Maafkan aku sayang,” hati yang dibalut rasa bersalah itu pun bergumam dalam diam.
emang. sahabat adalah maut...
mudah2an aja meningkat. trus nggak jadi nikah sama Sam...
Sam kalau tau masa lalu ana pasti mikir dua kali lah .. tu si ana aja masih ingat waktu devan menghujam dirinya... munafik bngt