Mendapati keponakannya yang bernama Sisi divonis leukemia dan butuh donor sumsum tulang, Vani membulatkan tekad membawanya ke Jakarta untuk mencari ayah kandungnya.
Rani, ibu Sisi itu meninggal karena depresi, tanpa memberitahu siapa ayah dari anak itu.
Vani bekerja di tempat mantan majikan Rani untuk menguak siapa ayah kandung Sisi.
Dilan, anak majikannya itu diduga Vani sebagai ayah kandung Sisi. Dia menemukan foto pria itu dibuku diary Rani. Benarkah Dilan adalah ayah kandung Sisi? Ataukah orang lain karena ada 3 pria yang tinggal dirumah itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KAU MENGINGATKANKU PADA SESEORANG
Tatapan Vani langsung tertuju pada pria yang duduk tepat didepannya. Ya, pria yang fotonya ada dibuka diary Rani, tak salah lagi. Mungkinkah dia adalah ayah Sisi? Vani meremat apron yang belum sempat dia lepas. Hatinya bergejolak, ada amarah yang besar saat menatap pria itu. Dia bersumpah dalam hati, akan menuntut balas atas penderitaan Rani dan Sisi.
"Vani, ini Tuan Salim, suami saya." Bu Retno menunjuk pria paruh baya duduk dikursi utama. Ketika Vani menoleh kearahnya, pria yang rambutnya sudah memutih itu, sedikit terkejut. Jangan-jangan, pria itu menyadari kemiripannya dengan Rani, batin Vani. Tapi jika kedua pria itu kaget melihatnya, kenapa Bu Retno tidak. Apakah mungkin wanita itu tak terlalu mengenal Rani?
"Saya Vani, Tuan." Ujar Vani sambil menunduk sopan. Pak Salim tak menjawab, hanya mengangguk lalu menunduk, fokus pada makanannya.
"Dan ini anak pertama saya, Dilan." Bu Retno menunjuk kearah Dilan.
Jadi namanya Dilan.
"Vani." Seperti pada Pak Salim, Vani menyebut nama sambil menunduk sopan. Dan Dilan yang masih syok, hanya menanggapi dengan anggukan kepala.
Selesai memperkenalkan anggota keluarganya, Bu Retno menyuruh Vani kembali kedapur, sedang dia mengajak keluarganya berembuk. Dan akhirnya, mereka memutuskan untuk menerima Vani bekerja disana.
...----------------...
Fatimah mengantarkan Vani dan Sisi kesebuah kamar kecil yang terletak didekat dapur. Dalam hati, Vani menebak-nebak, mungkinkah dulu kakaknya juga tidur dikamar ini?
Vani melihat-lihat isi kamar tersebut. Berharap ada barang milik Rani yang tertinggal disana, tapi rasanya mustahil, sudah 7 tahun berlalu. jika ada yang tertinggal pun, pasti langsung dibuang.
"Ini kamar kita, Bi?" Tanya Sisi sembari menghentak-hentakkan bokongnya, merasakan keempukan kasur. Meski kamar pembantu, tapi kasurnya masih lebih empuk daripada dirumah mereka.
Vani duduk disebelah Sisi lalu merangkul bahunya. "Untuk sementara, kita tinggal disini dulu."
"Lalu kapan kita ke makam Ayah?"
"Nanti, saat Bibi sudah punya uang. Sementara ini, Bibi masih harus bekerja disini."
"Sampai kapan? Lalu sekolahku?"
"Sisi gak usah sekolah dulu." Sekolahpun, Sisi sering tak masuk karena sakit. Jadi menurut Vani, tak apa jika setahun ini, Sisi tak sekolah dulu.
"Kalau gak sekolah, tahun depan, Sisi naik SD gak?"
"Nanti Bibi tanyakan Bu guru, semoga saja boleh. Sekarang Sisi bobok ya, udah malam."
"Bi, Sisi rindu sama Kakek dan Nenek." Mendengar itu, Vani langsung mengambil ponselnya yang ada didalam tas.
"Sisi video call saja sama Kakek Nenek."
"Yeee..." Bocah itu langsung girang. Mengambil ponsel dari tangan Vani lalu menelepon Neneknya. Mereka lalu mengobrol berempat. Bu Mia tampak berkali kali menyeka airmata dan menyusut hidung. Wanita itu masih sangat khawatir dengan kondisi Sisi dan Vani, takut sesuatu yang buruk terjadi pada mereka.
Setelah cukup lama mengobrol, panggilan diakhiri karena Sisi harus segera istirahat. Vani tak mau Sisi kembali drop jika kurang istirahat. Setelah Sisi tertidur, Vani keluar kamar.
Udara Jakarta terasa sangat panas bagi Vani yang dari kampung. Dia yang merasa haus, pergi kedapur untuk mengambil minum, sekaligus menyiapkan jika nanti Sisi terbangun dan haus.
Saat sampai didapur, lampu sudah dimatikan semua. Vani yang baru hari ini berada disini, tak tahu dimana letak saklar. Dia mencoba menajamkan penglihatan sambil meraba-raba tembok, siapa tahu menemukan letak saklar. Kenapa juga tadi dia tak membawa ponsel saat kedapur.
"Aa.." Jerit Vani yang kaget saat lampu tiba-tiba menyala, padahal dia belum menemukan saklar. Dia yang ketakutan langsung berbalik dan hendak lari, tapi baru selangkah, dia malah menabrak seseorang. "Ha_" Teriakan Vani menguap diudara saat melihat sosok yang dia tabrak.
"Ha apa, hantu?" tanya Dilan sambil menahan tawa.
"Ba-bagaimana anda bisa disini?" tanya Vani terbata. Wajahnya masih pucat karena takut.
"Jalan kakilah, masa ngawang? Aku kan manusia, bukan hantu. Dimana-mana yang namanya hantu itu, matiin lampu, bukan malah nyalain lampu."
"Maaf," ujar Vani sambil menunduk.
"Kamu ngapain kedapur gelap-gelapan? Mau nyolong?" Vani langsung menggeleng cepat.
"Sa-saya bukan mau nyolong, tapi gak tahu posisi saklarnya."
"Yakin?" Dilan bersedekap sambil menaikkan sebelah alisnya. "Beberapa kali, rumah ini kecolongan. Dan pelakunya ART baru kayak kamu gini."
"Tapi sumpah, saya gak mau nyolong." Vani menggeleng cepat. "Saya cuma mau ambil minum."
Dilan tersenyum melihat ekspresi ketakutan Vani. Persis sekali dengan Rani. Seperti inilah ekspresi gadis itu saat ketakutan karena dituduh yang enggak-enggak. "Mumpung kamu lagi didapur, bisa minta tolong buatin saya teh chamomile?"
Vani langsung mengangguk, berbalik dan berjalan cepat menuju kompor untuk membuat teh.
Dilan duduk dikursi dapur, menatap punggung Vani yang sedang sibuk membuat teh. Dia tak menyangka jika akan bertemu dengan wanita yang sangat mirip dengan Rani, kekasihnya yang pergi tanpa kabar 7 tahun yang lalu. Meski sudah 7 tahun, dia belum bisa membuka hati untuk wanita lainnya. Hingga saat ini, ketika usianya sudah menginjak 30 tahun, dia belum juga menikah.
"Ini tehnya, Tuan." Ujar Vani sambil meletakkan teh diatas meja, tepat didepan Dilan. Tapi pria yang sedang melamun itu tak memberi respon apa-apa. "Tuan," Vani kembali memanggil tapi Dilan masih tak respon. Sampai akhirnya, Vani memanggil sambil menepuk bahu pria itu.
"Iya Ran," sahut Dilan yang gelagapan karena kaget.
"Ran?" Vani terperangah mendengar Dilan keceplosan memanggil Rani. Keyakinannya makin tinggi, Dilan ada hubungan dengan Rani, dan mungkin, pria itulah ayah biologis Sisi.
"Maaf, salah sebut," ujar Dilan sambil garuk-garuk tengkuk. "Kamu mengingatkanku pada seseorang, namanya Rani. Dia sangat mirip denganmu."
Vani meremat baju tidurnya. Mencoba menahan diri agar tidak bicara sesuatu yang membuat Dilan curiga padanya. Dia belum punya bukti jika Dilan adalah ayah kandung Sisi. Jadi sementara waktu, dia masih harus menahan diri agar tidak mengamuk didepan pria itu.
"Siapa Rani? Kekasih anda?"
"Sudahlah, jangan bahas dia lagi."
Vani menghela nafas kesal, kenapa juga gak mau bahas. Padahal, itulah yang sangat ingin dia bahas. Lebih cepat tahu siapa ayah kandung Sisi, lebih cepat pula Sisi dapat donor. Dan lebih cepat pula dia memikirkan cara balas dendam untuk Rani.
Dilan menyeruput teh cahmomile buatan Vani, berharap teh itu akan segera membuatnya ngantuk. Sejak melihat Vani tadi, dia jadi teringat Rani terus, sampai membuatnya tak bisa tidur.
"Anda tidak suka susu?" tanya Vani.
"Darimana kamu tahu?"
"Karena anda minum teh chamomile untuk mendatangkan kantuk. Jelas-jelas, susu hangat lebih cepat membuat kantuk."
"Ya, kau benar. Aku mual saat meminum susu. Makanya aku memilih teh chamomile."
Vani berjalan menuju meja kitchen, mengambil sebiji pisang yang ada disana lalu menyodorkannya pada Dilan. "Makan pisang, bisa bikin cepat ngantuk."
Bukannya menerima pisang pemberian Vani, Dilan malah menatap nanar gadis itu. Kenapa bisa seperti ini? Tak hanya wajah dan rasa masakan, bahkan sesuatu kecil yang mereka lakukan juga sama.
Kalau gak bisa tidur, coba Mas Dilan makan pisang. Kata Bapakku, makan pisang bisa bikin ngantuk. Gak tahu sih benar atau hanya mitos. Tapi aku kalau gak bisa tidur, makan pisang langsung ngantuk. Mungkin karena kenyang kali ya.
Dilan teringat pada ucapan Rani dulu.
mereka hrs menuai apa yg mereka tanam
tanpa tau kejelasan yg sesungguhnya ny.
kasihan Rani jd depresi gara2 ulah Ret o.
bersiap lah. karma menantiu Retno
kang Dilan..
Retno... apa yg kau tanam itu lah yg kau tuai
hanya Autor lah yg tau..
di biarin takot kena salahin di tolong takot si Dilan nyari kesempatan