"Ingat Queensha. Aku menikahimu hanya demi Aurora. Jadi jangan pernah bermimpi jika kamu akan menjadi ratu di rumah ini!" ~ Ghani.
Queensha Azura tidak pernah menyangka jika malam itu kesuciannya akan direnggut secara paksa oleh pria brengsek yang merupakan salah satu pelanggannya. Bertubi-tubi kemalangan menimpa wanita itu hingga puncaknya adalah saat ia harus menikah dengan Ghani, pria yang tidak pernah dicintainya. Pernikahan itu terjadi demi Aurora.
Lalu, bagaimana kisah rumah tangga Queensha dan Ghani? Akankah berakhir bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon senja_90, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Ghani dan Queensha (REVISI)
"Sha, antarkan makanan ini ke meja nomor dua belas. Kalau yang ini ke meja nomor dua puluh. Awas, jangan sampai tertukar!" ujar Yanti, salah satu koki restoran tempat Queensha bekerja.
"Baik, Mbak!" Dengan cekatan Queensha membawa nampan itu ke nomor meja yang telah disebutkan sebelumnya.
Hari ini keadaan restoran cukup ramai sebab restoran tempat Queensha bekerja dijadikan tempat untuk lomba mewarnai antar sekolah TK. Jadi jangan heran apabila saat ini Queensha dan teman-temannya tampak begitu sibuk melayani para customer.
Queensha merogoh saku celana dan melihat jam yang tertera di layar ponsel di sela kegiatannya melayani customer. "Aduh, gimana aku bisa pergi dari sini jika customer terus berdatangan?" gumam wanita itu saat melihat waktu sudah menunjukan pukul satu siang.
Siang ini Queensha diminta datang ke kediaman Wijaya Kusuma untuk melakukan interview. Namun, sejak pukul sebelas hingga detik ini para pelanggan selalu berdatangan hingga membuat wanita itu kewalahan.
Lulu yang melihat temannya kebingungan lantas mendekat. "Lo kenapa, Sha?" bisik wanita itu tepat di telinga Queensha.
Dengan lirih Queensha menjawab, "Aku diminta datang untuk interview, Lu. Namun, melihat ramainya suasana di sini aku jadi bingung gimana caranya pergi dari tempat ini."
"Lo udah minta izin belum sama supervisor kita?"
"Udah, tapi tadi sempat terjadi adu mulut antara Mbak Puji dan Mas Rama. Mas Rama sih ngasih izin ke aku, tapi-"
"Enggak usah lo jelasin, gue udah tahu kelanjutannya," sergah Lulu sebelum Queensha menyelesaikan ucapannya. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar, situasi di restoran memang sangat ramai. "Kalau lo emang udah dikasih izin sama Mas Rama, pergi aja enggak apa-apa biar gue dan yang lain handle di sini."
"Tapi aku enggak enak sama kalian," tolak Queensha halus. Walaupun keinginannya untuk pergi sebentar dari tempat itu, tapi ia tidak tega jika harus menyusahkan Lulu dan rekan yang lain.
Tangan Lulu melambai ke atas. "Alah, enggak usah ngerasa enggak enak segala. Kalau lo mau pergi, pergi aja sana sebelum Mbak Puji sadar jika salah satu pelayannya pergi di saat jam kerja."
Queensha memandangi Lulu dengan serius. "Betulan enggak apa-apa?"
Lulu berdecak kesal. "Ish, kalau gue udah bilang enggak apa-apa, ya artinya enggak masalah. Udah sana siap-siap, dandan yang cantik. Siapa tahu hidup lo seperti Cinderella, dipersunting majikan sendiri." Ia mendorong pundak Queensha hingga tubuh wanita itu sedikit terhuyung.
Bibir merah ranum cemberut mendengar ucapan Lulu. "Ngawur, kamu! Niatku bekerja untuk cari duit, bukan cari jodoh." Queensha mendengkus kesal. "Ya udah, kalau gitu aku pergi sekarang. Sorry ya, udah ngerepotin kamu dan yang lain.
Setelah mengganti seragam kerja dengan kemeja putih dan celana bahan warna hitam, Queensha keluar dari tempatnya bekerja. Satu map warna coklat berada dalam dekapan. Di dalam map itu berisi curiculum vitae (CV), biodata serta foto miliknya.
"Bismillah, aku yakin pasti bisa!" Queensha coba menyakinkan diri sendiri jika pekerjaan itu dapat ia dapatkan.
Wanita cantik berusia dua puluh lima tahun melangkahkan kakinya yang jenjang keluar dari restoran tersebut. Ia berdiri di bahu jalan, menunggu ojek online yang dipesan sebelumnya sambil sesekali melirik arloji pemberian mendiang sang papa saat dirinya berusia tujuh belas tahun.
"Duh, lama banget sih. Kalau begini terus bisa telat aku," keluh Queensha.
Teriknya matahari membuat Queensha mengangkat tangan ke udara, menghalau sinar mentari yang masih setia memancarkan sinarnya. Netranya yang indah, bersinar bagai kilau mutiara memperhatikan orang-orang yang sedang lalu lalang. Pandangan mata wanita itu berhenti tatkala melihat seorang gadis kecil hendak menyebrang di zebra cross. Lalu, dari arah berlawanan tampak satu unit kendaraan roda empat melaju dengan kecepatan tinggi.
Detik itu juga jantung Queensha rasanya berhenti berdetak. Kilasan kejadian di masa lalu saat ia berusia dua belas tahun kembali muncul di benaknya. Masih terekam jelas bagaimana mendiang mama tercinta tewas di depan mata kepalanya sendiri.
Entah bagaimana ceritanya, sepatu pentofel hitam milik Queensha bergerak sendiri. Wanita itu berlari begitu saja tanpa disadari olehnya.
"Awas!" pekik Queensha sambil menarik tangan gadis kecil itu agar menjauh dari zebra cross. Akibatnya membuat mereka terjatuh menghantam aspal di bahu jalan. Beruntungnya kepala si kecil tidak membentur trotoar karena tubuhnya berada dalam dekapan Queensha.
Sementara itu, unit kendaraan roda empat yang tadi melaju dengan kencang berbelok ke kanan lalu menghantam gardu listri yang ada di pinggir jalan. Bunyi dentuman kencang membuat orang-orang di sekitar menjerit histeris dan suasana yang sedari tadi ramai semakin ricuh akibat kecelakaan tersebut.
Tubuh Queensha membeku di tempat. Ia tampak syok kala melihat bagaimana bagian depan mobil itu ringsek akibat menabrak gardu listri.
"Ya Allah, Neng Rora! Neng enggak apa-apa?" seru Ijah, salah satu ART yang saat itu sedang ditugaskan menemani si kecil ikut lomba mewarnai.
Queensha yang saat itu melamun langsung tersadar. Lantas ia segera melepaskan tubuh mungil si kecil yang tak lain bernama ... Aurora.
"Rora enggak apa-apa, Budhe. Untung diselamatin Kakak Cantik," sahut Aurora dengan mengerjapkan mata. Seulas senyuman mengembang di bibir tatkala matanya yang indah dan jernih bersitatap dengan netra Queensha. "Terima kasih, Kakak Cantik."
"Aduh, Neng, terima kasih banyak udah selamatin anak majikan saya. Kalau enggak mungkin saya bisa dipecat karena enggak becus ngurusin anak."
Tersenyum lebar walau telapak tangannya terasa perih akibat terkena gesekan aspal saat mendorong tubuh wanita paruh baya itu. "Tidak masalah, itu memang sudah menjadi kewajiban saya untuk menolong sesama. Terpenting Adik kecil ini baik-baik saja." Entah mengapa, ia merasa ada debaran halus di dada saat melihat bola mata Aurora. Perasaan wanita itu pun campur aduk, antara sedih dan bahagia dalam waktu bersamaan.
Namun, sebuah gada besar menghantam kepala Queensha. Ia teringat jika dirinya harus segera pergi interview sebelum lowongan pekerjaan itu diambil orang lain. "Ya udah, kalau gitu saya permisi dulu. Sampai jumpa, Adik Kecil." Tangan Queensha melambai di udara dan Aurora pun membalas lambaian tangan itu.
***
Beberapa menit kemudian, akhirnya Queensha tiba di tempat tujuan. Setelah membayar ongkos ojek, wanita itu mengayunkan kaki ke depan pintu gerbang yang menjulang tinggi ke awang. Rumah itu tampak mewah dan megah bak istana negeri dongeng.
"Permisi, Mbak. Kenalin, saya Queensha yang mau melamar jadi babysitter di rumah ini."
Tampak raut wajah mbak Tina, kepala asisten rumah tangga berubah panik. "Ayo, Neng, buruan masuk!" Tanpa mengucap apa-apa, dia segera menarik pergelangan tangan Queensha.
Queensha baru saja duduk di sofa dan mbak Surti hendak memanggil anak majikannya, Ghani sudah berdiri di depan pintu menghubung antara ruang tamu dan ruang keluarga.
"Siapa dia? Kenapa Mbak Tina sembarangan mengizinkan orang asing masuk ke rumah ini?" tegur Ghani. Ia tahu persis bahwa Rayyan tidak suka ada perempuan sembarangan berada di rumah tersebut.
Mbak Tina menundukan wajah, tidak berani menatap wajah Ghani. "Perempuan itu yang mau melamar jadi babysitter Neng Aurora."
Memasang wajah angkuh dan terkesan dingin, Ghani menjawab, "Minta dia pulang, aku enggak butuh pekerja yang tak bisa menghargai waktu!" tandas pria itu sambil berlalu begitu saja.
Matanya terbelalak dan bibir membulat sempurna. Percuma saja Queensha izin bekerja kalau pada akhirnya tidak jadi interview.
Queensha bangkit dan berjalan mengimbangi langkah panjang Ghani yang hendak menuju daun pintu. "Pak, bukannya saya tidak menghargai waktu, hanya saja tadi saat di perjalanan terjadi sedikit insiden menyebabkan saya datang terlambat. Jadi, tolong beri saya kesempatan. Please!" Ia sampai menangkup kedua tangan di depan dada, meminta belas kasih Ghani.
Akan tetapi, bukan Ghani namanya jika pria itu luluh dan memberi kesempatan pada Queensha. Pria itu tetap pada pendirian.
"Saya bisa mencari babysitter lain yang bisa kerja tepat waktu, bukan perempuan tukang ngaret macam kamu!"
"Ya ampun, Pak. Apa Bapak tidak kasihan pada saya? Saya udah jauh-jauh datang ke sini loh, tapi disuruh pergi lain." Lalu Queensha melirik arloji, waktu menunjukan pukul dua lebih sepuluh menit. "Lagi pula hanya terlambat sepuluh menit, Pak."
Langkah kaki Ghani terhenti secara tiba-tiba, membuat tubuh dan wajah Queensha menabrak punggung si dokter tampan. Queensha mundur beberapa langkah ke belakang, nyaris terjungal. Namun, dengan gerakan cepat Ghani menahan pinggang wanita itu.
Detik itu juga rasanya bumi tempat mereka berpijak berhenti berputar. Detak jarum jam tak lagi berdenting dan seisi rumah itu kosong kala kedua netra saling beradu pandang.
"Bagi saya, waktu sepuluh menit itu sangat berarti, Nona. Akan banyak pasien meninggal dunia jika saya tidak segera menolongnya!" Tanpa merasa berdosa, Ghani melepaskan tangannya yang melingkar di pinggang Queensha begitu saja hingga membuat bokong sang wanita mendarat kencang di lantai.
Sialan! Bokongku sakit banget! keluh Queensha sambil meringis kesakitan.
Melihat Ghani yang mulai menjauh, Queensha memaksakan diri bangkit dan mengikuti langkah Ghani kembali.
"Pak, tolong kasih saya kesempatan sekali lagi. Saya janji tidak akan-"
Suara Queensha mengambang di udara saat tiba-tiba seorang gadis kecil muncul di antara mereka.
"Papa!" seru Aurora sambil berhambur ke arah Ghani. "Rora kangen, Papa." Tangannya yang mungil melingkar di paha sang papa.
Tangan kokoh Ghani mengusap puncak kepala Aurora. "Papa juga kangen kamu, Nak. Gimana tadi lombanya, sukses?"
Si kecil Aurora mengangguk. "Sukses dong. Rora jadi juara tiga loh, Pa."
"Anak pintar!" puji Ghani. "Papa mau ke rumah sakit dulu. Rora di rumah sama Budhe Tina dan Budhe Ijah, sebentar lagi Kak Mayumi dan Kak Allan ke rumah. Jadi kalian bisa main bareng."
Aurora mengangguk. Ia melepaskan tangannya yang mungil dari pinggang Ghani. Kemudian ia sadar bahwa tidak hanya ada mereka berdua di teras rumah melainkan ada seseorang mematung di tempat dengan pandangan mata kosong.
"Kakak Cantik, kok di sini?"
...***...
😂😂😂
Bahkan lulu sampai memperingati ghani harus menjaga queensha 🤔