"Maka Jika Para Kekasih Sejati Telah Melewatinya, Cinta Tegak Berdiri sebagai Sebuah Hukum Pasti Dalam Takdir."
Sebuah novel yang mengisahkan perjalanan epik seorang pemuda dalam mengarungi samudera kehidupan, menghadirkan Hamzah sebagai tokoh utama yang akan membawa pembaca menyelami kedalaman emosional. Dengan pendalaman karakter yang cermat, alur cerita yang memikat, serta narasi yang kuat, karya ini menjanjikan pengalaman baru yang penuh makna. Rangkaian plot yang disusun bak puzzle, saling terkait dalam satu narasi, menjadikan cerita ini tak hanya menarik, tetapi juga menggugah pemikiran. Melalui setiap liku yang dilalui Hamzah, pembaca diajak untuk memahami arti sejati dari perjuangan dan harapan dalam hidup.
"Ini bukan hanya novel cinta yang menggetarkan, Ini juga sebuah novel pembangun jiwa yang akan membawa pembaca memahami apa arti cinta dan takdir yang sesungguhnya!"
More about me:
Instagram: antromorphis
Tiktok:antromorphis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Antromorphis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Tak Terduga!
Hamzah terdiam dalam keheningan pagi yang menyelimutinya. Ia menyenderkan kepala di kursi mobil, matanya menatap kosong ke arah jendela yang terbuka lebar, membiarkan angin sepoi-sepoi masuk dan mengusik ketenangan pikirannya. Dalam benaknya, berputar-putar serangkaian pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban. Mimpi itu, yang mengusiknya semalam, kembali menghantui pikirannya.
“Siapa wanita misterius itu? Mengapa ia hanya memanggil namanya? Dan apa makna dari empat ekor sapi yang muncul dalam mimpinya?” Hamzah menggigit bibirnya, berusaha mengingat detail-detail yang samar.
“Kenapa hanya nama?” gumamnya pelan, suara hatinya penuh rasa penasaran.
Ia berusaha mengalihkan perhatian dari mimpi yang terasa begitu nyata itu. Hari ini adalah hari penting; ia akan melakukan perjalanan ke luar negeri, dan ia tidak ingin memikirkan sesuatu yang rumit di saat seperti ini. Hamzah melihat jam di pergelangan tangannya.
“Sudah jam setengah delapan,” ujarnya dalam hati.
“Setengah jam lagi jadwal keberangkatanku ke Jakarta. Semoga jalannya tidak macet.”
Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum menghadapi hari yang penuh harapan. Tak lama kemudian, mobil meluncur dengan lancar di jalanan yang tampak normal.
“Alhamdulillah, sudah sampai,” ucap Pak Min, sopirnya, dengan nada lega saat mereka tiba di stasiun.
“Alhamdulillah, kondisi jalan normal,” sahut Hamzah sambil menatap keluar jendela, mengamati keramaian orang-orang yang berlalu-lalang.
Ia kembali melihat jam tangannya. “Alhamdulillah masih ada waktu lima belas menit,” pikirnya optimis.
Pak Min memarkirkan mobilnya di area parkir stasiun yang ramai.
“Banyak juga orang yang pergi hari ini,” kata bapak Hamzah sambil mengamati kerumunan penumpang.
“Ya, namanya transportasi umum, Pak. Wajar kalau banyak yang menggunakan,” jawab istrinya dengan nada tenang.
“Tapi kan bukan hari libur,” timpal bapak Hamzah membela pendapatnya.
“Yah kan—” Ibu Hamzah mencoba menjelaskan, tetapi Hamzah segera memotong pembicaraan mereka.
“Huss, sudah-sudah, gitu aja debat,” sahut Hamzah dengan nada menengahi, berusaha meredakan suasana.,Di belakang mereka, Aan tertawa terbahak-bahak melihat gelagat orang tuanya.
“Mendingan sekarang kita turun dari mobil,” ajak Hamzah sambil membuka pintu mobilnya. Bapak Hamzah mengikuti dari pintu depan dengan langkah mantap.
“Barang-barangnya, Le! Jangan sampai ada yang ketinggalan!” Ibu Hamzah mengingatkan dengan nada khawatir.
“Iya Bu, InsyaAllah tidak ada,” jawab Hamzah sambil mengambil koper dan tas kecilnya dari bagasi mobil.
Setelah memastikan semua barang sudah diambil, ia berjalan menuju pintu masuk stasiun dengan langkah penuh semangat meski bayang-bayang mimpinya masih membayangi pikiran. Di dalam stasiun yang ramai itu, Hamzah merasakan denyut kehidupan di sekelilingnya—suara pengumuman keberangkatan, langkah kaki penumpang yang terburu-buru, dan aroma kopi dari kafe dekat pintu masuk. Semua itu membuatnya sedikit melupakan misteri dalam mimpinya dan lebih fokus pada perjalanan yang akan segera dimulai. Namun, saat ia melangkah lebih jauh ke dalam stasiun, bayangan wanita itu kembali muncul dalam pikirannya.
“Siapa dia sebenarnya? Dan apa hubungannya dengan perjalanan ini?”
Dengan tekad baru untuk menemukan jawaban atas pertanyaannya, Hamzah melangkah maju menuju masa depannya yang penuh harapan dan misteri. Sejurus kemudian, Hamzah sudah berada di dalam Stasiun Tugu. Suasana stasiun yang ramai membuat terasa terpesona. Di dalamnya, ribuan orang berlalu-lalang, masing-masing dengan tujuan dan cerita mereka sendiri. Kursi tunggu dipenuhi oleh penumpang yang menunggu kereta, hampir tidak ada satu pun bangku yang kosong. Hamzah merasakan denyut kehidupan di sekelilingnya, tetapi jantungnya terfokus pada satu hal: mencari tempat duduk untuk orang tuanya. Di tengah keramaian, ia melihat sosok yang dikenalnya. Kemudian dari belakang tampak bapak, ibu, Aan, dan Pak Min berjalan memasuki pintu stasiun. Hamzah berusaha mencuri pandang ke arah seseorang yang ia kenal.
Di sebuah stasiun kereta yang ramai, Robi berdiri dengan senyuman lebar di wajahnya. Suara kerumunan dan deru kereta menambah suasana yang penuh energi. Tiba-tiba, dia melihat sosok yang sangat dikenalnya. Hamzah, sahabat masa kecilnya, muncul dari kerumunan.
"Benaaar sekaliiiii," seru Robi, kegirangan.
Seketika itu juga Hamzah mengangkat suaranya, "MasyaAllaaaahhhh... Robiii! Ya Allah, sudah berapa tahun kita tidak bertemu? Aku benar-benar sudah melupakan sahabat kecilku!"
Robi adalah sahabat kecil Hamzah, ketika Robi lulus Sekolah Dasar, Robi bersama keluarganya pindah ke luar kota. Setelah mengetahui bahwa seseorang yang berada di depannya adalah sahabatnya dulu, Hamzah lantas mengampiri dan memeluknya dengan penuh kerinduan.
Hamzah mengernyitkan dahi, "Sudah lama sekali ya, tapi kenapa setelah pindah kamu tidak menyempatkan main ke tanah kelahiranmu dulu?"
"Sebenarnya, aku lumayan sering main ke kampung. Cuma setiap kali aku main ke sana, kamu tidak berada di rumah. Kata ibumu kamu masih sibuk kuliah," jawab Robi dengan nada santai.
"Jadi kamu sering main ke rumahku, Rob? Tapi kenapa keluarga di rumah tidak ada yang memberitahukan ke aku ya?" Hamzah sedikit kesal.
Melihat wajah sahabatnya itu, Robi tertawa. "Aku memang sengaja bilang kalau saat kamu pulang ke rumah jangan memberitahukan kedatanganku. Dan juga, aku memiliki sebuah rahasia yang mungkin ketika kamu mendengarnya kamu pasti akan senang."
"Loh, wah pelanggaran ini namanya," Hamzah tertawa lepas. "Sebentar-sebentar, ini kamu mau kemana?" lanjut Hamzah penasaran.
"Nanti saat di dalam kereta aku akan memberitahu semuanya kepadamu," jawab Robi tenang.
Tak lama kemudian, keluarga Hamzah—bapak, ibu, Aan, dan Pak Min—datang menghampiri mereka. Ibu Hamzah yang menyadari pemuda di samping anaknya adalah Robi langsung menyapanya dengan ramah.
"Nak Robi," sapa ibu Hamzah.
"Iya bu! Waaah semuanya di sini ya. Ini semuanya sehat kan?" tanya Robi penuh perhatian.
"Alhamdulillah sehat Rob," sahut bapak mewakili.
Ibu Hamzah melanjutkan pertanyaan dengan lembut, "Ini kamu sendirian le?"
"Ya bu, soalnya bapak dan ibu Robi hari ini sedang di luar kota. Sedangkan kak Novi sedang ada acara dengan keluarga suaminya," jawab Robi.
Hamzah yang masih merasa kesal karena keluarganya merahasiakan kedatangan Robi berkata dalam hati, “Wah aku dicuekin.” Ucapannya membuat semua orang tertawa.
"Hamzah Hamzah, aku sangat kangen sama kamu," ucap Robi berusaha menenangkan sahabatnya itu.
"Sebentar, Hamzah mau tanya. Ini kenapa tidak ada yang bilang kalau Robi sering main ke rumah?" tanya Hamzah penasaran.
"Ya biar surprise," jawab bapak enteng.
Robi kemudian melanjutkan penjelasannya. "Jadi begini sahabatku, aku memang sengaja merahasiakan kedatanganku di rumahmu karena aku menantikan momen hari ini. Aku ingin memberikan surprise untukmu."
Di tengah pembicaraan mereka, suara dari speaker stasiun mengumumkan bahwa kereta dengan tujuan Jakarta akan berangkat dalam lima menit lagi. Hamzah terkejut dan segera bergegas untuk masuk ke peron.
"Lima menit lagi keretanya berangkat! Semuanya, Hamzah pamit dulu ya!" serunya terburu-buru.
"Iya nak! Sebaiknya kamu segera masuk ke dalam kereta," timpal bapak dengan nada khawatir.
"Hati-hati ya nak! Bapak sama ibu pasti akan selalu mendoakanmu. Jaga diri baik-baik ya di sana! Ingat selalu pesan bapak sama ibu," kata ibu sambil air matanya meleleh membasahi pipinya yang mulai keriput.
"Iya bu! Hamzah pasti akan melakukannya. Terima kasih banyak nggih pak bu." Hamzah memeluk kedua orang tuanya erat-erat.
"Dan untuk Aan," sambungnya sambil mengelus kepala adiknya yang tampak sedih, "kamu nurut ya kalau dibilangin sama bapak ibu. Jaga diri baik-baik dan jangan nakal!"
Aan tiba-tiba menangis terisak-isak, "Iya kak! Aan pasti akan nurut sama bapak ibu."
Setelah itu, Hamzah menghampiri Pak Min dan mengucapkan terima kasih atas bantuan mobilnya. "Pak Min, terima kasih untuk mobilnya ya pak. Maafkan jika keluarga kami sering merepotkan Pak Min. Semoga kebaikan Pak Min dibalas oleh Allah. Aamiin."
"Aamiin ya Allah! Sudah tenang saja nak Hamzah. Selagi saya mampu, saya dengan senang hati akan membantu," jawab Pak Min dengan tulus.
Setelah berbicara dengan Pak Min, Hamzah kembali mendekati Robi dan berkata dengan penuh rasa haru, "Dan kamu sahabatku, walaupun setelah sekian lama kita berpisah dan hanya beberapa menit bertemu sebelum kita berpisah lagi, pertemuan singkat ini begitu berarti untukku."
"Selamat tinggal Robi! Sampai jumpa lagi sahabatku!" ucap Hamzah dengan mata berbinar penuh harapan.
Seketika itu juga Robi menyahut ucapan dari Hamzah dengan nada terkejut dan penuh emosi, “Ngomong apa kamu?!”