Pada masa penjajahan Belanda, tanah Jawa dilanda penderitaan. Mela, gadis berdarah ningrat dari Kesultanan Demak, terpaksa hidup miskin dan berjualan jamu setelah ayahnya gugur dan ibunya sakit.
Saat menginjak remaja, tanah kelahirannya jatuh ke tangan Belanda. Di tengah prahara itu, ia bertemu Welsen, seorang tentara Belanda yang ambisius. Pertemuan Welsen, dan Mela ternyata membuat Welsen jatuh hati pada Mela.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaHs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ꦭꦶꦩ
Aja kabisan gumantung marang tindak tanduking tiyang.
"Mela, kamu sudah lama tiada datang kemari, lihatlah ini, ubi bakar, sebagai tanda hormatku padamu," kata aku seraya menyerahkan sepotong ubi bakar kepada Mela.
Mela menatapku dengan wajah penuh tanya, "Ia nek, sebab kini aku harus menyiapkan jamu untuk para prajurit Belanda yang datang ke desa kita."
"Orang asing sampai ke tanah kita? Mengapa bisa begitu?" tanya Nenek, masih terkejut.
"Mereka ingin berkunjung, nek," jawabku perlahan, merasa berat hati mengungkapkan alasan yang sebenarnya.
"Berkunjung? Apa maksudmu itu, ndok? Ke tempat kita yang sunyi ini, mereka datang untuk apa?" Nenek memiringkan kepala, bingung dengan penjelasan yang kudapatkan.
"Entahlah, Nek. Mungkin saja mereka dan Sultan Agung sedang melakukan kerja sama perekonomian," sahutku pelan, mencoba meredam kekhawatiran yang terpancar dari wajah Mela.
Nenek mengernyit, memandangku tajam. "Kerja sama perekonomian, katamu? Ndok, apa itu alasan yang pantas bagi orang asing untuk berkeliaran di tanah kita? Kerajaan ini dulu berdiri megah tanpa campur tangan mereka! Apa sekarang Mataram sudah sedemikian lemahnya hingga menggantungkan nasib pada para asing itu?"
Aku menundukkan kepala, tak mampu membalas. Nenek melanjutkan dengan suara bergetar, "Sultan Agung, yang namanya diagungkan ke seluruh negeri, kini membiarkan kaki-kaki penjajah menginjak bumi kita. Jika benar ini tentang ekonomi, kenapa tidak memanfaatkan kekayaan tanah kita sendiri? Kenapa harus membuka pintu kepada mereka yang mungkin datang membawa kehancuran?"
"Nek," aku mencoba menjawab, "mungkin Sultan punya rencana besar yang kita tak mengerti. Siapa tahu ini demi kebaikan negeri."
Namun Nenek hanya menggeleng lemah. "Rencana besar? Kebaikan negeri? Ndok, sejarah tak pernah memihak mereka yang membiarkan tanahnya diinjak dengan dalih persahabatan. Aku hanya takut, saat kita sadar, semuanya sudah terlambat."
"Sudahlah, Nek, kita coba berfikiran positif saja tentang mereka," sahutku sambil mengambil kembali ubi yang dibuat nenek. Aku mencoba tersenyum, meski dalam hati ada kegelisahan yang tak bisa sepenuhnya kutepis.
Nenek mendengus pelan, tapi tetap menyerahkan ubi itu padaku tanpa perlawanan. "Ndok, berpikir positif itu baik, tapi jangan sampai kita lengah. Orang asing tak datang tanpa tujuan. Apa pun yang mereka katakan, pasti ada maksud yang tersembunyi di baliknya."
Aku terdiam, tak ingin memperpanjang perdebatan. Kutatap ubi yang masih hangat di tanganku, aroma bakarannya menguar, membawa rasa hangat yang seolah ingin menenangkan suasana. "Tapi, Nek, kalau kita terus curiga, kita juga tak akan pernah bisa hidup dengan damai, kan? Barangkali niat mereka memang baik. Kita lihat saja nanti."
Nenek menatapku dalam-dalam, lalu menghela napas panjang. "Baiklah, ndok, kalau itu yang kau pikirkan. Tapi ingat, jangan sampai terlena. Dunia ini tak selamanya seperti yang terlihat. Ubi yang kau pegang itu mungkin manis, tapi siapa tahu, di dalamnya ada bagian yang pahit."
Aku mengangguk pelan, memahami maksudnya.
***
Aroma rempah yang khas dari jamunya berpadu dengan wangi sayuran segar dan buah-buahan di sekitar.
Saat sedang menawarkan jamu kepada pelanggan, perhatian Mela teralihkan oleh sekumpulan orang asing yang berdiri di sudut pasar. Mereka adalah beberapa pria Belanda dengan pakaian rapi, lengkap dengan topi tinggi dan tongkat kayu. Wajah mereka tampak serius, seolah sedang mendiskusikan sesuatu yang penting. Mereka berbicara dalam bahasa yang tidak Mela mengerti, terdengar seperti irama asing di telinganya.
Rasa penasaran membuat Mela memperlambat langkahnya, mencoba memahami gerak-gerik mereka. Ia mendapati bahwa salah satu dari mereka sesekali menunjuk ke arah pedagang rempah yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Mela menduga mereka sedang membicarakan tentang rempah-rempah, sesuatu yang memang menjadi daya tarik besar bagi orang-orang asing yang datang ke tanah Jawa.
Namun, ada sesuatu dalam cara mereka berbicara yang membuat hati Mela sedikit gelisah. Meski ia tidak paham bahasanya, nada suara mereka terdengar seperti orang yang sedang berencana. Apakah mereka berniat membeli rempah, atau ada maksud lain di balik percakapan itu? Mela hanya bisa menebak-nebak.
Mela tidak kehabisan akal. Dengan langkah ringan dan senyuman yang ramah, ia menghampiri para militer Belanda tersebut sambil membawa bakul jamunya. Ia menunduk sopan dan mencoba menawarkan dagangannya dengan bahasa halus yang biasa ia gunakan sehari-hari.
"Pakde, menawi kersa, pinarak niki jamune. Sedaya saged ndamel awak waras lan segar," ucap Mela dengan nada penuh harap.
Namun, bukannya membalas, para militer Belanda itu justru berbicara satu sama lain dalam bahasa yang asing di telinga Mela. Ia hanya bisa menebak dari gestur dan tatapan mereka bahwa dirinya sedang dibicarakan.
"Dit meisje begrijpt niet wat we zeggen," ("Gadis ini tidak mengerti apa yang kita bicarakan.")
ujar salah satu dari mereka sambil melirik Mela dengan pandangan meremehkan.
"Ze lijkt gewoon een gewoon meisje," sambung yang lainnya, seraya mengangguk kecil. ( "Sepertinya ia hanya gadis biasa.")
Mela hanya bisa menunggu dengan sabar. Meskipun ia tidak mengerti apa yang mereka katakan, ia tetap tersenyum. Dalam hati ia berpikir, Nanging punapa kulo menika namung bocah biasa, panedha rejeki saking Gusti? Menawi jamu kulo kersa, mboten dados napa-napa.
Namun setelah beberapa saat berlalu tanpa tanggapan, Mela sadar bahwa para militer itu tidak tertarik. Ia menunduk hormat sambil berkata, "Nyuwun sewu, panjenengan mboten kersa. Kulo pamit rumiyin."
Dengan langkah ringan, Mela meninggalkan mereka, kembali menyusuri pasar untuk menjajakan jamunya kepada orang-orang yang membutuhkan.
Ketika Mela pergi, para militer itu saling menatap. Dalam hati, mereka tahu waktu berpura-pura sudah hampir habis. Mereka hanya menunggu aba-aba terakhir sebelum menunjukkan wajah asli mereka kepada penduduk. Bagi mereka, penyerangan hanyalah bagian dari tugas tanpa memikirkan dampak yang akan dirasakan oleh rakyat kecil seperti Mela.
Sebenarnya, para militer Belanda itu sudah merasa lelah menunggu. Mereka ditugaskan untuk berpura-pura ramah di depan penduduk pribumi, agar tidak menimbulkan kecurigaan sebelum rencana besar mereka dijalankan. Namun, bagi mereka, sandiwara ini sudah berlangsung terlalu lama. Salah satu dari mereka berbisik dengan nada penuh kejengkelan.
"Ik ben het zat om hier tijd te verspillen," ujar seorang militer, yang artinya, "Aku sudah bosan membuang waktu di sini."
"Klaar voor de aanval. Geen uitstel meer," sambung yang lain, yang berarti, "Siap untuk menyerang. Tidak ada penundaan lagi."
Mereka menyadari bahwa semakin lama mereka menunggu, semakin besar risiko penduduk menyadari sesuatu. Namun, perintah dari atas mengharuskan mereka tetap tenang dan bertindak seolah-olah tidak ada yang terjadi.
Meskipun beberapa militer Belanda mulai merasa gelisah dengan kepura-puraan yang mereka jalani, ada juga di antara mereka yang justru menikmati suasana di tanah jajahan ini. Mereka merasa senang berada di tengah-tengah rakyat pribumi yang, meski hidup sederhana, sering kali bersikap ramah dan hormat kepada mereka.
Bagi beberapa militer, pasar yang ramai ini adalah tempat yang menarik. Mereka tertawa kecil saat mencoba makanan lokal yang ditawarkan pedagang atau ketika melihat anak-anak pribumi bermain di jalanan. Dalam momen seperti itu, mereka merasa bisa melupakan sejenak tujuan utama mereka berada di sini. Mereka bahkan terkadang membantu rakyat kecil, seperti membantu seorang ibu yang kerepotan membawa barang atau membeli dagangan dari pedagang kecil.
Namun, sifat asli mereka sebagai penjajah tak sepenuhnya hilang. Ada saat-saat di mana ego mereka muncul tanpa disadari. Mereka berbicara dengan nada tinggi, memerintah seenaknya, atau bahkan membuat rakyat kecil takut hanya karena sedikit kesalahan. Bagi mereka, hal itu seperti insting yang sulit dikendalikan, meski sebagian dari mereka berusaha menahan diri.
Di sisi lain, kelompok militer yang tak sabar mulai kehilangan kendali. Mereka merasa bahwa terlalu banyak waktu yang terbuang untuk berpura-pura. Diskusi tentang "menjaga citra baik di hadapan pribumi" dianggap tidak berguna bagi mereka. Mereka ingin segera melaksanakan rencana penyerangan dan menguasai daerah ini dengan cara apa pun.
Ketegangan di antara kelompok militer itu semakin terasa. Sebagian menikmati kehidupan di sini dan merasa bisa memanfaatkan keramahan rakyat untuk kepentingan mereka. Sementara yang lain sudah tidak tahan dengan kepura-puraan, menunggu waktu untuk menunjukkan kekuatan mereka yang sesungguhnya. Bagi rakyat pribumi, konflik batin di antara para penjajah ini tak terlihat jelas. Mereka hanya berusaha menjalani hidup, tak sadar bahwa badai besar tengah mendekat.