Pada abad ke-19, seorang saudagar China yang kaya raya membawa serta istri dan anaknya menetap di Indonesia. Salah satu anak mereka, Jian An, tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan berwibawa. Ketika ia dewasa, orang tuanya menjodohkannya dengan seorang bangsawan Jawa bernama Banyu Janitra.
Pada malam pertama mereka sebagai suami istri, Banyu Janitra ditemukan tewas secara misterius. Banyak yang menduga bahwa Jian Anlah yang membunuhnya, meskipun dia bersikeras tidak bersalah.
Namun, nasib buruk menghampirinya. Jian An tertangkap oleh orang tidak dikenal dan dimasukkan ke dalam sumur tua. berenang di permukaan air sumur yang kini tidak lagi berada di abad ke-19. Ia telah dipindahkan ke kota S, tahun 2024. Dalam kebingungannya, Jian An harus menghadapi dunia yang jauh berbeda dari yang ia kenal, berusaha menemukan jawaban atas misteri kematian suaminya dan mencari cara untuk kembali ke masa lalu yang penuh dengan penyesalan dan rahasia yang belum terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26
Saat jam kerja selesai, Radja dengan senyum ramahnya mendekati Jian An yang sedang membereskan meja kerjanya. "Jian An, bagaimana kalau kita makan di warung tenda dekat sini? Aku tahu tempat yang makanannya enak," ajak Radja.
Jian An menatapnya dengan ragu sejenak. "Apakah itu tidak akan merepotkanmu, Radja? Aku tidak ingin mengganggu waktumu."
Radja tertawa kecil, melambaikan tangan seolah menepis kekhawatiran Jian An. "Tentu tidak. Lagi pula, aku juga lapar. Ayo, anggap saja ini sebagai ucapan terima kasihku karena kau telah memberiku kesempatan untuk bekerja sama dengan galeri ini."
Jian An akhirnya mengangguk, senyum malu-malu tersungging di wajahnya. Mereka berjalan bersama menuju warung tenda yang terletak di sudut jalan, tidak jauh dari galeri. Warung itu sederhana, dengan meja kayu dan lampu neon yang menggantung di atasnya. Suasananya terasa hangat, ramai oleh suara tawa pelanggan lain dan aroma masakan yang menggugah selera.
"Silakan pilih, Jian An," ujar Radja, menyodorkan menu. Jian An memandang menu itu dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, tetapi ia segera menyadari bahwa ia tidak begitu familiar dengan makanan zaman sekarang. Radja yang menyadari kebingungannya segera mengambil inisiatif. "Bagaimana kalau aku pesan untuk kita berdua? Percayalah, kau pasti suka." Jian An mengangguk setuju, merasa nyaman dengan perhatian dan keramahan Radja.
Malam itu terasa sederhana namun hangat bagi Jian An. Seporsi pecel lele yang disajikan di hadapannya cukup untuk membuatnya lupa akan kerisauan yang sering kali menghantuinya. Setelah sekian lama, akhirnya ia bisa merasakan makanan yang membuatnya kenyang dan puas. Lele goreng yang renyah berpadu dengan sambal yang pedas dan sayuran segar yang menyehatkan. Jian An memakannya dengan lahap, menikmati setiap suapan dengan penuh rasa syukur.
Radja yang melihatnya tersenyum senang. "Sepertinya kamu menyukai pecel lele ini, Jian An."
Jian An berhenti sejenak dari makanannya dan menatap Radja. "Aku belum pernah makan yang seperti ini sebelumnya. Rasanya enak sekali. Terima kasih, Radja."
Radja hanya tertawa kecil. "Aku senang kau suka. Terkadang, hal-hal sederhana seperti ini yang bisa membuat hari lebih baik, kan?"
Jian An mengangguk setuju, menyadari betapa makan malam yang sederhana ini membuatnya merasa lebih ringan. Suasana yang nyaman dan penuh kehangatan membuat dia merasa lebih dekat dengan Radja. Sejak mereka bertemu kembali, Jian An merasa ada sesuatu yang berbeda, seolah ada kelegaan dalam dirinya yang semakin terasa. Ia bisa sedikit melupakan beban yang selama ini ia bawa.
Malam itu, mereka berbicara tentang banyak hal tentang masa lalu, tentang pekerjaan, bahkan tentang impian masing-masing. Walaupun suasananya sederhana, namun bagi Jian An, malam itu terasa sangat berarti.
"Mm, boleh aku membungkusnya untuk temanku?" Tanya Jian An kepada Radja.
"Teman?" Radja yang bingung dengan ucapa Jian An.
"Kucing, temanku kucing." Jawabnya sumringah.
Radja terdiam sejenak, sedikit bingung dengan jawaban Jian An. Namun, setelah mendengar penjelasan tentang kucing, dia tertawa kecil, merasa lucu dengan keunikan Jian An. "Oh, jadi kamu punya kucing? Baiklah, kalau begitu, kita bungkuskan makanan ini untuk kucingmu," jawab Radja dengan senyum.
Jian An terlihat senang mendengar persetujuan Radja. Dia langsung meminta bungkus untuk sisa pecel lele yang masih ada di piringnya. Radja memanggil pelayan untuk membungkuskan makanan tersebut.
"Terima kasih, Radja," kata Jian An dengan wajah cerah, merasa bersyukur karena Radja selalu mendukungnya.
"Sama-sama," jawab Radja sambil memandangi Jian An yang tampak begitu antusias. "Aku penasaran, kucingmu itu seperti apa?"
Jian An tertawa kecil, mengingat kucing peliharaannya yang lucu. "Kucingku itu kecil, punya bulu putih dengan sedikit warna hitam di sekitar telinga dan ekor. Dia selalu manja, suka tidur di tempat tidurku."
Radja tersenyum mendengarnya, merasa bahwa meskipun Jian An berada jauh dari rumahnya, dia masih bisa merasa dekat dengan sesuatu yang ia cintai. "Kucing itu pasti beruntung memiliki pemilik sepertimu."
Mereka berdua kembali menikmati suasana malam yang tenang, saling berbicara tentang hal-hal ringan dan menyenangkan, sambil menunggu makanan yang dibungkus untuk kucing Jian An.
***
Sesampainya di depan rumah besar Jian An, Radja mengantarnya hingga masuk ke dalam pagar. Dia berhenti sejenak, memperhatikan rumah yang terlihat megah dan luas. "Rumahmu... sangat besar dan mewah," ucap Radja, masih terkesima.
Jian An tersenyum tipis, tidak merasa perlu menjelaskan banyak. "Ya, ini rumah keluarga," jawabnya dengan nada yang agak datar. "Tapi saya lebih nyaman tinggal di tempat yang sederhana sekarang."
Radja mengangguk pelan, masih merasa bingung. "Kenapa kamu bekerja sebagai asisten Saka, kalau bisa dibilang kamu datang dari keluarga yang mampu?" tanya Radja, tidak bermaksud menyinggung, tapi rasa ingin tahunya muncul begitu saja.
Jian An berhenti sejenak, matanya melirik ke arah rumah besar itu. "Kehidupan kita tidak selalu sesederhana yang terlihat di luar," jawabnya perlahan. "Kadang-kadang, kita harus memilih jalan yang tidak selalu sesuai dengan yang orang lain harapkan."
Radja terdiam, mulai mengerti bahwa ada sesuatu lebih dalam yang tersembunyi di balik kehidupan Jian An. "Aku paham," katanya akhirnya. "Tapi apapun alasanmu, aku harap kamu bahagia."
Jian An tersenyum lagi, meskipun sedikit terpaksa. "Terima kasih, Radja. Aku sangat menghargai itu." Setelah itu, mereka saling berpandangan sejenak, dan Jian An melangkah masuk ke dalam rumah, meninggalkan Radja yang masih terdiam di depan pagar.
Saat Saka baru selesai mandi, dia mendengar suara mobil melaju di luar rumahnya. Suara itu membuatnya berhenti sejenak, mendengarkan dengan penuh perhatian. Dia tahu bahwa Jian An baru saja pergi bersama Radja, tetapi entah kenapa, Saka merasa ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa, hanya menatap ke luar jendela kamar mandi tanpa bisa menghentikan perasaannya.
Beberapa menit kemudian, pintu kamar Saka terbuka, dan Jian An masuk dengan langkah hati-hati, membawa sebungkus pecel lele yang masih terbungkus rapat. Wajahnya tampak sedikit lelah, tapi ada sedikit senyum di bibirnya saat dia mendekat.
"Ini... pecel lele," kata Jian An pelan, meletakkan bungkusan itu di meja samping tempat tidur Saka. Tapi Jian An terpana karena melihat Saka tanpa baju, tubuh atletis dengan perut seperti roti sobek seakan memancarkan aura tampan dan gagah. "Aku membungkusnya untukmu, seperti yang kamu bilang tadi."
Saka terdiam sejenak, menatap Jian An yang berdiri di hadapannya. Ada sesuatu dalam tatapan Jian An yang membuatnya merasa sedikit terkejut, seperti ada harapan yang tersembunyi di balik tindakannya. "Kamu... kenapa tidak makan sendiri?" tanya Saka dengan suara datar, mencoba untuk menutupi perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba muncul.
Jian An hanya tersenyum kecil, tidak menjawab langsung. "Aku sudah makan dengan Radja tadi," jawabnya akhirnya, "Tapi aku tahu kamu pasti lapar, kan?"
Saka mengangguk pelan, kemudian memandang bungkusan pecel lele yang ada di meja. Entah mengapa, gerakan kecil ini dari Jian An membuatnya merasa agak terharu. Meski ada banyak hal yang belum ia pahami tentang wanita ini, dia mulai menyadari bahwa Jian An tidak hanya seseorang yang datang begitu saja ke hidupnya. Dia membawa sesuatu yang lebih dalam, meskipun Saka masih belum sepenuhnya tahu apa itu.
"Terima kasih," ucap Saka singkat, meskipun hati kecilnya berkata lebih banyak daripada kata-kata itu.