Hanya karena ingin membalas budi kepada Abram, lelaki yang telah menolongnya, Gisela memaksa menjadi istri lelaki itu meskipun ia harus mendapat perlakuan kasar dari Abram maupun mertuanya. Ia tetap bersabar.
Waktu terus berlalu, Gisela mengembuskan napas lega saat Abram mengajak tinggal di rumah berbeda dengan mertuanya. Gisela pikir kehidupan mereka akan lebih baik lagi. Namun, ternyata salah. Bak keluar dari kandang macan dan masuk ke kandang singa, Gisela justru harus tinggal seatap dengan kekasih suaminya. Yang membuat Gisela makin terluka adalah Abram yang justru tidur sekamar dengan sang kekasih, bukan dengannya.
Akankah Gisela akan tetap bertahan demi kata balas budi? Atau dia akan menyerah dan lebih memilih pergi? Apalagi ada sosok Dirga, masa lalu Gisela, yang selalu menjaga wanita itu meskipun secara diam-diam.
Simak kisahnya di sini 🤗 jangan lupa selalu dukung karya Othor Kalem Fenomenal ini 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AMM 03
..."Semakin kamu lukai maka aku akan semakin menguatkan hatiku untuk tetap bertahan. Walaupun aku tahu hanya ada dua kemungkinan. Kamu berubah dan mencintaiku atau aku yang menyerah dan memilih mengalah pada perasaanku sendiri." ...
...****************...
Gisela menghela napas panjang setelah sampai di depan pintu gerbang rumah milik orang tuanya. Dia bersyukur jika akhirnya bisa sampai di rumah tersebut meskipun tadi harus memohon-mohon kepada Farah. Gisela tidak tahu apa alasan Farah menahannya karena yang ia tahu, wanita itu sangat membencinya.
Gisela pun melangkah lebar menuju ke pintu utama yang menjulang tinggi. Jika diteliti lebih dalam, rumah milik Gisela setara dengan milik keluarga Abram. Bahkan, papa Gisela juga merupakan salah satu pengusaha yang cukup sukses di Indonesia. Namun, Gisela dan keluarga selalu berusaha terlihat sederhana di depan orang lain. Bukan tanpa alasan, merintis usaha tersebut dari bawah membuat Hendarto—papa Gisela— memiliki sikap yang rendah hati dan itu menurun kepada putra-putrinya.
"Gisel! Ini benar kamu, Sayang?"
Gisela tersenyum saat melihat wanita paruh baya yang saat itu sedang duduk di ruang keluarga, bergegas bangkit dan langsung memeluknya erat. Gisela pun membalas pelukan sang mama tak kalah erat. Baru dua hari berpisah, ternyata Gisela sudah merasakan rindu yang teramat menggebu. Maklum saja, sejak kecil Gisela jarang berpisah dengan orang tuanya.
Setelah kedua perempuan itu saling melepaskan pelukannya, Vera—mamanya Gisela— mengajak putrinya untuk duduk mengobrol. Banyak hal yang dipertanyakan oleh Vera, terutama soal hubungan pengantin baru tersebut. Apakah Abram memperlakukannya dengan baik. Apakah Gisela makan dengan baik, tidur dengan nyenyak. Pertanyaan itulah yang membuat Gisela tak kuasa menahan air mata haru.
Seandainya Mas Abram juga bersikap sebaik ini. Mungkin hidupku akan semakin bahagia.
Gisela kembali menghela napas panjang saat merasakan hatinya sedikit sesak. Apalagi, saat ia harus berbohong di depan mamanya sendiri. Bagaimana ia harus menutupi keburukan suaminya hanya karena tidak ingin orang tuanya khawatir padanya. Selama dirinya masih sanggup maka Gisela akan berusaha bertahan. Walaupun sikap Abram sangat tidak baik kepada Gisela, tetapi wanita itu tetap memuji Abram di depan Vera. Mengatakan jika Abram melimpahinya dengan penuh kasih sayang.
"Mas Abram."
Gisela terkejut saat melihat Abram sudah masuk ke rumah dan langsung bergabung bersama ia dan Vera. Lelaki itu bahkan menyalami Vera penuh dengan kesopanan. Hal yang membuat Gisela makin tersentak adalah bibir Abram yang mengecup keningnya sangat mesra. Sungguh hal yang tidak terduga bagi Gisela.
"Aduh, pengantin baru bikin Mama iri, deh," goda Vera. Gisela tersenyum simpul, sedangkan Abram pun ikut tersenyum. Lelaki itu sungguh terlihat manis dan baik hati di depan Vera. Setidaknya hal itu membuat Gisela sedikit merasa bahagia meskipun ia tahu itu hanyalah pura-pura. Bahkan, ketika Vera menayakan apakah Abram tidak bekerja, lelaki itu mengatakan jika masih ingin berdekatan dengan istrinya, tentu saja dengan nada bicara yang lembut.
Ketika waktu makan siang hampir tiba, Abram mengajak Gisela agar segera pulang. Lelaki itu bahkan merayu Gisela dengan mengatakan akan makan siang romantis di sebuah restoran yang telah dipesan sebelumnya. Gisela tanpa berpikir panjang langsung mengiyakan dan bergegas berpamitan dengan sang mama. Rasanya ia sudah tidak sabar ingin segera berkencan bersama suaminya.
"Memangnya kita mau ke mana, Mas?" tanya Gisela antusias saat mereka sudah berada dalam perjalanan.
"Tentu saja pulang! Memang mau ke mana lagi? Sudah cukup waktuku sia-sia karena menemanimu," sarkas Abram. Lelaki itu berbicara tanpa filter sama sekali. Tidak sedikit pun peka jika ucapannya bisa saja melukai hati Gisela.
Senyuman yang sejak tadi menghiasi kedua sudut bibir Gisela pun perlahan memudar. Raut wajahnya mendadak sendu saat mendengar ucapan Abram yang kembali terasa menyakiti hatinya.
"Mas, kenapa tadi di depan mama kamu terlihat sangat manis dan sekarang kamu begitu cuek padaku. Bahkan, kamu terkesan galak." Gisela berusaha memberanikan diri untuk protes. Namun, ia segera menunduk saat melihat sorot mata Abram yang menajam.
"Bukankah sudah aku katakan kalau di depan orang lain kita harus bersikap seperti pasangan romantis pada umumnya? Sepertinya kamu belum cukup pikun untuk lupa pada ucapanku yang itu," kata Abram. Gisela tidak berani lagi mendebat. Hanya diam dan berperang dengan pikirannya sendiri. Bahkan, Gisela tidak bertanya apa pun kepada Abram. Termasuk ke mana Abram akan pergi setelah mengantarnya pulang.
"Untung Nyonya Farah tidak di rumah sekarang." Gisela mengembuskan napas lega saat masuk rumah tersebut suasana begitu sepi. Ia pun bergegas ke kamar untuk mengistirahatkan tubuhnya yang terasa sangat lelah.
***
"Ya Tuhan, bisakah kamu bekerja dengan baik? Kenapa kamu selalu saja ceroboh!" Bentakan Farah dari ruang tamu terdengar sampai pintu utama. Beberapa pelayan yang berada di sana pun tidak ada yang berani membela karena mereka takut akan dipecat oleh Farah.
"Maafkan saya, Nyonya." Gisela duduk menunduk dan memunguti pecahan vas bunga yang tercecer di lantai.
"Maaf! Maaf! Kamu pikir kata maafmu itu bisa mengembalikan vas yang pecah ini!" bentaknya lagi.
"Ada apa ini, Ma?" tanya Abram yang saat itu baru saja melewati pintu utama.
"Lihatlah istrimu ini! Dia sangat tidak becus!" adu Farah.
Gisela menatap Abram untuk meminta pembelaan dari lelaki itu, tetapi yang ada justru tatapan tak acuh. Abram seolah tidak peduli meskipun Gisela sedang bersimpuh saat ini.
"Nanti biar aku nasehati dia, Ma." Abram pun mengajak Gisela untuk masuk ke kamar tanpa berpamitan kepada Farah. Tidak ingin ada keributan karena ada beberapa pelayan di sana. Bagaimanapun juga, Abram tidak ingin mendapat citra buruk di depan orang lain.
Ketika mereka baru saja masuk kamar, Abram langsung mengunci pintu rapat. Menaruh jas dan tasnya secara sembarang. Gisela hanya diam dan ekor matanya tidak lepas sekalipun dari gerak-gerik suaminya.
"Minum ini yang rutin! Jangan sampai kamu telat meminumnya sekali saja!" Abram menaruh sesuatu di telapak tangan Gisela secara kasar.