Karena latar belakang Shazia, hubungan nya bersama Emran tak direstui oleh orang tua Emran. Tapi adiknya Emran, Shaka, diam-diam jatuh hati pada Shazia.
Suatu hari sebuah fakta terungkap siapa sebenarnya Shazia.
Dengan penyesalan yang amat sangat, orang tua Emran berusaha keras mendekatkan Emran dan Shazia kembali tapi dalam kondisi yang sudah berbeda. Emran sudah menikah dengan wanita pilihan orang tuanya sekaligus teman kerja Shazia. Dan Shaka yang tak pernah pantang menyerah terus berusaha mengambil hati Shazia.
Apakah Shazia akan kembali pada pria yang dicintainya, Emran atau memilih menerima Shaka meski tak cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Annami Shavian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Shazia pergi
"Shazia !!"
Emran teriak panik melihat ceceran darah di lantai. Ia begitu takut jika darah tersebut adalah darah Shazia. Meski belum tahu pasti darah tersebut darah siapa, tapi Emran benar-benar sudah ketakutan duluan.
Ternyata teriakan Emran mengundang perhatian saudara-saudaranya. Mereka lantas berdatangan.
"Ada apa, Emran?" Tanya Hamid, salah satu paman Emran dari pihak ibu.
"Apa kalian melihat Shazia, calon istriku?" Emran menjawabnya dengan kalimat pertanyaan. Ia tak hanya bertanya pada Hamid saja, tapi pada semua orang yang kini menatapnya.
Hamid menggeleng. Begitu pun dengan saudara-saudara nya yang lain. Tapi ada juga beberapa dari mereka yang hanya diam.
"Kami enggak lihat Shazia dari tadi. Paman pikir dia sedang sama kamu di kamar umi." Malik yang menjawab.
Mendengar kata paman nya itu, tubuh Emran gemetar. Apa itu artinya ini benar-benar darah Shazia? dan Shazia mendengar obrolan nya bersama umi lalu menjatuhkan minuman ini.
"Ada apa? ada apa ini ? Kenapa semuanya berkumpul disini? Bukan nya pada cepat sholat dhuhur. Keburu habis nanti waktunya."
Ustad Ramlan tiba-tiba datang dan mengomeli semua orang.
"Iya, mas. Tapi ini Emran lho yang bikin kita menunda sholat." Hamid yang menyahut.
Ramlan langsung melihat pada Emran.
"Ada apa, Emran?"
"Apa Abi melihat Shazia?" Emran balik bertanya dengan penuh harap. Ayahnya adalah orang terakhir yang ia tanyakan. Ia berharap ayah nya tahu dimana keberadaan Shazia.
Kening Ramlan mengernyit bingung.
"Lah, lihat nak Shazia gimana to, Ran. Abi saja baru dari mushola."
Pupus sudah. Tubuh Emran semakin gemetar. Orang yang menjadi satu-satunya harapan pun tak tahu. Semua orang tak ada yang melihat keberadaan Shazia. Lantas kemana Shazia. Apa mungkin dia pulang hujan-hujanan?
"Itu apa yang di lantai, Emran? Kenapa ada gelas pecah dan ada darah juga? darah siapa itu?" Tanya ustad Ramlan begitu tatapan nya terarah pada lantai.
Emran yang pikiran nya tengah kalut pun tak menjawab. Ia hanya menunduk dengan kedua bahu agak bergetar. Sepertinya pria itu menahan tangis.
Semua orang kebingungan termasuk Ramlan. Apa yang sedang terjadi sebenarnya? kenapa Emran mencari-cari nak Shazia? kemana sebenarnya dia.
Tak lama, Iyem melintas sembari membawa pakaian hasil disetrika. Wanita baya itu kebingungan melihat orang-orang pada ngumpul di depan kamar umi Nuria.
"Bi Iyem lihat nak Shazia enggak ya?" Tanya Ramlan begitu melihat wanita baya tersebut.
Bi Iyem menggeleng." Enggak, ya'i. Maaf kalau bibi boleh tau ini ada apa to?"
"Emran lagi mencari Shazia, Bi." Malik yang menjawab.
Bi Iyem manggut-manggut dengan arah tatap pada Emran. Melihat den Emran, ia baru ingat sesuatu.
"Sebelumnya bibi mohon maaf, den Emran."
Emran langsung melihat pada Bi Iyem.
"Tadi sebelum nyetrika, mba Shazia maksa ingin menggantikan bibi bikinin wedang jahe buat umi. Bibi enggak bisa nolak, den. Bibi mohon maaf ya den."
Wedang jahe !! Emran melihat pada lantai. Apa mungkin ini wedang jahe buatan Shazia. Dia ingin memberikan nya pada umi lalu....
"Ya Allah, Shazia ...." Emran mengusap wajahnya kasar, kemudian segera pergi dengan langkah setengah berlari. Ia yakin Shazia pergi setelah mendengar ucapan umi Nuria.
Di balik daun pintu, umi Nuria menguping. Senyumnya terkembang lebar mendengar percakapan orang-orang di luar.
"Jadi, wanita itu mendengar omongan ku dan pergi. Bagus lah. Jadi aku enggak perlu repot-repot lagi memperingatinya untuk menjauhi putera ku. Ck. Jangan bermimpi kamu bisa menikah dengan anak ku. Karena aku enggak akan membiarkan itu terjadi."
Di bawah derasnya air hujan yang tak henti-henti, Shazia melangkah cepat menjauhi rumah ustad Ramlan tanpa mempedulikan luka di kakinya. Luka tergores pecahan gelas. Darah keluar tiada henti sampai membaur dengan air hujan. Rasanya sangat perih sekali, tapi tentu tak se-perih hatinya.
Ucapan ibunda Emran benar-benar melukai perasaan Shazia, dan membuat gadis itu nekad pergi karena tak mampu menahan rasa sedihnya.
Shazia tak akan peduli jika keluarga Emran menganggapnya tak sopan sebab ia pergi tanpa pamit. Shazia pergi tanpa berpamitan pada siapa pun.
Setelah berjalan dengan susah payah, akhirnya ia sampai di gapura. Shazia celingukan mencari kendaraan umum.
"Shazia !!"
Shazia terkejut mendengar seseorang berteriak memanggil namanya. Ia lantas menoleh ke belakang. Terlihat jelas Emran berlari kearah nya.
Pada saat yang sama, sebuah taxi berhenti di depan nya.
Shazia yang kini hatinya tengah dilanda kesedihan dan kekecewaan pun memilih segera menaiki taxi tersebut.
"Cepat jalan, pak."
"Iya, mba."
Taxi itu pun melaju.
Shazia dapat melihat, Emran mengejar taxi yang ia naiki. Ada rasa kasihan sebenarnya. Namun bagaimana lagi. Ia tak ingin menambah luka dihati nya. Ia perlu waktu.
"Maafkan aku, mas. Aku belum siap berbicara dengan mu." Shazia membatin dengan linangan air mata.
"Sampai mati pun, umi enggak akan pernah merestui kamu menikahi anak haram yang lahir dari rahim seorang perempuan pezina, Emran !!!"
Shazia memejamkan mata. Kata-kata jahat Umi Nuria kembali membayangi fikiran nya. Anak haram. Perempuan pezina. Ya Allah. Ibunda Emran tak hanya menghina nya, tapi juga menghina seorang ibu yang amat sangat dicintainya.
Apa yang Shazia takutkan kini telah terjadi jika berhubungan dengan pria sesempurna Emran. Pria tampan dan juga berasal dari keluarga terhormat.
Emran itu bisa dikatakan cinta pertama Shazia. Shazia baru merasakan yang namanya jatuh cinta ya saat bertemu dengan Emran secara tak sengaja.
Emran yang karismatik, bersikap sopan, dan bertutur kata lembut itu mampu membuat seorang Shazia yang dingin pada laki-laki jatuh cinta dalam hitungan minggu saja.
Sebelumnya Shazia tak pernah menyukai siapapun dan selalu menjaga perasaan nya jika didekati seseorang.
Bukan tanpa alasan. Latar belakang lah yang membuatnya menutup diri maupun menutup hati. Ia takut terluka. Takut keluarganya tak bisa menerima kekurangan nya.
Tapi saat Shazia mengenal Emran, pria itu seolah meyakinkan padanya jika ia pantas jatuh cinta dan pantas dicintai. Emran juga meyakinkan padanya jika keluarganya akan menerima kekurangan nya, karena orang tuanya merupakan orang-orang yang memiliki akidah dan akhlak yang baik.
Tapi kini faktanya, ibunda Emran menolaknya mentah-mentah. Apakah hubungan yang baru terjalin seumur jagung ini harus diakhiri saja?
"Maaf, mba. Kita mau kemana ya?"
Pertanyaan sopir taxi mengejutkan Shazia dari lamunan nya.
Shazia lantas mengusap wajah dan beristigfar. Ia mikir sejenak. Kemana ia harus pergi? Tak mungkin kan pulang dalam keadaan basah kuyup. Shazia khawatir sang ibu mencecar nya nanti.
"Tolong antarkan saya ke jalan jati beringin saja, pak."
Shazia tahu kemana ia harus datang jika dalam keadaan suasana hati yang sedang tak baik-baik saja.