Kesempatan kembali ke masa lalu membuat Reina ingin mengubah masa depannya yang menyedihkan.
Banyak hal baru yang berubah, hingga membuatnya merasakan hal tak terduga.
Mampukah Reina lari dari kematiannya lagi atau takdir menyedihkan itu tetap akan terjadi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terpupuk sejak dini
Edwin memerhatikan Reina dari kaca spion. Melihat sang kekasih beberapa kali tersenyum seorang diri membuatnya gundah.
Apa yang membuatmu senang. Apa ada seseorang— Edwin tercekat, dengan keras dia mengelak memikirkan hal itu denga mencengkeram kemudi dengan keras.
Elyana yang mendengar Edwin mendengus lantas menoleh.
Dalam hati dia mengingat ucapan-ucapannya apa yang mungkin menyinggung lelaki itu.
Sejak tadi, memang hanya Elyana yang berbicara, dia menceritakan hal remeh temeh tentang kehidupannya yang menyedihkan dulu, seolah dengan menceritakan hal itu mungkin bisa meluluhkan hati Edwin.
Mengingat semua detail ceritanya, Elyana merasa tak ada kalimat yang menyinggung pujaannya itu.
"Ka," Elyana menyentuh lengan Edwin yang mencengkram kemudi mobil dengan kencang.
Edwin menoleh ke arahnya dengan pandangan linglung.
"Ada apa?" tanyanya tak menutupi kebingungannya.
"Kakak kenapa? Apa ada ceritaku tadi yang menyinggung kakak? Aku hanya menceritakan betapa senangnya aku bisa menghadari pesta ulang tahun papahnya Kakak, aku belum pernah datang ke pesta-pesta seperti itu dulu—"
"Cerita? Memang kamu cerita apa?"
Reina yang di belakang sana, bahkan harus menutup mulutnya untuk menahan tawanya. Ternyata sejak tadi Edwin tak mendengarkan kisah menyedihkan gadis itu.
Meski berusaha menahan tawanya, tetap saja gerakannya membuat dua orang di depan sana menoleh.
Edwin dengan dahi mengernyit makin bingung, sedangkan Elyana, wajah gadis itu sudah merah padam karena murka.
Elyana tahu jika Reina pasti tengah mengejeknya karena dirinya yang diabaikan oleh Edwin. Dia mengepalkan tangan menahan kesal.
Amarahnya tak terbendung lagi. Bahkan dia ingin sekali merangsek ke belakang dan mencakar wajah kakak tirinya itu.
Saking marahnya, air mata Elyana luruh seketika. Dia seperti anak kecil yang menangis karena amarahnya tak bisa diluapkan.
Reina memang menyadari jika di masa ini, kelicikan Elyana masih dibatas seperti sikap ingin merasa hebat dan ingin merendahkan dirinya.
Namun percayalah, di kemudian hari, saat dirinya bertambah usia, kelicikannya akan tambah mengerikan. Dia mampu menjadi seorang yang padahal tersangka tapi seolah-olah menjadi korban dan membuat orang percaya dengan hal itu.
Mengerikan. Reina teringat tatapan angkuhnya kala dia memikirkan kehidupan masa depannya yang kelam.
Di mana dengan wajah malaikatnya, dia membuat Edwin membuangnya dan calon anak mereka.
Reina terdiam, dia menyandarkan punggungnya menahan sesak di dada. Sungguh Reina tak akan mau mengalami hal itu lagi.
Elyana masih terus terisak dan Edwin sibuk menenangkan gadis itu hingga harus menepikan mobilnya.
"Rei ada apa ini?" tiba-tiba Edwin bertanya padanya untuk sesuatu yang Reina sendiri tidak tahu.
Dia hanya tahu Elyana menangis karena kesal. Lalu bagaimana dia harus menjelaskannya pada lelaki itu.
"Kenapa kamu tanya sama aku? Aku juga ngga tahu apa-apa 'kan?"
"Apa kamu masih mau menangis? Kamu ngga sadar kalau riasanmu itu luntur? Kamu mau mempermalukan kelaurga kita dengan penampilanmu itu?" cecar Reina yang seketika membuat tangis Elyana berhenti.
Gadis itu menarik kaca spion ke arahnya dan terbelalak saat menyadari riasannya sudah berantakan.
Tangisnya kembali pecah dan kali ini semakin kencang. Reina bahkan harus menutup telinganya yang berdengung.
Edwin menatap kesal pada sang kekasih. Bukannya membantu menenangkan Elyana, gadis itu justru menyiram bensin membuat bara semakin membesar.
"Kakak, gimana ini, aku ngga cantik. Aku malu, gimana ini ka?" rengek Elyana.
"Kalau kamu masih nangis, mata kamu malah makin bengkak!" seru Reina kesal.
Elyana menghentikan tangisnya, tapi gadis itu masih saja terisak.
"Win, apa kita ngga akan terlambat? Sebaiknya aku ke rumahmu dulu dengan taksi. Aku ngga mau orang tuamu beranggapan buruk tentang aku dan juga keluargaku pastinya," putus Reina jengah.
Ia yakin adik tirinya pasti akan kembali merengek supaya bisa diberikan tambahan waktu untuk merias diri. Reina tak mau menunggu lagi.
Bukan karena tak sabar ingin datang ke pesta ayah Edwin, tapi karena ia ingin segera mengakhiri drama ini.
"Apa? Enggak! Aku izin sama mamah untuk jemput kamu. Kita berangkat sekarang—"
"Tapi ka? Riasan aku?" sela Elyana dengan wajah panik, dia tak mungkin menghadiri acara besar yang diselenggarakan orang tua Edwin dengan penampilan seperti itu.
"Kenapa kamu harus menangis? Aku sedari tadi bingung apa yang sebenarnya kamu tangisi! Udah tahu kalau kita ada acara penting, kenapa kamu malah melakukan hal ke kanak-kanakan kaya gini!"
Edwin yang perasaannya memang sedang buruk karena hubungannya dengan Reina yang tengah renggang entah karena apa, akhirnya meluapkan amarahnya pada Elyana.
Mata Elyana kembali berkaca-kaca, setelah bergabung dengan keluarga Reina sejak setahun lalu, dia selalu di perlakukan seperti seorang putri kerajaan.
Dia yang dulu memang terbiasa dengan bentakan dan makian dari orang-orang di sekitarnya, tapi setelah sang ibu berkata jika hidup mereka akan berubah, maka Elyana di ajarkan untuk selalu menegakkan bahunya dan tak boleh membiarkan orang lain merendahkannya lagi, bahkan dengan bentakan sekalipun.
Kehidupannya dulu juga sangat mengenaskan. Lahir dari hubungan tak jelas ibunya dengan seorang lelaki yang tak mau mengakuinya, membuat dirinya dicap sebagai anak haram.
Entah apa yang ibunya lakukan pada ayah Reina hingga membuat lelaki itu mau meminang sang ibu dan membawa mereka kekehidupan layak seperti sekarang.
Ia tak peduli dan memilih tutup mata. Setidaknya dia merasa jika dia pun berhak menikmati semua kemewahan yang ayah Reina miliki.
Namun bukannya bersyukur karena derajatnya telah di angkat oleh ayah Reina. Ia dan ibunya justru berusaha menyingkirkan Reina dan siapa pun yang menghalangi mereka menikmati kemewahan ini.
Ia dididik sang ibu untuk bisa menggait lelaki kaya. Jangan sampai mereka merasakan lagi tersiksanya kehidupan miskin masa lalu.
"Tak bisakah kakak membiarkan aku berias?"
"Kamu bisa berias sambil jalan. Kita ngga bisa menunggu lagi, acara udah mau mulai, kalau kita terlambat tentu papahku akan kecewa dan marah besar!"
"Baiklah," pasrah Elyana.
Edwin kembali melajukan kendaraannya dengan Elyana mengeluarkan beberapa alat rias dari tasnya.
Tas pesta yang tak terlalu besar hanya bisa menampung lipstik dan juga bedak saja. Sejak tadi Reina memperhatikan gadis itu dari kaca spion yang masih mengarah padanya.
Beberapa kali gadis itu mencebik, seakan kesal ia tak membawa peralatan lain untuk menunjang riasannya.
Bahkan kemampuan merias Elyana di dapatkan khusus dari pendidikan. Meike memasukkan anaknya untuk belajar menghias diri meski kerap kali ada acara, keduanya tetap memakai jasa rias profesional dengan harga luar biasa mahal.
Reina hanya bisa menghela napas, selain kursus merias, mengemudi, masih banyak lagi kursus yang Elyana jalanin yang anehnya tak ada satupun kursus atau les untuk pelajaran sekolahnya.
Reina jelas tahu bagimana kepintaran Elyana, tapi ibunya malah tak memberikan tambahan pendidikan untuk menunjang kecerdasanya.
Justru yang Reina tebak, semuanya tentang fisik Elyana, seolah gadis itu disiapkan hanya untuk memikat dengan tubuhnya.
Elyana yang tak terlalu pandai akhirnya menindas dirinya di sekolah.
Seolah semua yang ada didirinya sempurna. Dari isi kepala hingga fisiknya. Namun hanya Reina yang tahu bahwa semua itu palsu.
"Gimana ka? Aku tetap cantikkan?" tanya Elyana memastikan penampilannya.
Tak ada yang bisa ia lakukan, kenapa juga dirinya harus menangis tadi, membuat matanya bengkak.
Meski tak secantik riasan awal, Edwin terpaksa mengangguk dengan seulas senyum tipis untuk menenangkan gadis itu.
Tak ada waktu untuk berbicara jujur, lagi pula bintang tamu di acara sang ayah adalah Reina yang akan ia kenalkan sebagai calon pendamping masa depannya.
Elyana tersenyum senang, Reina masih melihat ada kepolosan di mata gadis itu.
Andai Elyana tak bersikap keji seperti ibunya, mungkin saja mereka bisa berteman akrab dan menjalin hubungan seperti layaknya dua saudari.
Tidak! Reina dengan keras menolak pemikirannya sendiri. Watak tak akan mungkin bisa diubah, kedengkian dan sikap tamak itu sudah di miliki Elyana sejak kecil, terlihat dari mana di kehidupan masa depannya ia tak pernah puas dengan hidupnya.
Memiliki suami kaya raya tak membuatnya berhenti berhubungan dengan Edwin. Jika hanya ingin kaya dan hidup mewah, jelas Elyana akan meninggalkan Edwin dan mungkin hidupnya dan Edwin tak akan seburuk itu.
Tapi ternyata setelah menikahi lelaki kaya raya, gadis itu tetap saja ingin memiliki Edwin juga.
.
.
.
Lanjut