Bagaimana perasaanmu jika jadi aku? Menjadi istri pegawai kantoran di sudut kota kecil, dengan penghasilan yang lumayan, namun kamu hanya di beri uang lima puluh ribu untuk satu minggu. Dengan kebutuhan dapur yang serba mahal dan tiga orang anak yang masih kecil.
Itulah yang aku jalani kini. Aku tak pernah protes apalagi meminta hal lebih dari suamiku. Aku menerima keadaan ini dengan hati yang lapang. Namun, semua berubah ketika aku menemukan sebuah benda yang entah milik siapa, tapi benda itu terdapat di tas kerja suamiku.
Benda itulah yang membuat hubungan rumah tangga kami tak sehat seperti dulu.
Mampukah aku bertahan dengan suamiku ketika keretakan di rumah tangga kami mulai nampak nyata?
Jika aku pergi, bisakah aku menghidupi ke tiga anakku?
Ikuti perjalanan rumah tangga ku di sini. .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Ibu Mertua Menyebalkan
Aku mengerjakan pekerjaan rumah dengan berpikir bagaimana caraku untuk mendapatkan penghasilan lebih. Kebutuhan semakin mahal, di tambah lagi Alif sudah sekolah, pasti akan perlu banyak biaya. Aku tidak bisa mengandalkan uang dari mas Anang dan juga uang dari jualan ku saja. Aku khawatir jika suatu saat nanti ada kebutuhan mendesak dan aku tak ada tabungan. Hutang adalah bukan pilihan terbaik, karena pasti akan berujung pada jatah bulanan ku yang berkurang.
"Yu." Di saat aku sedang sibuk dengan tumpukan pakaian yang belum tersetrika aku mendengar ibu mertua ku yang berteriak dari teras.
Sudah menjadi kebiasaannya berteriak memanggil namaku. Dan sudah dipastikan beliau ke rumah ku hanya untuk meminta sesuatu.
Aku terus melanjutkan kegiatan ku tanpa menoleh apa lagi menjawab teriakan beliau.
"Ibu minta nasi ya buat makan Fadil. Beras ibu habis, tapi tadi udah nitip beras ke suami kamu kok." Seperti biasa, ibu meminta izin terlebih dahulu namun, tangannya terus bergerak mengambil nasi dan piring meskipun permintaannya itu belum aku iyakan.
"Nggak sekalian lauknya bu?" Aku sengaja menawari bermaksud untuk menyindir. Tapi sepertinya sindiran ku mental di telinga beliau.
"Emang kamu masak apa?" tanya ibu dengan membuka tutup meja makan ku.
Aku hanya menoleh tanpa menjawab. Entah kenapa ibu mertua ku ini seakan mukanya sudah sangat tebal. Beliau sama sekali tak punya malu, sering meminta apa yang aku punya namun, jika aku butuh sesuatu beliau seakan tutup mata, mulut dan telinga. Jangankan aku, anakku saja tak pernah beliau sentuh. Dari anakku Alif hingga Anin, beliau sama sekali tak pernah menggendong mereka.
"Kamu nggak bosen apa tiap hari masak sayur? Sekali kali masak ayam nggak apa-apa kali, Yu. Buat nyenengin anak sama suami kamu."
"Ibu lupa atau perlu aku ingatkan? Bagaimana bisa aku masak ayam atau masak enak kalau pendapatan mas Anang saja harus dibagi juga sama ibu. Memang ibu bisa kalau dikasih uang dua ratus ribu per bulannya masak ayam? Kalau buat aku yang penting anak-anak bisa makan bu, suami aku juga nggak pernah protes aku sering masak sayur yang sederhana. Yang aku masak bukan sampah, ada gizinya kok bu. Mungkin mas Anang juga sadar diri nggak minta makan yang enak-enak karena ngasih uang yang nggak seberapa." Aku menjawab dengan nada yang halus dan lembut.
Seperti yang sudah aku bilang di awal. Aku selalu menghormati suami dan juga ibu mertuaku. Biar bagaimana pun mereka adalah orang yang bersedia menanggung hidupku. Sekali lagi aku tekankan, aku tidak bermaksud kurang ajar dengan beliau. Aku hanya manusia biasa yang punya titik dimana aku merasa lelah dan bosan dengan tingkah ibu.
Aku tidak peduli dengan apa yang di pikirkan oleh ibu mertua ku. Jujur saja aku sudah muak dengan semua ini. Selalu saja mengalah dan selalu dipersalahkan. Aku menghormati beliau bukan berarti aku harus terus mengalah dan diam. Sudah cukup selama hampir tujuh tahun pernikahan aku diinjak seperti ini. Aku perlu menyuarakan apa yang menjadi beban hidup dan hatiku. Kalau tidak begitu aku bisa menjadi daftar orang baru yang mengisi ranjang rumah sakit jiwa.
"Ya ampun Yu, harusnya Kamu bersyukur punya suami seperti Anang. Dia tidak pernah nuntut kamu ini itu. Lihat penampilan kamu sama ibu-ibu yang lain. Masih untung kamu dapat anak ibu. Bukannya kamu selalu mengeluh dengan apa yang diberi Anang." Entah aku yang salah dengar atau mulut ibu mertua ku tercinta yang memang harus dipukul dengan parutan kelapa.
"Aku sangat bersyukur bu punya mas Anang, kalau aku nggak besyukur kan aku nggak mungkin masih ada di sini. Ibu ini ada-ada aja. Dan untuk penampilan aku yang kalah jauh sama tetangga kita, ya itu jelas lah bu. Ibu-ibu muda lainnya diberi uang lebih suaminya untuk merawat diri, ke salon, liburan, me time. Mereka juga nggak ngurus anak sendirian. Ibu-ibu mereka bantu bu, entah hanya menggendong ketika ibunya sedang dandan atau sedang belanja. Apakah hidup aku seperti itu bu? Aku juga bisa seperti mereka kalau aku diberi materi, waktu dan wadah." Aku menjawab dengan santai seraya terus menggosok pakaian. Sama sekali aku tak mendongak menatap ibu. Mungkin saja sekarang wajahnya sangat kesal dan bisa jadi memerah menahan amarah.
"Semakin ke sini kamu kalau di beri tahu semakin ngelunjak dan melawan." Dari jawaban beliau bisa aku simpulkan bahwa beliau kesal. Entah karena sudah kehabisan akal untuk mencela ku atau memang sudah sangat kesal, beliau langsung pulang tanpa pamit.
Selesai dengan tumpukan baju, aku segera membersihkan rumah dan mainan anakku. Sebentar lagi mas Anang pasti akan pulang dan anak-anak masih main dengan teman-temannya. Ah biarkan saja mereka mandi sedikit terlambat, toh tidak setiap hari.
Selesai dengan rumah dan cucian piring. Aku mendudukkan diriku di lantai dengan selonjoran. Rasa lelah yang setiap hari aku rasakan, nyatanya tak mampu membuat aku terbiasa dengan keletihan ini.
Masih jam setengah empat. Aku meraih ponsel dan membuka sosial media ku. Aplikasi biru yang penuh dengan postingan teman-temanku yang jujur saja membuat aku iri, kenapa nasibku tak seberuntung mereka.
Astaghfirullah, kenapa aku jadi membandingkan hidupku dengan hidup mereka? Yang aku tahu hanya kebahagiaan mereka di sosial media yang entah itu palsu atau tidak. Aku tak tahu kehidupan sehari-hari mereka bagaimana.
Aku terus menggulir layar ke bawah, hingga aku temukan postingan Risa. Tetangga baru yang baru saja tadi pagi aku bertemu dengannya. Hal itu aku tahu dari foto profilnya yang bergambar dirinya dan juga anak suaminya.
Melihat postingan yang baru saja aku lihat, dia berjualan produk-produk yang di kenal banyak orang. Tak mau buang waktu, aku segera meng klik profil Risa untuk mengetahui apa saja yang dia jual.
Aku sedang mencari uang tambahan untuk sehari-hari, syukur-syukur jika aku bisa menabung. Dan detik ini juga Allah mengirimkan jawaban atas apa yang aku inginkan.
Berdasarkan profil Risa di aplikasi biru, dia tak hanya berjualan satu produk saja. Tapi banyak sekali, dan semua barang yang dia jual barang bermerk yang di kenal banyak orang dari kalangan manapun.
Tidak ada yang tidak kenal dengan barang tuppercare, mis glowing, shoppa, dan juga alat peralatan dapur yang bermerk bolda. Dari komentar yang aku lihat pun banyak sekali yang berminat dan berniat membeli produk-produk yang di pamerkan Risa. Jika aku melihat daftar harganya pun, punya Risa jauh lebih murah.
Melihat hal itu aku berniat untuk jadi membernya, dengan harapan aku bisa memperbaiki apa yang tidak bisa diperbaiki suami ku. Aku bukan merendahkan, menghina atau apapun, aku bicara realita. Kenyataan yang akun hadapi tidaklah mudah. Sudah hampir tujuh tahun aku diam, diam dengan keadaan tapi tidak ada yang mengerti apa yang aku rasakan.
Aku sudah memikirkan hal ini, jika aku berhasil menjadi member Risa, tidak ada yang boleh tahu jika aku mempunyai kerjaan sampingan selain berdagang sosis goreng. Jika ada yang tahu maka aku akan jadi mesin ATM untuk keluarga suamiku.
Setelah beristirahat cukup lama dan menghilangkan sedikit letih di tubuh ku, aku bangkit dan menjemput ketiga anakku yang sedang bermain di rumah sebelah. Entah kenapa hatiku sedikit lega, laksana seluruh bebanku terangkat. Padahal, aku belum melakukan apapun. Aku hanya ada niatan untuk memulai merubah hidupku.
ceritanya sperti di dunianya nyata.