Iva merupakan anak dari pengusaha yang kaya raya. Dia justru rela hidup susah demi bisa menikah dengan lelaki yang di cintainya. Bahkan menyembunyikan identitasnya sebagai anak dari turunan terkaya di kota sebelah.
Pengorbanannya sia-sia karena ia di perlakukan buruk bukan hanya oleh suami tapi juga oleh ibu mertuanya.
Di jadikan sebagai asisten rumah tangga bahkan suami selingkuh di depan mata.
Iva tidak terima dan ia membuka identitas aslinya di depan orang-orang yang menyakitinya untuk balas dendam.
Lantas bagaimana selanjutnya?
Yuk simak kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nonny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 17
"Nanti aku akan mencari surat pemberian Almarhum Kakek sepulang kerja. Semoga saja surat itu ketemu supaya kita bisa membacanya bersama-sama sesuai dengan permintaan terakhir Kakek. Bagaimana pun aku tidak akan mengecewakan permintaan terakhir Kakek. Tapi jangan harap aku memberikan tugasku sebagai seorang istri karena...
"Hust, sudah nggak usah di lanjutkan lagi! Aku tidak mempermasalahkan hal itu. Aku juga tahu jika pernikahan kita terhitung belum sah karena kamu masih dalam masa Iddah. Tapi setelah masa Iddahmu selesai, jangan harap bisa kabur lagi seperti dulu. Kali ini aku tidak akan melepaskanmu, Iva. Mau tidak mau kamu harus mau untuk menikah secara resmi denganku loh ya. Untuk saat ini aku juga belum sepenuhnya bertugas sebagai seorang suami karena aku harus stand by di rumah Mamah. Aku juga belum menceritakan tentang kita ke Mamah karena waktunya yang belum tepat hingga masa Iddahmu selesai," ucap Ben menyela perkataan Iva sembari reflek jari telunjuk di tempelkan ke bibir Iva.
Sejenak Ben menyadarinya dan segera menyingkirkan jari telunjuknya yang saat ini menempel di bibir Iva. "Maaf Iva, aku reflek."
Wajah Ben terlihat pias dan pipinya bahkan sempat merona merah. Tapi tidak dengan Iva, justru ia terus menatap heran ke arah Ben seolah sedang mencari sesuatu yang ada di pelupuk mata Ben. "Siapa sebenarnya pemuda yang ada hadapanku ini ya?" batinnya mulai gelisah.
Walaupun Iva tidak menyukai pernikahan kilat tersebut, ia masih punya hati nurani sehingga ia tetap melayani Ben meski hanya di meja makan untuk menyiapkan sarapan. Iva juga penasaran dengan kepribadian Ben karena sang Kakek begitu percaya memilih lelaki itu sebagai pasangan hidupnya.
Iva dan Ben berangkat ke kantor bersamaan tapi dengan menggunakan mobil masing-masing dan arah tujuan mereka berlawanan. Dalam perjalanan menuju ke kantor, Iva terus saja melamun.
"Aku benci sama Ben, tapi kok malah wajahnya terus saja berputar-putar di depan mataku ya? Bahkan otakku ini tidak bisa lepas darinya. Apakah memang sebelumnya aku pernah bertemu dengannya atau bahkan dekat dengannya? Setiap aku mencoba mengingatnya, kepalaku tidak kuat dan rasanya sakit sekali. Apa aku tanyakan saja ke Kak Cakra atau ke Kak Aditya ya? Mungkin salah satu diantara mereka tahu tentang Ben."
Iva memutar balik arah laju mobilnya menuju ke kantor Cakra yang letaknya cukup jauh karena beda kota harus menempuh perjalanan satu hingga satu setengah jam perjalanan.
"Halo pengantin baru? Bagaimana dengan...
"Diam kamu Kak! Nggak usah usil pagi-pagi begini. Aku jauh-jauh datang bukannya di sambut dengan baik justru di sambut dengan candaan. Aku tahu apa yang ingin kamu katakan Kak. Asal Kakak tahu, aku belum ikhlas menerima pernikahan ini. Kak, aku datang kemari karena ada yang ingin aku tanyakan padamu. Apakah kamu tahu tentang Ben? Kenapa kok kadang aku merasa tidak asing dengannya? Apakah aku sudah pernah mengenalnya sebelumya?" tatap penasaran Iva begitu intens.
Sejenak Cakra terdiam, ia pun mengajak Iva untuk duduk supaya lebih nyaman untuk mengobrol.
"Duduk, ada sedikit yang ingin Kakak ceritakan! Karena pada masa terakhir Kakek, sebelum dia bertemu denganmu sempat berkata sedikit di depanku dan Aditya. Dimana kamu dan Ben memang pernah bertemu sebelumnya. Kata Kakek, dulu kamu begitu akrab dengan pemuda itu. Hanya itu saja sih. Hem bukannya Kakek memberikan sebuah surat. Mungkin saja surat itu berisi tentang masa lalumu bersama dengan Ben, atau seputar kenangan kalian. Kakak yakin kamu tidak ingat padanya karena dulu kamu kan sempat alami kecelakaan tragis yang menyebabkan sebagian memory hilang."
Iva terperangah mendengar cerita dari Cakra. "Kak, terima kasih ya. Memang kadang aku merasa tidak asing dengan sosok Ben. Tapi setiap aku mencoba untuk mengingatnya, kepalaku sakit banget. Kak, aku pamit pulang ya? Untuk mencari surat itu karena aku lupa menaruhnya dimana?"
Iva berlalu pergi begitu saja padahal Cakra belum membalas perkataannya Iva sudah kabur masuk ke mobil begitu cepatnya. "Hati-hati, nggak usah ngebut takut kamu kecelakaan lagi."
Teriak Cakra memberikan peringatan kepada Iva.
Sementara di rumah Iva, asisten rumah tangganya sedang membersihkan kamar Iva. Ya setiap pagi jika Iva sudah berangkat ke kantor, pasti Mbak Ika lekas membersihkan kamar majikannya itu seperti arahan Iva. Iva sudah pasang CCTV di dalam kamar itu sehingga ia tidak khawatir akan apapun juga. Ia juga yakin sekali jika Mbak Ika, orang yang sangat jujur. Ia memasang CCTV di setiap sudut ruangan hanya untuk berjaga-jaga dari hal buruk.
Selagi Mbak Ika menyapu lantai kamar Iva dan merogoh kolong ranjang dengan sapu, ia menemukan sebuah amplop putih yang masih tertutup rapi. Ia raih amplop tersebut dan membolak balikannya sembari kedua alisnya mengerut. "Surat apa ya? Ini masih terbungkus rapi mungkin masih terpakai oleh Non Iva. Tapi kok ada di kolong ranjang ya? Jika sengaja dibuang nggak mungkin karena Non Iva, orangnya bersihan banget nggak mungkin buang sampah sembarangan. Bisa saja amplop ini terjatuh. Tapi...ah entahlah lanjut bersihin kamar saja karena masih banyak aktifitas lainnya yang sudah menunggu."
Satu jam kemudian...
Iva muncul dan ia langsung masuk ke kamar mengecek semua sudut yang ada di dalam ruangan tersebut untuk mencari amplop pemberian Almarhum Kakek. Tapi pencariannya tak kunjung hasil.
"Oh ya, kenapa aku nggak tanya saja ke Mbak Ika ya? Kan setiap pagi, ia yang bersihkan kamarku. Mungkin saja amplop itu terjatuh dan ia yang menemukannya."
Iva bergegas ke dapur untuk mencari keberadaan Mbak Ika yang memang saat ini sedang sibuk untuk membersihkan
dapur.
"Mbak Ika, bisa minta waktunya sebentar saja. Mbak sudah bersihkan kamar saya belum?" tanya Iva dengan tatapan menyelidik ke arah Ika.
"Sudah kok Non Iva. Memangnya ada apa ya?" tanyanya penasaran
Iva tidak ingin berlama-lama karena ia harus ke kantor apalagi ia sudah terlambat beberapa jam hanya untuk ke rumah Cakra. "Mbak nemu amplop putih yang masih tertutup rapi nggak?"
Sejenak Mbak Ika terdiam, ia hanya bisa bergumam dalam hati. "Nah kan, seperti apa yang aku pikirkan?"
"Mbak Ika, kok diam? Jangan buat aku menunggu terlalu lama karena aku masih banyak urusan kantor. Tolong jangan menyita waktu, katakan dimana suratnya?" tanya Iva sudah tidak sabar lagi untuk membaca surat pemberian Almarhum Kakek.
Mbak Ika kini tergagap, ia bingung harus bilang apa pada Iva. Dengan berusaha untuk tetap tenang, Mbak Ika mulai membuka mulutnya. "Anu Non, itu Non. saya ....
gak mau orang jahat yang datang