HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN, PASTIKAN UDAH PUNYA KTP YA BUND😙
Bosan dengan pertanyaan "Kapan nikah?" dan tuntutan keluarga perihal pasangan hidup lantaran usianya kian dewasa, Kanaya rela membayar seorang pria untuk dikenalkan sebagai kekasihnya di hari perkawinan Khaira, sang adik. Salahnya, Kanaya sebodoh itu dan tidak mencaritahu lebih dulu siapa pria yang ia sewa. Terjebak dalam permainan yang ia ciptakan sendiri, hancur dan justru terikat salam hal yang sejak dahulu ia hindari.
"Lupakan, tidak akan terjadi apa-apa ... toh kita cuma melakukannya sekali bukan?" Sorot tajam menatap getir pria yang kini duduk di tepi ranjang.
"Baiklah jika itu maumu, anggap saja ini bagian dari pekerjaanku ... tapi perlu kau ingat, Naya, jika sampai kau hamil bisa dipastikan itu anakku." Senyum tipis itu terbit, seakan tak ada beban dan hal segenting itu bukan masalah.
Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3
“Sssshhh, ah kepalaku.”
Pagi-pagi sudah merintih, Kanaya membuka matanya pelan-pelan. Berusaha mengenali dimana dirinya kini berada. Tubuhnya kenapa selemas ini, rasanya tulang Kanaya tercabut semua. Belum menguasai keadaan, Kanaya terdiam sejenak begitu sadar ini bukan kamarnya. Melainkan …
“Hotel? Tunggu … kenap-“
“Sudah bangun?”
Suara berat itu menyapa, Kanaya menatap ke arah suara dan wanita itu menelan salivanya pahit kala menyadari pria dengan kemeja putih itu menghampirinya dari arah kamar mandi. Makin panik Kanaya kala pemilik senyum manis itu justru duduk di tepian ranjang. Secepat mungkin Kanaya bersingut hingga ujung ranjang dan menarik selimut hingga leher.
“Menggemaskan sekali, kau bisa menatapku begitu setelah membuatku lelah tadi malam?” tanyanya sembari tertawa sumbang dengan gelagat yang bisa dipastikan pria cabul, pikir Kanaya.
“M-maksudmu apa? Kenapa bi-bisa kau masih di sini? Bukankah seharusnya tadi malam tugasmu sudah selesai?” tanya Kanaya bingung, jujur saja kepalanya masih terasa sedikit sakit, dan pria ini mengatakan hal konyol yang justru membuat Kanaya mual seketika.
“Ah nampaknya kau benar-benar mabuk rupanya, sayang sekali … ternyata hanya aku yang akan mengingatnya.” Sumpah, senyum tipis setipis kumisnya itu kenapa membuat Kanaya bergidik ngeri, dia benar-benar Ibra yang kemarin bukan? batin Kanaya heran.
“APA MAKSUDMU?!!” sentak Kanaya panik, menyadari tubuhnya persis bayi baru lahir saja dia sudah sepanik itu, belum lagi senyum tipis Ibra yang kini membuatnya takut.
“Aww seram,” ejeknya memasang wajah takut namun itu tidak lucu sama sekali bagi Kanaya, wanita itu sebal bukan main begitu bayangan hal-hal yang terjadi tadi malam mulai menghantui pikirannya.
“T-tunggu … k-kita hanya tidur kan? Kau tidak melakukan apapun terhadapku … iya, Kan?” Kanaya memastikan walau sejak tadi jantungnya seakan runtuh berhamburan.
“Hm menurutmu? Penampilanmu begitu … lehermu, dadamu dan-“
“STOP!! Berhenti membuatku semakin gila,” titah Kanaya berusaha tegar padahal jiwanya luar biasa hancur.
Bagaimana nantinya, bisa jadi dia jadi bulan-bulanan kakaknya jika sampai hal sehina ini sampai ke telinga mereka. Sejuta kali, Kanaya kembali menyesali keputusannya untuk menyewa seorang pria hanya demi menutup mulut pihak keluarganya sementara.
Ibra tak berkutik, dia menatap datar Kanaya yang sedang berusaha menguasai dirinya. Tak bisa dipungkiri Kanaya sesedih itu karena pada kenyataannya, wanita itu tak bisa menutupi air matanya di depan Ibra. Dia menangis, namun sepertinya berusaha sekuat mungkin untuk tak terlihat kacau.
“Kanaya, aku akan ….”
“STOP, IBRA!!! AKU TIDAK MEMINTAMU UNTUK BICARA,” teriaknya cukup membuat gendang telinga Ibra bergetar, kenapa mulut wanita ini lebih besar dari pada toa masjid, pikir Ibra berusaha menahan kesal.
Baru kali ini ada seseorang berani membentaknya, dan lebih menyebalkan lagi yang membentaknya adalah wanita.
“Lupakan, tidak akan terjadi apa-apa … toh kita cuma melakukannya sekali bukan?” Sorot tajam menatap getir Ibra yang sudah duduk manis di tepi ranjang.
Nampaknya dia mulai sedikit tenang, Kanaya merapikan rambut tebal yang tadi malam begitu indah di mata Ibra.
“Baiklah jika itu maumu, anggap saja ini adalah bagian dari pekerjaanku … tapi perlu kau ingat, jika sampai kau hamil bisa dipastikan itu anakku.” Senyum tipis itu terbit, seakan tak ada beban dan hal segenting ini bukan masalah.
Kanaya tak menjawab setelah itu, dia memalingkan muka dan berusaha turun dari ranjang sialan itu dengan selimut untuk melindungi tubuhnya dari tatapan Ibra. Pria itu hanya berdecih menatap remeh Kanaya yang kini memunguti pakaiannya. Tadi malam dia bahkan sampai melihat sampai ke inti-intinya, bahkan tanda lahir Kanaya Ibra sudah mengetahuinya.
“Ya Tuhan,” keluh Kanaya menatap sendu noda merah di sprei tempatnya tidur, memilukan sekali bukan? Bertahun-tahun ia jaga, bahkan bersepeda saja dia enggan namun kini justru hancur oleh pria yang dia hanya kenal namanya saja.
Berlalu dengan langkah sama sekali tak sopan, Kanaya menuju kamar mandi dan sama sekali dia tak punya pikiran untuk mandi. Secepat mungkin dia harus pergi, kalaupun bukan pulang ke rumah, Kanaya akan pergi ke hotel lain demi menyelamatkan diri dari pria gila yang sudah ia bayar mahal namun justru menghancurkannya dalam satu kali waktu.
-
.
.
.
“Gimana bisa sebanyak ini?”
Kanaya menatap leher dan dadanya putus asa, gaun yang ia kenakan nyatanya tak berhasil menutup tanda kemerahan yang Ibra hadiahkan. Menutup apa adanya, Kanaya mengurai rambutnya agar bercak kemerahan itu dapat terselematakan dengan rambutnya, namun sialnya tak tertolong juga.
“Lama sekali, apa yang kau lakukan di dalam sana?”
Baru saja keluar tapi Ibra sudah menuntutnya dengan pertanyaan sedemikian rupa, dan dia sengaja berdiri di pintu menanti Kanaya keluar dari sana. Sepertinya benar kekhawatiran Lorenza perihal pria yang Kanaya pilih kemarin, nyatanya pria bayarannya selancang ini.
“Bukan urusanmu, pergilah … aku tidak membutuhkanmu lagi,” tutur Kanaya melewati Ibra begitu saja, meraih sepatu yang tinggal sebelah dan sebelahnya tentu saja di mobil Ibra atau bahkan di club malam tempatnya mengawali lingkaran setan tadi malam.
“Tapi kita belum selesai, Naya.”
“Naya? Kau mengenalku sedekat apa sampai berani memanggilku Naya?” sergah Kanaya menatap tajam Ibra yang kini menatapnya datar tanpa ekspresi, berbeda dengan sebelumnya yang selalu senyam senyum tak jelas, kini Ibra justru menunjukkan sisi lain dalam dirinya.
“Sedekat apa? Calon anakku ada di rahimmu, kau masih bertanya?”
Idih, percaya diri sekali dia. Baru juga beberapa jam lalu, mana mungkin sudah berwujud, pikir Kanaya menganggap Ibra pria pembual sejati.
“Berhenti membahas hal itu, sudah kukatakan lupakan … aku membayarmu hanya untuk jadi kekasihku tadi malam, bukan ….” Sialan, Kanaya hampir saja tak bisa mengontrol mulutnya, hampir saja membahas hal kotor yang nantinya justru membuat dirinya terjebak dalam kalimat yang Kanaya buat sendiri.
“Bukan apa? Kau yang merayuku tadi malam … bahkan bisa dikatakan kau memaksaku, perlu aku perlihatkan bagaimana ganasnya dirimu, Naya?” tanya Ibra terdengar seperti ancaman, belum lagi kala dia merogoh saku celananya. Ponsel itu memang tak memperlihatkan apapun, akan tetapi Kanaya memilih untuk tak terpancing dengan kalimat Ibra.
“Terserah.” Kanaya berlalu keluar, secepat mungkin Ibra larang karena batinnya justru tak rela Kanaya meninggalkannya saat ini.
“Tunggu, kau terlihat kacau … setidaknya tutupi tanda kepemilikanku ini.” Memberikan jasnya untuk menutupi semua aib dalam tubuh Kanaya, wanita itu terdiam sejenak begitu mendapat perlakuan manis Ibra.
Jas yang membuat tubuhnya kini tenggelam, namun setidaknya Kanaya dalam menyembunyikan apa yang tak layak dilihat banyak orang dalam dirinya. Pria itu menatap sendu Kanaya yang mulai menjauh, semakin jauh dan batinnya semakin rapuh.
“Kan … Kanaya,” lirihnya memukul angin, menyesal sekali rasanya tak mampu menahan wanita itu pergi dari sisinya.
Rahang Ibra mengeras, gigi-giginya bergemelutuk dan tangannya mengepal sembari menatap tajam tanpa arah. Siapapun yang melihatnya saat ini tentu saja ciut bukan main. Kekecewaan, sedih dan amarah menjadi satu menguasai Ibra saat ini.
“Kau mau pergi kemana lagi, Naya.”
Matanya kian memerah, sesaat setelah itu kembali masuk ke kamar hotel dan dia bermaksud untuk membawa pergi sprei yang menjadi saksi kesucian Kanaya yang ia renggut tanpa diduga. Terdengar gila, namun terserah.