Sahabat itu cinta yang tertunda, kata Levin satu waktu berkata pada Dizza seolah konsep itu memang sudah dialami nyata oleh si pemuda. “Kau hanya perlu melihat dengan persepsi yang berbeda untuk menemukan cintamu.”
Sampai kemudian Dizza yang berpikir itu omong kosong mengalami sendiri kebenaran yang Levin katakan padanya. Dizza jatuh cinta pada Edzhar yang adalah sahabatnya.
"Memangnya boleh mencintai sahabat sendiri?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rucaramia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hadiah yang Berhasil Diberikan
Dizza kemudian menyandarkan punggungnya di sandaran bangku. “Aku cemas kau merajuk dan memutuskan tidak mau bermain bersamaku. Kan tidak lucu kalau kau tiba-tiba menghilang karena aku tidak merayakan hari ulang tahunmu kemarin.”
Candaan itu berlalu tanpa hasil, tidak ada senyum apalagi tawa yang diharapkan muncul dari ekspresi muka Edzhar. Lelaki itu seperti dipenuhi dengan beragam hal yang memusingkan. Tidak disini, tidak disana, ada apa dengan para pria disekitarnya hari ini? sampai tidak ada ruang dan celah sedikit pun untuk candaan Dizza.
“Tenang saja, aku tidak akan seterpuruk itu hanya karena alasan konyol. Bagaimana pun kita kan bersahabat,” sahut Edzhar kemudian meski wajahnya terlihat agak ditekuk.
“Ya, kau memang tipikal orang yang seperti itu. Kau selalu logis dalam menghadapi apapun, itulah dirimu. Tapi tidak baik loh, kalau kau memendam semuanya sendirian begitu. Katamu kita sahabat, lantas kenapa kau terkesan menyembunyikan sesuatu dariku?” Edzhar terdiam seribu bahasa ketika dengan mudah Dizza membaca dirinya. Entah bagaimana caranya gadis itu bisa mengupas tuntas isi kepalanya dengan begitu mudah, padahal dia sudah berusaha sebisa mungkin untuk tidak melibatkan sesuatu yang bersifat emosional sebaik mungkin ketika di dekat wanita itu. Karena bila dia bisa membacanya lebih jelas lagi akan berakhir jadi sesuatu yang buruk. Kecanggungan dan kehancuran hubungan mereka barangkali akan menjadi sesuatu yang paling jelas Edzhar takuti.
“Oh iya ini untukmu,” ujar Dizza sembari menyodorkan sebuah kotak pada Edzhar.
Edzhar sempat mengernyit, dia bingung dariman asal kotak besar itu berada. Seingatnya tadi dia tidak melihat gadis itu membawa sesuatu, atau dia hanya sedang terlalu banyak pikiran saja sampai tidak menyadarinya?
“Apa ini?” tanyanya sambil menimbang kotak yang ukurannya cukup besar tersebut.
“Doping, supaya apapun yang ada dikepalamu bisa jadi lebih clear. Kalau terlalu sulit untuk dibicarakan aku harap ini bisa sedikit membantumu,” jawab Dizza santai.
“Eh?”
“Hadiah dariku, Edzhar. Selamat ulang tahun ya, maaf aku terlambat mengatakannya padamu. Kurasa semalam kau terlalu sibuk dan aku malah ketiduran. Memang dasar ya,” sahut Dizza sambil terkekeh.
Edzhar memandangi kotak itu. “Apa ini seperti yang aku pikirkan?”
“Entahlah, tapi kuberi bocoran itu adalah berry shortcake yang pernah kau bicarakan bulan lalu,” timpal Dizza acuh tak acuh.
Perlahan senyuman muncul di wajah Edzhar, meski amat sangat tipis. Ah, benar. Untuk apa memusingkan sesuatu yang belum tentu terjadi? Untuk apa mengkhawatirkan sesuatu yang buruk jika saat ini momentnya bisa dia nikmati sendiri dengan gadis ini. Dia punya Dizza sebagai sahabatnya yang baik meski mereka persahabatan mereka tidak sepanjang Dizza dan Levin yang nyaris mencapai titik separuh hidup. Edzhar lalu membuka kotak itu dengan sedikit tergesa, dan segera saja hidungnya mengindera wangi khas dari kue yang memang sangat dia inginkan bulan lalu itu. “Baunya saja sudah seenak ini, rasanya pasti mantap,” ujar lelaki itu dengan sumringah.
Melihat semangat yang nampak di wajah Edzhar yang semula kuyu, dan dia mendengar pria itu memuji hasil karyanya seketika dia merasa berbangga hati atas seluruh usahanya. Apresiasi yang dia pikir tidak akan dia dapatkan, ternyata dapat dia dengar pagi ini. Ini membuat Dizza merasa usahanya tidak sia-sia. “Oh ya jelas soalnya kan aku yang—” Dizza seketika mengeram mulutnya sendiri sebelum kalimat itu rampung.
Entah kenapa dia jadi merasa malu mengakui kalau kue itu buatannya. Dia kan baru memuji baunya, belum rasanya. Jadi agak terlalu cepat baginya untuk berpuas diri.
“Kau apa?” tanya Edzhar menoleh pada sahabatnya itu.
“Bukan apa-apa, cepat dimakan,” elak Dizza, dan untungnya Edzhar tidak menuntutnya untuk pertanyaan yang satu itu. Agak melegakan tapi juga sedikit mengecewakan. Memang ya, perasaan perempuan itu kompleks. Tidak ingin ditanya, tapi jauh dilubuk hati ingin sedikit dipaksa sampai mengaku. Kocak memang.
Tanpa banyak bicara lagi Edzhar segera mengeluarkan kue itu dari kotak dan memasukan sepotong ke dalam mulutnya. Kunyahan pertama hingga yang ketiga kue tersebut memberikan rasa manis yang legit, lalu di kunyaahan berikutnya ada rasa gurih dan asam dari potongan buah yang direkatkan dengan cream yang mulai menyapa lidahnya. Rasanya sempurna.
“Rasa kue itu persis sepertimu, manis dan menggiurkan pada awalnya tapi ada asam-asamnya dikit diakhir,” celoteh Edzhar, dia makan dengan lahap dan dari ekspresinya Dizza bersyukur kue buatannya ternyata bisa dinikmati oleh pria itu.
“Apanya yang asam? Aku ini manis dan indah tahu,” balas Dizza sambil terkekeh dan menggeleng pelan. Agak aneh baginya ketika tiba-tiba Edzhar mengatakan sesuatu soalnya meskipun analoginya itu berasal dari kue buatannya.
“Ya, meskipun kue ini tidak seindah itu dan agak dingin,” sahut Edzhar usil yang membuat Dizza sempat menepuk tangan pria itu dengan tidak terlalu keras.
“Hei, apa boleh buat kan? tadinya kan mau kuberikan kemarin. Tapi kau tidak membalas pesanku sama sekali. Ya sudah aku masukan kulkas dulu. Harusnya kau bersyukur aku tidak memakannya kemarin karena sebal,” celetuk Dizza lagi yang dibalas dengan tawa oleh Edzhar.
“Iya, iya… maaf ya, ini enak sekali dan aku berterima kasih sekali atas hadiah ulang tahun darimu. Ini yang terbaik yang aku dapat meski terlambat,” kata Edzhar lagi mengusili Dizza.
Sekali lagi Dizza menepuk tangan pria itu. “Ngomong begitu lagi aku ambil kuenya.”
“Jangan dong, masa kue yang kau buat susah payah untukku kau ambil lagi. Ini kan khusus untukku,” timpal Edzhar yang membuat Dizza terpaku.
Dia bahkan tidak jadi memberitahukan fakta itu kepada Edzhar tapi kenapa pria itu tahu kalau kue ini buatannya?
“Kau? Bagaimana kau tahu?”
“Kue ini istimewa dan aku bertaruh seratus persen kalau tidak ada toko di dunia yang menjualnya saking unik rasanya,” jelas lelaki itu sambil tertawa. Sementara Dizza langsung panik sedikit.
“Unik apa? maksudmu tidak enak? Mana sini biar aku cicipi, aku yakin kemarin rasanya enak sekali kok,” balas Dizza yang langsung meraup potongan kue yang ada di tangan Edzhar dan memakannya. Edzhar sedikit terpaku karena dia tidak mengira kalau Dizza akan sejauh itu menanggapi leluconnya. Sesaat pipinya bersemu merah. Tetapi untungnya Edzhar bisa cepat mengendalikan diri lagi.
“Ih ini enak, kok. Sial, kau menipuku!” teriak Dizza memprotes.
“Memang ada aku bilang tidak enak? Isi kepalamu saja tuh yang negatif thinking,” balas Edzhar yang langsung dibalas Dizza dengan tawa setelahnya.
“Dasar menyebalkan!” timpal Dizza menertawakan Edzhar dan dirinya sendiri.
Ya, tapi setidaknya Dizza sekarang bisa berpuas diri, karena toh ternyata kue buatannya juga bisa dinikmati oleh lelaki itu. Kepuasan yang dia sebelumnya tahan membludak kembali. Senang sekali rasanya melihat pria itu dengan lahap memakan kue buatannya tanpa cela. Dan dia mungkin perlu berterima kasih kepada Levin, berkat idenya dia berhasil menyampaikan sesuatu yang tidak sempat dia berikan kemarin. Mungkin Dizza juga harus membuatkan pria itu sesuatu sebagai gantinya.
Love ..word that can cause happiness or sadness Depend situation. i hate that word n try to avoid happened to me 🫣🤔😱