Entah dari mana harus kumulai cerita ini. semuanya berlangsung begitu cepat. hanya dalam kurun waktu satu tahun, keluargaku sudah hancur berantakan.
Nama aku Novita, anak pertama dari seorang pengusaha Mabel di timur pulau Jawa. sejak kecil hidupku selalu berkecukupan. walaupun ada satu yang kurang, yaitu kasih sayang seorang ibu.
ibu meninggal sesaat setelah aku dilahirkan. selang dua tahun kemudian, ayah menikah dengan seorang wanita. wanita yang kini ku sebut bunda.
walaupun aku bukan anak kandungnya, bunda tetap menguruku dengan sangat baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alin26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Gara-gara Tante Maria menyebut nama Carlos, aku baru ingat belum menghubunginya hari ini. Seharian tadi, hanya keliling Surabaya, mengobrol dan pulang ke Yogyakarta.
Kubuka aplikasi chat online, lalu mengirim pesan pada Carlos. Tak lama pesanku dibalasnya. Kami pun lanjut bertukar pesan.
"Tadi katanya lagi gak mikirin Carlos, sekarang malah asik chatting-an berdua, senyum-senyum sendiri pula," ucap Tante Maria.
"Ih, tante ... tadi, Kan, tante sendiri ya ingetin Novita," balasku.
"Ngomong-ngomong, mau coba ngobrol sama Carlos, Gak?" sambungku.
"Enggak, ah. Mau ngobrol apa, tante gak bisa bahasa Jerman."
"Ya, nanti Novita artiin omongannya." Aku pun mengirim pesan suara berbahasa Jerman. Bertanya pada Carlos apakah bisa melakukan video call sekarang. Ternyata dia bisa melakukannya.
Ponselku berbunyi, tanda ada panggilan video call. Bergegas terima panggilan tersebut. Wajah Carlos pun langsung muncul di layar ponselku.
"Nih, Tan," ucapku mengarahkan kamera depan ponselku pada Tante Maria.
Tante Maria terlihat sangat gugup. Wajahnya kebingungan. Dia pun mencubit pahaku sambil melotot.
"Iseng banget sih, Novita," bisiknya.
"Ayo, Tan. Katanya pengen ketemu Carlos," pancingku, tetap mengarahkan kamera depan ke arahnya.
"Hai," ucap Tante Maria malu-malu. Aku pun tak kuat menahan tawa di balik layar.
"Halo," balas Carlos dengan suara bassnya.
"Udah ah, Novita. Tante malu." Tante Maria membalikan badannya.
Aku memutar ponsel. Mengarahkan kamera depan kepadaku. Kini, wajah kami saling berhadapan. Baru dua hari kami berpisah, dia sudah mengungkapkan rasa rindunya terus menerus. Tidak lupa selalu menanyakan kapan pulang ke Jerman. Padahal dari awal dia tau, kalau aku di Indonesia selama seminggu.
Selama 15 menit, kami pun berbincang. Sesekali aku melirik ke arah Tante Maria yang senyum-senyum sendirian.
"Bye, Honey," ucapku menutup video call.
"Carlos ganteng banget sih, Novita," ucap Tante Maria.
"Ah, Tante! Giliran video call malu-malu kucing. Padahal ngobrol aja."
"Ya, kamu maen todong aja. Tante kan gak ada persiapan."
Tutttt!
Suara klakson mobil yang ditekan agak lama. Mataku dan Tante Maria langsung tertuju pada Rio yang sedang mengemudi.
"Ada apa, Yo?" tanya Tante Maria.
"Iya, ngagetin aja, Ih!" keluhku.
"Abisnya ibu sama Novita asik sendiri. Gak tau apa anaknya lagi nahan laper plus ngantuk!" balas Rio.
"Oalah, ya udah. Cari Rest Area gih! Kita makan dulu. Gw juga mau buang air kecil," balasku. Rio pun tersenyum lebar, tanda setuju dengan ucapanku.
*
Kurang dari sepuluh menit kemudian, terlihat sebuah Rest Area. Rio mulai memposisikan mobilnya di samping kiri, tanda akan berbelok ke sana.
Setelah masuk ke dalam Rest Area, kami pun mencari tempat parkir. Kondisi Rest Area tidak terlalu ramai, sehingga kami dengan mudah mendapatkan tempat parkir. Aku pun ke luar dari mobil, menatap langit yang terlihat mendung.
"Mau hujan kayanya, Tan," ucapku saat Tante Maria turun dari mobil.
"Iya nih, dah gelap," balas Tante Maria.
"Makan di mana?" tanya Rio.
"Lu pilih aja, Yo! Gw kan dah lama gak ke Indo," balasku.
"Wuih, sombongnya."
Kami pun berjalan, mendekati deretan resto. Rio sudah memilih tempat makan rekomendasinya. Sebuah restoran padang. Kami pun masuk ke dalam dan mencari tempat duduk. Tak lama, beberapa pramusaji menghampiri meja kami, membawa makanan dalam piring-piring berukuran kecil.
"Aku ke toilet bentar ya, Tan," ucapku lalu bangkit dari kursi dan berjalan menuju toilet.
Kubuka pintu toilet, hawa lembab langsung terasa. Ada dua bilik toilet dan satu wastafel dengan cermin agak besar. Bergegas aku masuk ke dalam salah satu biliknya, lalu buang air kecil. Setelah selesai, kemudian mencuci tangan di wastafel.
Kriet!
Terdengar suara pintu toilet. Aku yang sedang fokus mencuci tangan, reflek melihat ke arah cermin. Dari pantulan cermin, terlihat pintu toilet sudah terbuka sebagian. Rasanya tidak mungkin ada angin yang membukanya.
Bulu kudukku meremang. Sebuah perasaan tidak enak pun muncul. Perasaan yang tidak pernah kurasakan selama lima tahun di Jerman. Sambil membilas tangan, kembali kulihat cermin. Ternyata sudah ada bayangan hitam yang mengintip di balik pintu. Dengan terburu-buru, aku pun ke luar dari toilet.
"Ada apa, Novita?" tanya Tante Maria setelah melihatku agak berlari ke arah meja.
"Ah enggak, Tan." Aku pun tidak mau menceritakan kejadian di toilet tadi.
"Muka kamu gak bisa bohong, Novita."
Sepertinya rasa takut itu terlihat jelas di wajahku.
"Nanti Novita ceritain. Sekarang makan aja dulu."
Kulihat Rio sudah mulai makan. Aku pun mengambil beberapa menu makanan dan mulai makan. Tak ada obrolan yang berlangsung selama kami makan. Setelah selesai, kami pun bergegas ke luar restoran. Soalnya langit sudah semakin gelap. Rio kurang suka, mengendarai di saat hujan. Apalagi hari sudah menjelang malam.
"Tadi ada apa?" tanya Tante Maria.
"Pas cuci tangan, dari cermin aku liat ada yang ngintip dari balik pintu toilet, Tan," jelasku.
"Siapa yang ngintip?"
"Gak tau, cuman liat sekilas kaya bayangan hitam."
"Mungkin salah liat kali."
"Semoga aja, Tan."
Mobil sudah ke luar dari Rest Area. Melanjutkan perjalan menuju Yogyakarta. Mata mulai terasa berat. Kusandarkan kepala, menutup mata. Tak lama tertidur.
"Novita." Terdengar suara bisikan seseorang.
"Novita."
Perlahan kubuka mata.
Deg!
Jantungku seakan-akan berhenti. Saat melihat Siluman Ular itu sedang duduk di kursi depan, samping Rio.
"Apa kamu masih mengingatku?" tanya Siluman Ular itu sambil menjulurkan lidahnya.
"Pergi!" ucapku.
"Pergi!" Aku mencoba mengusirnya sambil menutup mata.
Kurasakan tubuh ini bergoyang cukup kencang. Lalu, membuka mata.
"Novita, ada apa?" tanya Tante Maria. Spontan aku mendekat ke arahnya.
"Tante ...," bisikku.
"Ada apa, Novita?"
"Tadi Novita liat dia ada di kursi depan," balasku.
"Dia siapa?"
"Siluman Ular," balasku masih menghadap ke arah Tante Maria.
"Orang gak ada siapa-siapa, Kok. Kamu liat aja!"
Kubalikan badan, melihat kursi depan. Benar, tidak ada apa-apa di sana.
"Mimpi kali lu, Novita," ucap Rio.
"Beneran gw tadi liat dia duduk di samping, Lo," balasku.
"Daritadi kamu tidur, Novita. Tante bangunin soalnya kamu teriak-teriak," ucap Tante Maria.
Aku terdiam. Mungkinkah tadi itu hanya mimpi. Kenapa terasa nyata sekali.
"Kayanya kamu masih kebayang cerita Pras. Jadi kebawa sampe mimpi. Udah, jangan dipikirin," lanjutnya.
"Iya, Tan. Semoga aja tadi cuman mimpi," balasku. Dalam hatiku berharap, semoga dia tidak datang kembali.