Naya seorang istri yang sedang hamil harus menerima takdir ditinggal suaminya karena kecelakaan. Pada saat sedang dalam perjalanan ke kampung halaman, suaminya yang bernama Ammar jatuh dari Bus antar kota yang ugal-ugalan.
Sebelum Ammar tewas, dia sempat ditolong oleh sahabatnya yang kebetulan mobilnya melintas di jalan tol. Tak disangka Ammar menitipkan amanah cinta kepada sahabatnya bernama Dikara yang berprofesi sebagai dokter.
Padahal saat itu Dikara sudah bertunangan dengan seorang wanita yang berprofesi sama dengannya.
Akahkah Dika menjalani amanah yang diberikan sahabatnya? Atau dia akan tetap menikahi tunangannya?
Apakah Naya bersedia menerima Dikara sebagai pengganti Ammar?
Cinta adalah amanah yang diberikan Allah SWT terhadap pasangan. Namun bagaimana jadinya jika amanah itu dinodai oleh pengkhianatan?
Yuk lah kita baca selengkapnya kisah ini!
Happy reading!💕
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FR Nursy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20 Papa Merestui
"Enak saja pake kasih amanah segala. Harus menikahi istrinya lagi. Dika kamu harus berpikir dengan jernih. Pikirkan sekali lagi. Tindakan ini akan sangat melukai hati Amanda, bukankah kamu sangat mencintainya? Lagi pula Ammar itu sudah meninggal, jadi ga usah ikutin amanah dari orang yang sudah meninggal!"
Mama Nindi begitu berang. Ia tidak bisa menerima kenyataan kalau anak semata wayangnya harus menikahi janda beranak satu. Ia merasa sia-sia sudah menyekolahkannya tinggi-tinggi ternyata dapat jodohnya tidak sesuai harapan.
Dikara menghela napas dalam-dalam, ia merasa sedih karena harus menyakiti Amanda dan membuat kecewa Mamanya.
"Dika memang mencintainya Amanda, Ma. Tapi itu dulu sebelum dapat amanah dari Ammar. Dika tahu, Ma. Amanda pasti akan terluka. Tapi Dika harus memenuhi amanah tersebut Ma, Dika tidak bisa mengabaikan amanah yang sudah diberikan pada Dika secara langsung. Untuk itu Dika siap menjaga kepercayaannya menjaga istri dan anaknya untuk selamanya," kata Dikara dengan suara yang lembut.
"Kenapa? Karena Ammar sahabatmu? Karena Ammar pernah berbuat baik padamu? Pikir pake logika Dik, kamu jangan memilih seorang janda beranak satu. Bisa-bisa reputasimu hancur. Ingat, Amanda lebih cantik, mapan, dokter pula. Kalau kamu dengan Amanda, sudah dapat dipastikan rumah sakit akan berkembang dengan pesat," sergah Mama Nindi tidak habis pikir dengan jalan pikiran anaknya.
Dikara mendengarkan kata-kata ibunya dengan sabar dan memahami kekhawatiran ibunya. Namun, ia tetap pada keputusannya.
"Ma, Dika memahami kekhawatiran Mama, tapi Dika tidak bisa memilih pasangan hidup Dika berdasarkan reputasi atau keuntungan material. Dika harus memilih pasangan yang sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip hidup Dika. Dan Dika telah memutuskan untuk memenuhi amanah Ammar dan menikahi istrinya," kata Dikara dengan suara yang teguh, tetap pada pendirian.
Mama Nindi bangkit dari tempat duduknya, matanya memerah karena marah dan kecewa.
"Tidak, Dika! Mama tidak setuju! Mama tidak bisa menerima keputusanmu menikahi janda beranak satu itu! Apa yang akan orang lain katakan? Apa yang akan mereka pikirkan tentang kita? Kamu anak pewaris tunggal keluarga Hulaimi, sudah sepantasnya kamu menikah dengan orang yang minimal setara dengan kita bukan seorang janda. Benar-benar malu kalau pernikahan itu terjadi!" Mama Nindi berbicara dengan nada yang tinggi dan penuh emosi, tidak bisa menahan kekecewaannya.
Papa Fahmi hanya bergeming. Hanya mencerna kata-kata kedua orang yang sangat ia sayangi.
"Papa ngomong dong, jangan diam saja. Ini menyangkut masa depan anak kita lho!" protes Mama Nindi melihat suaminya hanya diam tak bersuara.
Papa Fahmi menghela nafasnya dalam-dalam. Seraya menatap istrinya dengan tajam,
"Mama sudah ngomongnya?"
Mama Nindi diam, wajahnya cemberut menahan kekecewaan.
"Kalau Mama bicara terus, Papa mendingan diam, daripada terjadi kericuhan," kata Papa benar adanya.
"Ya sudah sekarang Papa yang ngomong, nasehati Dika biar engga membantah nasehat orang tua. Mama ke dapur dulu!"
Mama Nindi beranjak namun dicegah Papa.
"Tidak perlu ke kemana-mana. Duduk dan dengarkan ucapan Papa!" ujar Papa tegas.
Mama Nindi tidak jadi pergi dari samping suaminya. Ia kemudian duduk kembali mendengarkan ucapan suaminya yang bijak dalam berbicara.
"Papa sangat paham, keputusan yang Dika ambil pasti sudah melalui proses istikharah, benar?" tebak Papa, matanya menatap Dika meminta jawaban yang pasti.
"Iya Pa, Papa benar," jawab Dika jujur.
"Nah karena proses tersebut sangat dianjurkan maka hasilnya pun insya Allah akan menjadi baik karena memang sudah ada campur tangan dari Allah. Kita harus ingat, apa yang kita inginkan belum tentu baik untuk kita kedepannya. Jadi menurut Papa, Mama harus bisa menerima takdir ini. Bukankah yang akan menjalani rumah tangga itu anak kita? Bukan kita atau orang lain. Orang lain hanya melihat, mendengar saja tanpa tahu apa yang kita rasakan,"
"Tapi Pa...Mama tidak bisa menerima ini," Mama Nindi menggeleng-gelengkan kepalanya.
Papa Fahmi tersenyum lembut. Ia harus menghadapi istrinya dengan kepala dingin. Ia melanjutkan ucapannya dengan bijak, mencoba membuat Mama Nindi memahami dan menerima keputusan Dika.
"Mama harus ingat, kita sebagai orang tua hanya bisa memberikan nasihat dan bimbingan, tapi keputusan akhir ada di tangan anak kita sendiri. Kita harus percaya bahwa Dika sudah dewasa dan bisa membuat keputusan yang tepat untuk dirinya sendiri. Dika yang akan menjalani rumah tangganya. Dika juga yang akan menanggung segala konsekuensinya. Kita hanya bisa mendoakan agar rumah tangga Dika dan istrinya langgeng selamanya," Papa Fahmi kemudian memeluk Mama Nindi, mencoba menenangkan dan menghiburnya.
"Sabar, ya Sayang. Kita harus sabar dan percaya bahwa semua ini sudah menjadi kehendak Allah. Lagi pula tanpa kita tunggu, tahu-tahu kita udah dikasih cucu. Walaupun bukan darah Dika, tapi tetap anak itu akan menjadi cucu kita,"
Mama Nindi hanya diam, masih menahan kekecewaan yang mendalam. Apalagi suaminya tidak mendengar ucapannya.
"Dika secepatnya bawa istrinya Ammar ke sini! Kenalkan pada kita, pastikan mereka tidak mengecewakan calon mertuanya!"
Dika tersenyum bangga pada Papanya.
"Terima kasih Pa. Dika akan secepatnya membawa mereka datang ke rumah ini. Dika pastikan Naya tidak akan mengecewakan Mama dan Papa. Sepintas ia tidak akan terlihat kalau dia sudah punya anak. Dia juga sangat cantik, tidak kalah dengan Amanda. Walaupun Dika belum mengenalnya, namun Dika yakin dia adalah wanita baik-baik,"
Papa Fahmi tersenyum dan mengangguk, merasa lega dan bahagia karena Dika telah membuat keputusan yang tepat.
"Papa percaya, pilihanmu yang terbaik. Bawa mereka ke sini, Papa ingin bertemu dengan Naya dan anaknya. Papa ingin melihat apakah mereka layak menjadi bagian dari keluarga kita."
"Iish apa-apaan sih Papa. Mamakan belum menyetujuinya?"
"Setuju tidak setuju kalau sudah melihat mereka, Papa yakin Mama pasti akan jatuh cinta pada mereka," ujar Papa tegas, seraya tersenyum mengusap bahu istrinya untuk menenangkannya.
Mama hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak bisa membantah keputusan suaminya. Untuk saat ini, Mama hanya bisa mengalah.
"Lantas, apa yang akan kamu katakan kepada Amanda? Apa yang akan kamu lakukan untuk membuatnya memahami keputusanmu?" tanya Papanya dengan suara yang lembut.
Mamanya juga memandangnya dengan rasa ingin tahu, menunggu jawaban Dikara tentang bagaimana ia akan menghadapi Amanda.
Dikara mengambil napas dalam-dalam dan memikirkan jawaban yang tepat.
"Dika akan mengatakannya secara langsung dan jujur pada Amanda. Dika akan menunjukkan video itu dan menjelaskan keputusan Dika. Semoga dia menerima keputusan Dika dan alasan-alasannya, dan Dika akan berusaha untuk membuatnya memahami. Terus terang Dika tidak ingin menyakiti perasaannya, tapi Dika juga tidak ingin membohonginya atau membuatnya berharap pada sesuatu yang tidak mungkin terjadi," jawab Dikara dengan suara yang serius.
Papanya mengangguk dan memandangnya dengan ekspresi yang bangga.
"Papa percaya kamu bisa melakukannya dengan baik, Nak. Kamu selalu memiliki hati yang baik dan jujur, iya kan Ma?"
"Mama sih engga yakin Amanda akan menerima keputusanmu, Dika. Mama hanya berharap kamu masih berpikir ulang agar tidak menyesal di kemudian hari, ingat itu!" Mama berlalu dengan kekecewaan yang mendalam.