Sinopsis "Alien Dari Langit"
Zack adalah makhluk luar angkasa yang telah hidup selama ratusan tahun. Ia telah berkali-kali mengganti identitasnya untuk beradaptasi dengan dunia manusia. Kini, ia menjalani kehidupan sebagai seorang dokter muda berbakat berusia 28 tahun di sebuah rumah sakit ternama.
Namun, kehidupannya yang tenang berubah ketika ia bertemu dengan seorang pasien—seorang gadis kelas 3 SMA yang ceria dan penuh rasa ingin tahu. Gadis itu, yang awalnya hanya pasien biasa, mulai tertarik pada Zack. Dengan caranya sendiri, ia berusaha mendekati dokter misterius itu, tanpa mengetahui rahasia besar yang tersembunyi di balik sosok pria tampan tersebut.
Sementara itu, Zack mulai merasakan sesuatu yang belum pernah ia alami sebelumnya—ketertarikan yang berbeda terhadap manusia. Di antara batas identitasnya sebagai makhluk luar angkasa dan kehidupan fana di bumi, Zack dihadapkan pada pilihan sulit: tetap menjalani perannya sebagai manusia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MZI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21: Apakah Ini Asli Nyata (Season 2)
Suasana pagi di SMA Harapan Cerah terasa lebih hangat dari biasanya. Di kelas 3-A, semua murid tengah berbincang riang, hingga seorang guru masuk dengan seorang pemuda di sampingnya.
"Anak-anak, hari ini kita kedatangan murid pindahan baru. Silakan perkenalkan diri," ujar Bu Dita, wali kelas mereka.
Pemuda itu maju ke depan kelas. Ia tinggi, berkulit putih, dengan rambut hitam sedikit berantakan dan mata tajam yang terkesan dingin. Dengan suara tenang, ia berkata, "Aku Zack. Senang bertemu dengan kalian."
Singkat, padat, dan tanpa ekspresi.
Beberapa murid mulai berbisik, membicarakan betapa dinginnya sikap Zack. Namun, di bangku tengah, seorang gadis cantik berambut panjang dengan mata jernih bernama Elly menatap Zack dengan penuh minat.
“Hmm… dia menarik,” gumamnya.
Bu Dita menunjuk ke bangku kosong di belakang Elly. “Zack, kamu bisa duduk di sana.”
Tanpa banyak bicara, Zack berjalan menuju tempat duduknya dan langsung mengeluarkan buku.
Saat jam istirahat tiba, teman-teman sekelas mulai mendekati Zack untuk mengajaknya berbicara, tapi jawaban singkatnya membuat mereka menyerah. Namun, tidak dengan Elly.
Elly berbalik di kursinya, menatap Zack yang masih sibuk membaca. Dengan senyum jahil, ia bertanya, “Hei, Zack. Kenapa kamu pindah ke sini?”
Zack melirik sebentar, lalu kembali ke bukunya. “Urusan keluarga.”
"Ah, aku mengerti," kata Elly, meski sebenarnya ia tidak mengerti.
Karena tak mendapat respons lebih lanjut, Elly menopang dagunya dan tersenyum jahil. "Kamu selalu dingin begitu ya? Jangan-jangan kamu sebenarnya manusia es?"
Zack menghela napas. “Aku hanya tidak terlalu suka berbicara.”
Elly tertawa kecil. "Oh? Kalau begitu, aku harus bicara lebih banyak untuk menggantikanmu."
Zack menutup bukunya dan menatap Elly dengan ekspresi datar. "Terserah."
Sejak hari itu, Elly selalu mengajak Zack bicara meskipun responsnya tetap dingin. Entah bagaimana, Zack yang awalnya selalu mengabaikannya mulai terbiasa dengan kehadiran gadis itu.
Hingga suatu hari, hujan deras mengguyur sekolah. Semua murid berlarian menuju halte, kecuali Elly yang masih duduk di dekat lapangan sambil menatap langit.
Zack yang baru saja keluar dari gedung sekolah melihatnya dan berjalan mendekat. “Kenapa masih di sini?” tanyanya.
Elly menoleh dan tersenyum. “Aku suka hujan.”
Zack duduk di sampingnya, meskipun jas sekolahnya mulai basah. “Kamu aneh.”
Elly terkikik. “Mungkin. Tapi… kalau aku tidak aneh, mungkin kamu tidak akan mau bicara denganku.”
Zack terdiam. Ia menyadari bahwa Elly adalah satu-satunya orang yang tidak menyerah mendekatinya.
Beberapa saat berlalu dalam keheningan, sebelum Zack tiba-tiba berkata, “Aku tidak terlalu suka hujan, tapi kalau bersamamu, mungkin tidak terlalu buruk.”
Elly terkejut, lalu tertawa senang. “Hei, Zack. Itu artinya kamu mulai menyukaiku?”
Zack menatapnya sebentar, lalu mengalihkan pandangan. “…Mungkin.”
Jantung Elly berdebar. Ia tidak menyangka Zack yang selalu dingin akhirnya menunjukkan sedikit perasaannya.
Di bawah hujan yang terus turun, dua hati perlahan mulai mendekat. Mungkin Zack bukan pria yang romantis, tapi bagi Elly, kata-katanya barusan sudah cukup untuk membuatnya yakin bahwa sesuatu yang indah sedang tumbuh di antara mereka.
---
Cinta di Bangku Terakhir
Siang itu, angin bertiup lembut di taman sekolah. Zack duduk di bangku favoritnya, tenggelam dalam buku yang tengah dibacanya. Seperti biasa, ia menikmati ketenangan tanpa gangguan.
Namun, suara langkah ringan mendekat, diikuti dengan suara yang sudah sangat dikenalnya.
“Zack! Aku baru kepikiran sesuatu!”
Elly.
Zack tidak mengangkat kepalanya, hanya membalik halaman bukunya dengan tenang. “Apa lagi?”
Elly menjatuhkan diri di sebelahnya dengan santai. “Aku pikir, kamu ini seperti langit mendung.”
Kali ini, Zack meliriknya sekilas sebelum kembali membaca. “Mendung?”
Elly mengangguk cepat. “Iya! Kamu selalu diam, tenang, dan sedikit suram. Tapi entah kenapa, aku suka melihat langit mendung. Rasanya damai.”
Zack menutup bukunya perlahan dan menatap Elly yang tersenyum santai.
“Kamu membandingkanku dengan langit mendung?” ulang Zack, memastikan.
Elly terkikik. “Yap! Kamu kan selalu bersikap dingin, tapi sebenarnya menyenangkan kalau diperhatikan lebih lama.”
Zack mendengus pelan. “Dan kamu seperti matahari.”
Elly terkejut, lalu tertawa. “Matahari? Wah, ini pertama kalinya kamu mengumpamakan sesuatu.”
Zack kembali melihat bukunya, tapi ada sedikit senyum kecil yang hampir tak terlihat di wajahnya. "Ceria, ribut, dan tidak bisa diam."
Elly mengerucutkan bibirnya, berpura-pura tersinggung. “Jadi, maksudmu aku berisik?”
"Faktanya memang begitu," jawab Zack santai.
Elly tertawa kecil, lalu menyandarkan dagunya ke telapak tangannya. “Tapi kamu tetap mendengarkanku.”
Zack tidak membalas, tetapi ia juga tidak menyangkal.
Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang nyaman. Angin berhembus lembut, menggoyangkan dedaunan di sekitar mereka.
Elly melirik Zack dari samping, lalu tiba-tiba berkata, “Zack, aku punya tantangan buat kamu.”
Zack menghela napas. "Apa lagi?"
“Selama satu hari, kamu harus tersenyum setidaknya tiga kali!" ujar Elly penuh semangat.
Zack menatapnya dengan ekspresi datar. “Tidak tertarik.”
Elly cemberut. “Ayolah! Kamu kan jarang senyum. Aku ingin lihat.”
Zack kembali fokus ke bukunya. "Tidak ada gunanya."
Elly menyipitkan mata, lalu mendekat sedikit. "Kalau kamu berhasil, aku akan melakukan satu permintaanmu. Apa saja!"
Zack menutup bukunya lagi, kali ini menatap Elly lebih lama. "Apa saja?"
Elly mengangguk mantap. "Iya! Tentu saja, yang masuk akal."
Zack berpikir sejenak. Lalu, dengan nada datar, ia berkata, “Baiklah. Tapi kalau aku menang, kamu tidak boleh bicara selama sehari penuh.”
Mata Elly membulat. “Apa?! Itu tidak adil!”
"Justru itu tantangannya," balas Zack santai.
Elly menggembungkan pipinya, lalu akhirnya menyerah. "Oke, oke! Tapi aku yakin aku yang akan menang.”
Zack hanya mengangkat bahu dan kembali membaca. Namun, entah bagaimana, ia merasa hari itu sedikit lebih hangat dari biasanya.
Hari Tantangan Dimulai
Keesokan paginya, Elly datang ke kelas dengan semangat membara. Ia sudah menyusun berbagai strategi untuk membuat Zack tersenyum.
Saat Zack masuk kelas dan duduk di bangkunya, Elly langsung mendekatinya.
“Zack, pagi! Ingat tantangan kita?”
Zack hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa.
Elly menyengir. “Baiklah, bersiaplah karena aku akan menang.”
Sejak saat itu, Elly mencoba segala cara untuk membuat Zack tersenyum.
Pertama, ia menunjukkan gambar meme konyol di ponselnya. Zack hanya melirik sekilas dan kembali menatap bukunya.
Kedua, ia menceritakan lelucon yang ia dengar dari teman-temannya. Zack hanya mendengus pelan.
Ketiga, Elly berpura-pura tersandung dan hampir jatuh di depan meja Zack. Kali ini, Zack menatapnya lama, tapi tetap tanpa ekspresi.
Siang harinya, saat jam makan siang, Elly duduk di depan Zack di kantin.
"Baiklah, aku harus menggunakan senjata rahasia!" kata Elly dengan penuh percaya diri.
Zack hanya mengangkat alis.
Elly mengeluarkan sesuatu dari tasnya—sebuah foto masa kecilnya saat masih balita. Dalam foto itu, ia mengenakan baju boneka kelinci dengan pipi bulat dan mata berbinar.
“Aku waktu kecil! Lucu, kan?” Elly tersenyum bangga.
Zack menatap foto itu selama beberapa detik. Sudut bibirnya bergerak sedikit, hampir membentuk senyuman, tetapi dengan cepat ia mengalihkan pandangannya.
Elly mengerutkan kening. “Hei! Itu hampir berhasil!”
Zack menyesap minumannya dengan tenang. “Tidak cukup.”
Elly mendesah, meletakkan kepalanya di meja. “Huff… susah banget sih bikin kamu tersenyum.”
Zack meliriknya sebentar. "Kamu masih punya waktu sampai jam pulang sekolah."
Elly mendongak dengan cepat, semangatnya kembali menyala. "Benar juga! Aku belum menyerah!"
Zack hanya menggeleng pelan.
Kejutan di Hujan Senja
Jam pelajaran terakhir akhirnya usai. Saat Zack berjalan keluar kelas, hujan mulai turun.
Elly berlari mengejarnya, membawa satu payung.
“Zack! Kamu nggak bawa payung, kan? Kita pakai ini saja,” katanya sambil tersenyum.
Zack menatap langit sebentar. "Tidak perlu."
Elly mengerutkan dahi. “Kamu mau hujan-hujanan?”
Zack mengangkat bahu. “Tidak masalah.”
Elly mendesah. “Baiklah, kalau begitu…”
Tanpa peringatan, ia menutup payungnya dan berdiri di samping Zack, membiarkan hujan membasahi mereka berdua.
Zack menatapnya dengan alis terangkat. “Apa yang kamu lakukan?”
Elly tersenyum. “Kalau kamu kehujanan, aku juga ikut.”
Zack terdiam. Melihat gadis itu berdiri di sisinya dengan wajah penuh tekad, sesuatu dalam dirinya sedikit bergetar.
Elly tertawa kecil. “Aku pernah dengar, kalau seseorang kehujanan bersama orang lain, mereka akan lebih dekat. Jadi, mungkin setelah ini kamu bakal tersenyum padaku.”
Zack menghela napas, tetapi kali ini, sudut bibirnya terangkat sedikit.
Elly terdiam sejenak, lalu matanya membesar. “Eh, eh! Itu senyum, kan?! Aku lihat!”
Zack cepat-cepat mengalihkan pandangan, tetapi sudah terlambat.
Elly melompat kegirangan. “Aku menang! Aku menang! Zack tersenyum!”
Zack menghela napas panjang. “Kamu terlalu banyak bicara.”
Elly tertawa senang. "Aku tahu! Tapi itu sebabnya kamu tetap mendengarkanku, kan?"
Zack tidak menjawab, hanya melangkah maju meninggalkan Elly yang masih tersenyum lebar.
Sementara itu, hujan terus turun, membasahi mereka berdua—tapi anehnya, Zack merasa lebih hangat daripada sebelumnya.
Dan untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa mungkin, hanya mungkin, ia mulai terbiasa dengan kehadiran gadis yang memiliki sikap ceria itu.
Bersambung...