Hana tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis dalam semalam. Dari seorang mahasiswi yang polos, ia terjebak dalam pusaran cinta yang rumit. Hatinya hancur saat memergoki Dion, pria yang seharusnya menjadi tunangannya, selingkuh. Dalam keterpurukan, ia bertemu Dominic, pria yang dua kali usianya, tetapi mampu membuatnya merasa dicintai seperti belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Dominic Lancaster bukan pria biasa. Kaya, berkuasa, dan memiliki masa lalu yang penuh rahasia. Namun, siapa sangka pria yang telah membuat Hana jatuh cinta ternyata adalah ayah kandung dari Dion, mantan kekasihnya?
Hubungan mereka ditentang habis-habisan. Keluarga Dominic melihat Hana hanya sebagai gadis muda yang terjebak dalam pesona seorang pria matang, sementara dunia menilai mereka dengan tatapan sinis. Apakah perbedaan usia dan takdir yang kejam akan memisahkan mereka? Ataukah cinta mereka cukup kuat untuk melawan semua rintangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamicel Cio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kambing Hitam
Sarah duduk di kursi salah satu restoran yang sedang hits dengan wajah tegang. Tangannya mencengkeram ponselnya erat, menunggu respons dari pesan yang baru saja ia kirimkan kepada keluarga Dion. Ia sudah cukup sabar menghadapi laki-laki itu. Ia hamil anaknya, tapi Dion justru menghindar, seolah ia tidak pernah berarti apa-apa.
Tak butuh waktu lama, suara langkah kaki terdengar keras. Sarah tersentak, napasnya tertahan saat melihat Dion masuk dengan tatapan penuh amarah.
“Apa yang lo lakukan?” suara Dion rendah, namun penuh kemarahan yang tertahan.
Sarah menegakkan tubuhnya, menatap Dion tanpa rasa takut. “Gue cuma menuntut tanggung jawab lo. Lo pikir gue bakal diam aja setelah lo berusaha kabur?”
Dion mengepalkan tangannya, berusaha menahan emosinya. “Lo sadar nggak sih lo udah gila? Hubungin keluarga gue? Lo tau betapa ribetnya ini semua?”
Sarah tertawa sinis. “Oh, sekarang gue yang gila? Padahal lo yang tidur sama gue, lo yang bikin gue hamil, dan lo yang mau kabur? Dion, gue nggak sebodoh Hana yang cuma diem dan nerima lo. Gue nggak akan biarin lo lolos!”
Nama itu. Nama yang seharusnya tak lagi ada dalam hidupnya.
Dion merasakan darahnya mendidih. “Jangan bawa-bawa Hana! Lo bukan dia!”
Sarah bangkit berdiri, matanya membara. “Tentu aja gue bukan dia! Gue nggak bakal sabar kayak dia! Lo pikir gue nggak tau lo masih berharap sama dia? Lo bahkan nggak pernah ngeliat gue dengan cara yang sama! Tapi sayang, Dion. Sekarang lo nggak punya pilihan lain!”
Dion tertawa miring, mengusap wajahnya dengan kasar. “Lo pikir gue takut sama lo?”
Sarah mendekat, lalu berbicara dengan nada rendah namun penuh ancaman, “Lo harusnya takut, Dion. Karena kalau lo masih keras kepala, gue sendiri yang bakal datang ke rumah lo, duduk bareng nyokap lo, dan cerita tentang cucu pertamanya.”
Dion memejamkan matanya, napasnya tersengal karena marah. Dia ingin berteriak, ingin menghancurkan sesuatu. Tapi Sarah benar. Ini adalah masalah besar.
Dan dia terjebak.
Dion merasakan kepalanya berdenyut hebat. Dadanya naik turun, napasnya berat. Matanya menatap Sarah dengan kemarahan yang tak terbendung.
“Gila! Lo gila, Sarah!” teriaknya, suaranya menggema di seluruh ruangan.
Sarah malah tertawa sinis, menatap Dion dengan penuh kepuasan. “Ya! Gue gila, Dion! Gila karena lo! Karena lo yang bikin gue hamil!”
Dion mundur selangkah, pikirannya kalut. Ini nggak masuk akal. Mereka selalu pakai pengaman. Ini nggak mungkin.
“Tunggu… Ini pasti bohong. Lo bohong, kan?” Dion menunjuk Sarah dengan tatapan tajam. “Gue nggak sebodoh itu buat nggak pakai pengaman! Lo cuma mau jebak gue, kan?”
Sarah melipat tangannya di dada, senyumnya semakin melebar. “Lo pikir gue sekotor itu? Lo pikir gue bakal repot-repot hamil cuma buat ngejebak lo? Lo pikir ini rencana gue? Hell no, Dion!”
Dion menggelengkan kepala, kepalanya berdenyut semakin keras. “Enggak! Gue nggak percaya ini! Lo pasti udah main belakang sama cowok lain dan sekarang lo mau nyalahin gue!”
Mata Sarah langsung menyala, amarahnya memuncak. “Lo bilang apa barusan?! Cowok lain?! Lo bener-bener brengsek, Dion! Kalau gue mau main sama cowok lain, kenapa harus lo yang gue jebak?! Gue bisa dapetin yang lebih baik dari lo kalau gue mau!”
Dion menelan ludah. Ini semakin buruk. Otot-ototnya menegang, pikirannya berputar mencari jalan keluar.
“Gue nggak akan percaya sampai ada bukti.”
Sarah mencibir. “Lo mau bukti? Baik. Kita tes DNA kalau lo nggak percaya. Tapi kalau hasilnya bener anak lo, lo bakal tanggung jawab, Dion. Lo nggak bisa kabur selamanya!”
Dion merasa dunia berputar. Dia terjebak dalam situasi yang tak pernah ia bayangkan. Sarah tersenyum menang, sementara Dion hanya bisa berdiri diam, rahangnya mengeras, pikirannya penuh dengan ketakutan yang mulai menghantui.
Ini tidak seharusnya terjadi. Tapi sekarang, semuanya sudah telanjur berantakan.
Di sudut koridor restoran, Hana dan Marini berdiri diam, saling bertukar pandang. Perdebatan panas antara Dion dan Sarah begitu jelas terdengar dari dalam ruangan. Marini menggigit bibirnya, lalu dengan nada sarkastik, ia mulai bertepuk tangan pelan.
“Wow, luar biasa! Drama hari ini benar-benar lebih seru dari sinetron prime time!” kata Marini dengan nada sinis, menatap Hana yang masih terpaku.
Hana menghela napas panjang, hatinya bergejolak. Ia tidak habis pikir bagaimana ia bisa terlibat dalam kisah serumit ini. Dion, pria yang dulu pernah ia percayai, kini terjebak dalam masalah yang lebih besar dari sekadar perselingkuhan.
“Jadi dia hamil?” tanya Hana, suaranya datar namun penuh makna.
Marini menyandarkan tubuhnya ke dinding, matanya penuh minat terhadap drama yang sedang berlangsung. “Kelihatannya begitu, Han. Dan lihat tuh, si Dion kayak nggak percaya. Dasar cowok, pas seneng-seneng aja nggak pake mikir, sekarang kaget kalau kena getahnya!”
Hana mendengus pelan. Ada rasa puas yang aneh melihat Dion tersudut seperti itu. Selama ini, dia yang tersakiti, dia yang dikhianati, dan kini, karma akhirnya datang menjemput pria itu.
Sementara di dalam ruangan, suara Dion kembali meninggi.
“Gue nggak bisa nerima ini begitu aja, Sarah! Lo pasti bohong!”
Sarah membalas dengan penuh emosi. “Gue udah bilang, kita tes DNA aja kalau lo nggak percaya! Lo kira gue seneng hamil anak lo?! Lo pikir gue mau ditinggalin kayak gini?!”
Marini kembali bertepuk tangan pelan, kali ini dengan ekspresi lebih dramatis. “Wah, wah, wah… ini makin seru. Gue rasa kita butuh popcorn buat nonton ini.”
Hana akhirnya tertawa kecil, meski hatinya masih campur aduk. Entah kenapa, meskipun ia sudah tidak peduli pada Dion, mendengar drama ini membuatnya merasa sedikit… puas. Seakan dunia sedang menegakkan keadilan atas semua yang terjadi padanya.
Tapi satu hal yang pasti, Hana sudah memilih jalannya. Dan itu bukan dengan Dion. Sekarang, ada Dominic, pria yang benar-benar mencintainya, yang tidak bermain-main dengan perasaan seperti yang Dion lakukan.
Hana menarik napas dalam, lalu berbalik pergi. “Ayo, Mar. Nggak ada gunanya dengerin mereka terus. Drama ini udah nggak ada hubungannya sama gue.”
Marini terkikik, lalu mengikuti Hana keluar dari sana, meninggalkan Dion dalam kekacauan yang ia buat sendiri.
Dion menyeret Hana dengan kasar ke sudut gedung yang lebih sepi. Langkahnya terburu-buru, seolah-olah ingin menjauhkan mereka dari pandangan siapapun, termasuk Marini dan Sarah yang mencoba mengejar tetapi tak mampu menyusul.
"Heh lo mau bawa Hana kemana!" teriak Marini.
"Dion!"
"Dion! Dasar brengsek!"
"Udah tau brengsek masih aja lo ngejar tuh cowok sialan!" sungut Marini.
"Berisik lo!"
"Bumil nggak boleh marah nanti debaynya stress kayak ibunya!" kikik Marini.
"Lo!"
Hana nyaris tersandung, namun Dion tak peduli. Begitu mereka sampai di tempat yang cukup tersembunyi, Dion melepaskan cengkeramannya dengan kasar. Matanya merah, penuh kemarahan, kebencian, dan rasa tidak percaya.
"Lepasin!" bentak Hana.
"Apa yang lo kasih ke ayah gue sampai dia mau ceraiin ibu gue, hah?! Tubuh lo? Murahan!" Suaranya bergetar.
Seakan ada petir yang menyambar, Hana menatap Dion dengan sorot mata terkejut sekaligus terluka.
“Apa?” suara Hana nyaris berbisik.
Dion mendengus tajam. "Lo pikir lo siapa?! Lo cuma cewek biasa yang dulu gue pacarin, terus lo deketin bokap gue, dan tiba-tiba lo bisa bikin dia ninggalin ibu gue?!"
Hana mengepalkan tangannya, mencoba meredam amarah yang mulai membara di dadanya. Namun, ketika Dion terus menatapnya dengan penuh tuduhan, emosinya pecah.
PLAK!
Tamparan keras itu mendarat di pipi Dion, membuat pria itu tersentak mundur. Hana menatapnya dengan mata berkaca-kaca, napasnya memburu karena marah dan sakit hati yang bercampur menjadi satu.
“Lo pikir gue cewek murahan?!” Suara Hana bergetar, seperti pecahan kaca yang menusuk hati sendiri.
Luka di matanya terlalu dalam untuk disembunyikan di balik kemarahan.
"Lo pikir gue yang ngemis-ngemis buat dicintai ayah lo?! Kalau lo nggak tahu apa-apa, jangan asal tuduh, Dion! Lo yang dulu nyia-nyiain gue, dan sekarang lo datang lagi buat ngatain gue seperti ini?!"
Hanamenatap wajah Dion yang memucat sambil memegang pipinya yang memerah. Entah dia lebih kaget karena tamparan atau karena kenyataan yang baru saja ia ungkapkan.
Tapi di balik sorot matanya, Hana tahu ada ego yang masih terlalu besar untuk luluh.
"Lo hancurin keluarga gue, Hana!" Dion teriak, seperti seseorang yang tengah mencari-cari pembenaran atas kehancurannya sendiri.
Hana tertawa pahit, sebuah tawa yang keluar tanpa izin, bercampur dengan air mata yang terus menetes.
Sakit? Sangat. Tapi bagaimana ia bisa tidak bicara?
“Keluarga lo?” Suara Hana melemah, namun tajam seperti sembilu. “Lo bahkan nggak menghargai keluarga lo sendiri! Lo selingkuh. Lo tidur sama cewek lain. Lo bahkan nggak mau tanggung jawab atas anak lo, Dion!”
Hana terdiam sejenak, menarik napas dalam-dalam untuk menguatkan diri. "Dan sekarang lo mau menyalahkan gue? Lo bercermin dulu deh, Dion. Gue nggak ada sangkut pautnya sama kehancuran hidup lo.”
Pandangan Hana terarah ke wajahnya yang mulai tegang, tapi ia tahu, setiap kata itu masuk lebih dalam dari yang dia mau akui.
Hana melihat Dion diam, bibirnya bergerak, tapi tak ada satu kata pun yang keluar. Mungkin karena, untuk pertama kalinya, dia tak punya lagi alasan untuk membantah.
Tamparan yang baru saja Hana berikan tak seberapa dibanding kenyataan yang sekarang menampar harga dirinya. Hana menelan ludah, mencoba menahan emosi yang masih berkecamuk, lalu ia bicara lagi, lebih pelan, lebih dingin, tapi cukup tajam untuk mengiris siapa saja yang mendengarnya.
"Kalau lo punya sedikit saja rasa tanggung jawab, lo nggak akan ada di posisi ini, Dion. Jadi jangan pernah cari kambing hitam buat kesalahan lo sendiri."
"Dan lo tahu kenapa ayah lo memilih gue?" Hana menatapnya tajam. "Bukan karena gue ngejar dia. Tapi karena dia yang nggak mau jadi pecundang kayak lo."
Dion mengepal tangannya, tetapi dia tidak bisa membalas ucapan Hana.
Saat itu juga, suara langkah kaki terdengar. Dominic muncul dengan ekspresi gelap, matanya tajam menatap Dion. Tanpa banyak bicara, Dominic menarik Hana ke dalam pelukannya, melindunginya dari tatapan penuh kebencian Dion.
"Jangan pernah bicara seperti itu ke Hana lagi, kalau kamu masih punya harga diri sebagai laki-laki, urus masalah kamu sendiri tanpa menyalahkan orang lain." suara Dominic rendah, tapi penuh ancaman.
Dion menatap Dominic dengan penuh kemarahan, tetapi ia tahu ia tidak bisa menang dalam pertarungan ini.
Hana masih terguncang, tetapi ketika Dominic menggenggam tangannya erat, ia tahu satu hal, ia telah memilih jalan yang benar.
Bersambung...