Kelanjutan dari Kurebut Suami Kakak Tiriku, kisah ini mengikuti Rei Alexander, anak angkat Adara dan Zayn, yang ternyata adalah keturunan bangsawan. Saat berusia 17 tahun, ia harus menikah dengan Hana Evangeline, gadis cantik dan ceria yang sudah ditentukan sejak kecil.
Di sekolah, mereka bertingkah seperti orang asing, tetapi di rumah, mereka harus hidup sebagai suami istri muda. Rei yang dingin dan Hana yang cerewet terus berselisih, hingga rahasia keluarga dan masa lalu mulai mengancam pernikahan mereka.
Bisakah mereka bertahan dalam pernikahan yang dimulai tanpa cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. SABAR VERSI REI
Di malam hari, tepatnya di rumah, Hana merenggangkan ototnya dengan perasaan lega setelah berkutat cukup lama dengan tumpukan tugas sekolah yang tiada habisnya. Baru saja ia memulai hari-hari barunya sebagai murid di sekolah ini, namun beban tugas yang diberikan sudah begitu banyak hingga membuatnya merasa benar-benar lelah. Sesaat, ia hanya duduk diam sembari menghela napas panjang, lalu matanya tanpa sengaja melirik layar ponselnya yang tergeletak di atas meja.
Ketika ia membuka ponselnya, matanya sedikit membulat saat melihat notifikasi yang baru masuk—ternyata, ia telah dimasukkan ke dalam sebuah grup oleh teman-teman barunya, yaitu Lena, Amina, dan Darren. Hana menatap nama-nama yang ada di dalam grup tersebut, lalu tersenyum tipis. Ia merasa cukup senang karena keberadaannya mulai diakui dan diterima oleh teman-temannya di sekolah baru ini.
Namun, ia tidak ingin terlalu larut dalam obrolan grup. Setelah membaca sekilas pesan yang ada, ia mematikan layar ponselnya dan meletakkannya kembali. Tatapannya kemudian beralih ke arah Rei, pria yang kini sah menjadi suaminya, yang tengah duduk santai di ranjang sambil sibuk dengan ponselnya.
Sudah empat hari ia bersekolah sekaligus menjalani kehidupan barunya sebagai istri Rei. Selama waktu itu pula, ia semakin menyadari satu hal—Rei bukan hanya pria yang berkepribadian dingin, tapi juga seseorang yang sangat sibuk. Hana tahu kalau Rei adalah ketua OSIS, tapi tetap saja, seberapa sibuk sih seorang ketua OSIS sampai-sampai nyaris tak pernah punya waktu luang? Kalau seperti ini, ia bersyukur tidak bergabung dengan OSIS.
Hana menatapnya lekat-lekat dengan rasa penasaran yang semakin mengusik. Lalu, sebuah ide tiba-tiba terlintas di kepalanya. Karena merasa bosan, ia pun mendekat ke arah ranjang tempat Rei berada, lalu dengan santainya duduk di samping pria itu.
Rei, yang tidak menduga Hana akan tiba-tiba mendekat, langsung tersentak kaget.
"Mau apa kau?" tanyanya datar, menatap Hana yang kini duduk di ranjang dengan tangan terlipat dan kaki bersilang.
"Aku bosan," ujar Hana santai sambil memainkan lidahnya, membuat Rei mengernyit heran melihat kelakuan wanita muda yang kini menjadi istrinya.
"Ya, aku mau lihat-lihat juga kau sedang apa. Kau selalu terlihat sibuk. Memangnya ngapain sih?" tanyanya penasaran, mencoba mengintip layar ponsel Rei.
Namun, pria itu dengan sigap menarik ponselnya menjauh. "Apa sih, itu tidak sopan, Hana." Tegasnya, membuat Hana terdiam sejenak, tetapi tetap tanpa rasa takut.
"Aku sedang mengurus festival tahunan, seperti yang kau komentari kemarin," lanjut Rei, terselip nada menyindir karena Hana dengan santainya memberikan kritik saat ia berbicara di rapat OSIS kemarin.
Hana cengengesan, tak merasa bersalah sedikit pun. "Oh, gitu ya? Memangnya apa aja sih dalam festival tahunan sekolah kita? Dan berapa lama?" tanyanya, rasa penasarannya muncul mengingat ia masih murid baru.
Rei menghela napas. Sebenarnya, ia malas menjelaskan, tapi jika tidak menjawab, itu akan lebih tidak sopan. "Festival tahunan biasanya berlangsung selama tiga hari, dan semua murid akan berkemah di sekolah. Akan ada banyak kegiatan di sana."
Mata Hana langsung berbinar begitu mendengar penjelasan Rei. "Kayaknya seru!" serunya antusias, tubuhnya sedikit condong ke depan. "Terus nanti aku tidur sama siapa dong?" tanyanya polos, matanya masih berbinar penuh rasa ingin tahu.
Rei, yang sejak tadi lebih banyak bersikap acuh tak acuh, hanya melirik sekilas sebelum kembali fokus pada ponselnya. "Kau sudah punya teman, kan?" ujarnya datar, nada suaranya terdengar seperti tidak terlalu peduli dengan kebingungan Hana.
Hana mengangguk pelan, lalu tersenyum lebar seakan membayangkan sesuatu. Namun, belum sempat ia larut dalam pikirannya, sebuah hal tiba-tiba terlintas di benaknya. Wajahnya berubah sedikit serius. "Oh iya, aku mau nanya lagi dong," katanya, kini nada suaranya terdengar lebih ingin tahu.
Rei yang baru saja hendak mengetik sesuatu di ponselnya langsung menutup mata sejenak, mencoba menenangkan diri. Gadis ini benar-benar banyak bicara. Jauh berbeda dengan dirinya yang lebih suka ketenangan. "Apa lagi, Hana?" tanyanya dengan suara datar, meskipun dalam hati ia sudah bisa menebak bahwa Hana pasti akan melontarkan pertanyaan yang tidak ia duga.
"Teman-temanmu itu siapa sih? Aku juga lihat mereka di pernikahan kita kemarin." Mata Hana menatap Rei dengan penuh rasa ingin tahu, sedikit menyipit seolah mencoba membaca ekspresi pria itu. "Mereka nggak bakal bocorin rahasia pernikahan kita, kan?" lanjutnya curiga, alisnya terangkat sedikit.
Rei baru menyadari bahwa Hana belum tahu siapa Aurora, Nathan, Elio, dan Selena. Dengan nada santai, ia pun menjawab, "Mereka sepupuku. Nathan dan Elio adalah putra dari pamanku, sementara Aurora dan Selena adalah putri dari sahabat mamaku." Ia menjawab seadanya, tidak ingin terlalu panjang lebar.
Hana mengangguk pelan, menunjukkan bahwa ia mengerti. Namun, setelah mendengar jawaban Rei, entah kenapa ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul dalam hatinya. Ia menoleh ke arah jendela, menatap kosong ke luar. Angin malam yang menerpa sedikit membuatnya merasa melankolis. "Enak ya, punya keluarga besar seperti itu. Kau beruntung bisa hidup di lingkungan yang nyaman dan tentram," gumamnya pelan, suaranya terdengar lebih lembut dari sebelumnya. "Berbeda dengan keluarga bangsawan di sana, mereka ambisius sekali," lanjutnya dengan nada getir, mengingat kembali bagaimana kehidupan para bangsawan yang selalu dipenuhi intrik dan ambisi. Ia sudah cukup lama merasakan bagaimana tekanan dari keluarga bangsawan yang mengutamakan status dan kepentingan.
Rei mendengarkan ucapan Hana tanpa menyela. Ia sangat memahami apa yang dimaksud gadis itu. Sebagai seseorang yang juga berasal dari latar belakang yang sama, ia tahu betul bagaimana sulitnya hidup dalam keluarga bangsawan yang penuh aturan dan ambisi. Namun, berbeda dari Hana, ia memilih jalannya sendiri. Maka, dengan nada santai, ia berucap, "Siapa suruh kau nggak kabur sepertiku?" ujarnya acuh, matanya melirik Hana sekilas. "Biar bisa dapat keluarga yang kau impikan," tambahnya, sedikit mengejek.
Mendengar ucapan itu, Hana langsung mendelik kesal ke arahnya. "Dasar menyebalkan!" gerutunya sebelum tangannya terangkat dan mendarat cukup keras di paha Rei.
Rei hanya diam, tidak bereaksi berlebihan. Ia sudah mulai terbiasa dengan sifat spontan istrinya yang satu ini.
Tanpa ingin memperpanjang debat, Hana segera bangkit dari posisinya dan berjalan menuju ranjangnya sendiri, yang terletak tepat di samping ranjang Rei.
Rei tetap diam memperhatikannya. Dalam hati, ia sadar betul satu hal—untuk bisa menghadapi gadis muda yang kini menjadi istrinya ini, ia benar-benar harus memiliki kesabaran yang ekstra.