Alya tidak pernah menyangka hidupnya yang biasa akan berubah selamanya saat ia bertemu dengan Rheyan, sosok pria misterius dengan tatapan kelam dan aura yang terlalu menggoda. Ia datang di saat-saat antara hidup dan mati, membawa takdir yang tak bisa dihindari. Tapi yang tak ia duga, sang malaikat maut justru terpikat oleh kelembutan dan keberaniannya.
Di sisi lain, ada Davin, dokter penuh kasih yang selalu ada untuk Alya. Ia menawarkan dunia yang nyata, cinta yang hangat, dan perlindungan dari kegelapan yang perlahan menyelimuti kehidupan Alya.
Namun, cinta di antara mereka bukanlah hal yang sederhana. Rheyan terikat oleh aturan surgawi—malaikat maut tak boleh mencintai manusia. Sementara Alya harus memilih: menyerahkan hatinya pada keabadian yang penuh bahaya atau tetap berpijak pada dunia fana dengan seseorang yang bisa menjanjikan masa depan.
Ketika batas antara surga dan bumi kabur, bisakah cinta mengubah takdir? Atau justru cinta itu sendiri yang akan menghancurkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irnu R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jarak yang Semakin Berbahaya
Alya terbangun dengan napas memburu, matanya menatap langit-langit kamar yang asing. Untuk sesaat, dia tidak ingat di mana dia berada. Kemudian semuanya ingatannya kembali. Perjalanan dengan Davin, kafe kecil di pinggir kota, dan kilasan ingatan yang bukan miliknya.
Dia menegakkan tubuh, menyadari bahwa jendela di samping tempat tidurnya terbuka sedikit. Udara malam yang dingin menyusup masuk, membuat kulitnya merinding. Jantungnya masih berdebar kencang, bukan karena suhu dingin, tapi karena mimpi yang baru saja dialaminya.
Rheyan.
Dia ada di sana, di dalam mimpinya. Berdiri di tempat yang tidak bisa Alya kenali, matanya penuh dengan sesuatu yang sulit dijelaskan. Kesedihan? Keraguan? Atau mungkin… sesuatu yang lebih dalam dari itu?
Alya menarik selimutnya erat-erat. Sudah berapa kali dia memimpikan pria itu? Seharusnya perasaan ini tidak ada. Tapi semakin dia mencoba mengabaikannya, semakin kuat rasa kosong itu tanpa Rheyan.
Dia menghela napas dan menutup matanya, mencoba tidur lagi. Namun, meskipun tubuhnya lelah, pikirannya tetap berputar, dipenuhi oleh seseorang yang tidak seharusnya dia pikirkan.
Alya menatap langit-langit dengan mata kosong. Ada sesuatu yang menggerogoti dirinya perlahan, perasaan yang semakin sulit diabaikan. Ketika bersama Davin, semuanya terasa normal, tapi tidak sepenuhnya utuh. Ada celah di dalam dirinya yang seolah semakin melebar saat dia menjauh dari Rheyan.
Dia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya sugesti. Bahwa Rheyan hanyalah bagian dari rangkaian kejadian aneh yang terjadi padanya. Tapi, jika memang begitu, kenapa setiap kali dia menutup mata, yang dia rasakan hanyalah kekosongan?
Davin berdiri di balkon kecil penginapan tempat mereka menginap. Di tangannya, secangkir kopi yang sudah dingin sejak tadi. Dia tidak bisa tidur.
Dia mencoba menyangkal pikirannya, mencoba mencari alasan logis. Mungkin Alya hanya butuh waktu. Mungkin semua ini hanya kebetulan. Tapi semakin dia memikirkannya, semakin dia merasa seperti orang asing di sisi Alya.
Dia mengingat percakapan mereka di dalam mobil, bagaimana Alya tampak gelisah sepanjang perjalanan. Dia bisa merasakan kehadirannya di sana, tetapi tidak sepenuhnya. Seolah ada bagian dari Alya yang berada di tempat lain—bersama seseorang yang lain.
Rasa frustrasi itu mengendap dalam dirinya, membuatnya bertanya-tanya… Apakah dia benar-benar bisa mengisi ruang kosong dalam hidup Alya? Ataukah sejak awal, ruang itu memang tidak pernah menjadi miliknya?
Dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini hanyalah perjalanan biasa. Hanya untuk membantu Alya menenangkan pikirannya. Namun, semakin lama dia bersama Alya, semakin dia merasakan ada sesuatu yang menghalanginya.
Bukan dalam bentuk fisik, bukan juga karena Alya menolaknya secara langsung. Tapi lebih kepada… perasaan yang selalu dibawa gadis itu.
Davin mengusap wajahnya, frustasi dengan pikirannya sendiri.
"Kenapa aku merasa Alya selalu memikirkan orang lain?"
Dia benci mengakuinya, tapi kecurigaan itu semakin nyata. Alya menyembunyikan sesuatu darinya.
Di tempat lain, di sudut kota yang lebih gelap, Rheyan berdiri di atap sebuah gedung, menatap ke kejauhan. Dia tidak bisa melihat Alya secara langsung, tapi dia bisa merasakannya.
Dingin yang menusuk tubuhnya bukan hanya berasal dari angin malam. Ada sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih dalam.
Sejak Alya pergi, sesuatu dalam dirinya berubah. Dia mulai mengalami hal-hal yang seharusnya tidak mungkin.
Penglihatan-penglihatan aneh.
Kilasan-kilasan ingatan yang bukan miliknya.
Dalam bayangannya, dia melihat seorang gadis yang sangat mirip dengan Alya, berdiri di tengah hujan. Wajahnya terluka, tapi matanya tetap bersinar penuh tekad.
Tetapi kali ini, penglihatan itu tidak hanya sebatas sosok samar. Dia bisa merasakan dinginnya hujan yang membasahi kulitnya, mendengar suara napas tertahan gadis itu. Gaun putihnya kotor, basah, dan ada bercak merah di sisi perutnya.
"Jangan pergi..." suara lirih keluar dari bibir gadis itu, meskipun wajahnya tetap samar.
Sebuah tangan lain muncul dari bayangan, mencoba meraih gadis itu. Tapi sebelum tangan itu bisa menyentuhnya, semuanya menghilang dalam kabut.
Rheyan terhuyung ke belakang, napasnya memburu. Sensasi kehilangan itu begitu nyata, seperti sesuatu yang pernah terjadi. Tapi kapan? Bagaimana?
"Apa yang sebenarnya terjadi?" bisiknya.
Dia tidak mengingat kehidupan lain. Malaikat maut tidak memiliki masa lalu seperti manusia. Tidak ada reinkarnasi, tidak ada takdir yang tertulis ulang. Tapi kenapa… kenapa setiap kali dia melihat Alya, perasaan itu muncul?
Seolah dia telah mengenalnya jauh sebelum ini.
Seolah dia telah kehilangannya sekali.
Dan tidak ingin kehilangannya lagi.
Alya kembali ke kota dengan perasaan yang bercampur aduk.
Selama perjalanan pulang, dia terus merasa gelisah. Semakin dekat dengan rumahnya, semakin jelas perasaan itu.
Davin meliriknya sekilas. "Kau baik-baik saja?"
Alya mengangguk pelan. "Ya… hanya sedikit lelah."
Davin tidak menjawab, tapi ekspresi wajahnya cukup untuk menunjukkan bahwa dia tidak percaya begitu saja.
Ketika mereka sampai, Alya turun dari mobil dengan langkah yang sedikit ragu. Ada sesuatu di udara, sesuatu yang membuatnya merinding.
Davin juga merasakannya. Dia berdiri di sisi mobilnya, ekspresi wajahnya waspada.
"Alya, kalau ada sesuatu yang mengganggumu… kau bisa bicara padaku."
Alya menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil. "Terima kasih, Davin."
Davin hanya mengangguk sebelum akhirnya masuk kembali ke mobil dan pergi.
Alya menghela napas panjang sebelum melangkah menuju rumahnya. Tapi sebelum dia sempat membuka pintu, sebuah suara menghentikannya.
"Alya."
Suara itu terdengar begitu familiar.
Begitu dalam.
Begitu menusuk ke dalam jiwanya.
Alya membeku. Jantungnya berdebar kencang saat dia perlahan menoleh.
Dan di sana, berdiri di bawah cahaya redup lampu jalan, adalah Rheyan.
Waktu seakan berhenti. Angin malam berhembus pelan, membawa serta bisikan halus yang hanya mereka berdua bisa dengar.
Mata Alya melebar, detak jantungnya berdebar tidak terkendali. Bagaimana mungkin dia bisa berdiri di sana? Bagaimana mungkin hanya dengan melihatnya, seluruh dinding pertahanan yang susah payah ia bangun runtuh begitu saja?
"Apa... yang kau lakukan di sini?" suaranya nyaris bergetar.
Rheyan menatapnya, mata hitamnya penuh dengan sesuatu yang lebih dari sekadar jawaban sederhana. "Aku seharusnya tidak ada di sini."
"Tapi kau tetap datang," bisik Alya.
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Jarak di antara mereka begitu dekat, namun terasa begitu jauh. Alya tahu, jika dia melangkah maju sekarang, tidak akan ada jalan untuk mundur.
Rheyan mengulurkan tangannya sedikit, seolah ingin menyentuhnya. Tapi sebelum dia bisa melakukannya, tangannya mengepal kembali di sisi tubuhnya, seolah menahan sesuatu yang terlalu besar untuk diungkapkan.
Mata mereka bertemu.
Untuk sesaat, tidak ada yang bergerak. Tidak ada yang berbicara.
Alya merasa dadanya sesak. Dia seharusnya marah. Seharusnya bertanya kenapa pria itu tiba-tiba muncul setelah semua yang terjadi. Tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah bisikan pelan, penuh kebingungan dan sesuatu yang lebih dalam dari itu.
"Kenapa kau di sini…?"
Rheyan menatapnya, ekspresinya rumit. Seperti seseorang yang telah lama mencoba lari dari sesuatu, tapi akhirnya menyerah.
"Aku mencoba menjauh…" suara Rheyan rendah, nyaris tidak terdengar. "Tapi aku tidak bisa."
Alya tidak bisa mengalihkan pandangannya darinya. Tidak bisa berpikir jernih. Tidak bisa menyangkal bahwa dia merasakan hal yang sama.
"Aku juga…" ucapnya pelan.
Mereka berdiri di sana, di tengah malam yang sepi, di antara perasaan yang tidak lagi bisa mereka abaikan.
Tidak peduli seberapa keras mereka mencoba.
Jarak di antara mereka nyata, tapi justru menciptakan kehampaan. Seperti dua jiwa yang seharusnya tidak pernah terpisah.