Sembilan tahun yang lalu mas Alfan membawa pulang seorang gadis kecil, kata suamiku Dia anak sahabatnya yang baru meninggal karena kecelakaan tunggal.Raya yang sebatang kara tidak punya sanak keluarga.
Karena itulah mas Alfan berniat mengasuhnya. Tentu saja aku menyambutnya dengan gembira. selain aku memang penyayang ank kecil, aku juga belum di takdirkan mempunyai anak.
Hanya Ibu mertuaku yang menentang keras keputusan kami itu. tapi seiring waktu ibu bisa menerima Raya.
Selama itu pula kehidupan kami adem ayem dan bahagia bersama Raya di tengah-tengah kami
Mas Alfan sangat menyayangi nya seperti anak kandungnya. begitupun aku.
Tapi di usia pernikahan kami yang ke lima belas, badai itu datang dan menerjang rumah tanggaku. berawal dari sebuah pesan aneh di ponsel mas Alfan membuat ku curiga.
Dan pada akhirnya semua misteri terbongkar. Ternyata suami dan anak ku menusukku dari belakang.
Aku terpuruk dan hancur.
Masih adakah titik terang dalam kemelut rumah tang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon balqis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Malam semakin larut, Viola sudah terlelap di kamar sebelah menemani anaknya. Tapi aku belum bisa tidur juga. Heran, waktu masih dalam sekapan selalu bisa tertidur meskipun cuma sebentar-sebentar harus terbangun karena rasa ngilu di kaki dan hawa dingin menusuk tulang. perasaanku tidak galau seperti sekarang ini.
Mungkin karena semangat akan bertemu Fajar dan melanjutkan rencana kami yang tertunda. Itulah yang membuatku ku mampu bertahan. Tapi nyatanya saat ini Fajar sudah berdua. Mungkin memang ini yang terbaik untuk kami. aku berusaha berbaik sangka atas semua yang terjadi.
"Tar, kita harus segera pergi ke kantor polisi biar kasus mu di buka kembali, dan para pelakunya bisa di tangkap."
Aku menurut saja saat Viola mengajak ku ke kantor polisi.
Disana, aku menceritakan semuanya tanpa ada yang tersisa. Kini yang menjadi pertanyaan siapa sebenarnya orang yang telah menculik ku setelah Raya?
Setelah selesai memberi keterangan, Viola mengajak ku duduk di luar. Ia menyodorkan segelas kopi.
"Minumlah biar lebih tenang."
tak berapa lama kemudian Fajar datang tergopoh.
Entah siapa yang mengabarinya.
"Tari...?" Langkahnya terhenti beberapa langkah dari ku.
Kami saling menatap. banyak cerita yang ingin terungkap, banyak kata yang tidak bisa terucap.
"Aku bahagia sekali kau kembali dengan selamat." ia sangat terharu.
Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum getir.
"Alhamdulilah aku masih selamat. Tentunya kalian sudah menganggap aku tiada, kan?"
Dia menggeleng keras.
"Kau salah. Aku tidak pernah menganggap mu seperti itu, karena aku sangat yakin kau akan kembali."
Aku menoleh kearah lain. tak sanggup menatap matanya.
"Kita harus bicara, Tari." Tiba-tiba suaranya terdengar gugup dan sedih.
"Iya, kiat harus bicara untuk meluruskan semuanya." jawabku pasti.
"Aku tidak ingin kau atau siapapun salah paham. Aku kembali bukan untuk membuka cerita lama. Aku ingin bertemu Viola sahabatku."
Adia terdiam dengan wajah sedih.
"Baiklah, kau memang kembali untuk Viola. Bahkan aku tidak ada dalam daftar sahabat baik mu lagi." gumamnya kecewa.
"Maaf kalau aku menyinggung perasaan mu. Kau tetap sahabat ku. Tapi..." aku ragu meneruskan kalimatku.
"Aku juga mau menjelaskan sesuatu yang mungkin saat ini kau pun sudah tau dari Viola.." ucapnya sendu.
"Kau tidak usah merasa tidak enak padaku. tentang rencana waktu itu, itu kan cuma pura-pura, karena mas Alfan sudah menerima upah dari perbuatannya dan Raya juga sudah mengakui kejahatannya, tentunya hal itu tidak perlu lagi. Aku juga senang tidak jadi membebani mu dengan pernikahan palsu itu." ucapku dengan senyum tegar.
"Aku tidak pernah menganggap sebuah pernikahan sesuatu yang palsu. tapi terkadang ada sesuatu yang terjadi tidak sesuai rencana kita."
Dia meraih kedua tanganku. Tapi aku menariknya dengan cepat.
"Maaf, sebaiknya kita hati-hati dalam bersikap. Itu akan menimbulkan fitnah. Apalagi saat ini."
Fajar menarik nafas panjang. Mungkin dia mengerti maksudku. Viola yang ada di antara kami pun tidak berkata apa-apa.
Fajar memintaku untuk bersedia bicara berdua. Tapi ku tolak dengan alasan takut menjadi fitnah. Akhirnya Viola ikut menjadi pendengar di antara kami.
"Sebelumnya aku minta maaf, aku sudah mengecewakan mu. Tapi sungguh. Ini semua di luar kemampuanku. Keadaan memaksaku melakukan ini." Fajar berjongkok di depanku dengan mata basah.
Dia bercerita bagaimana orang tuanya meminta menikahi adik angkatnya untuk menutupi aib keluarga.
"Apa yang dia katakan benar, Tar. Semula aku juga seperti mu. Tidak percaya dan tidak bisa menerima. Tapi semua sudah terjadi. Percayalah, Fajar belum berubah. dia masih Fajar yang dulu. Kau bayangkan saja. Di saat semua orang sudah putus asa dan polisi menutup kasus mu. Hanya dia yang masih percaya kau masih hidup. Dia gigih melakukan pencarian walau tanpa bantuan polisi." Viola ikut menyela.
Kami bertiga terdiam. Kemudian bViola minta ijin untuk duduk agak jauh. Dia memberi kesempatan kami untuk bicara lebih privasi.
"Aku sudah kehilangan semuanya dalam hidupku, suami, anak dan rumah tangga yang ku banggakan hancur tak tersisa. sekarang aku hanya ingin tenang menjalani hidup ku."
"Aku mengerti. justru karena itu aku ingin menemani mu untuk bangkit dan menata masa depan yang lebih baik.. setiap hari aku tersiksa oleh rasa bersalah. .Apa kau bisa bayangkan apa yang terjadi padaku? Aku tertekan.."
Ia tertunduk dalam.
"Lalu mau mu bagaimana?
"Tari, walaupun semua sudah berubah tidak seperti tujuan semula. Tapi niatku untuk menikahi mu tetap ada. Bahkan sangat kuat. Aku sudah berusaha menerima takdir aku selalu berdoa pada yang kuasa. jika memang kau memang bukan jodohku maka hapuskan lah perasaanku padamu.
Tapi tidak, justru rasa ini semakin besar. Jujur aku sayang pada mu." tak ku sangka di saat seperti ini Fajar baru bisa mengutarakan perasaannya.
Pantaskah aku bahagia mendengarnya? Padahal aku juga mulai merasakan hal yang sama. Tapi saat ini situasinya berbeda.
"Tapi kau sudah..." dia memotong ucapanku dengan cepat.
"Aku hanya ingin mendengar satu dari mu. Bersediakah kau menjadi istri ku? Aku hanya butuh satu jawaban iya, atau tidak."
Aku terpaku di tempat.
Jujur, aku sangat bahagia karena Fajar melamar ku dan kali ini dengan perasaannya. bukan pura-pura lagi. Tapi kalau aku bilang iya, lalu istrinya?
"Aku tidak mau menyakiti hati sesama wanita."
"Tolong lah Tari. Bukankah dalam agama kita seorang pria di bolehkan beristri lebih dari satu? Aku bukannya egois ingin kalian berdua. aku menikahi Wanda hanya karena amanat orang tua dan memberi kehidupan pada anaknya. Sedangkan terhadapmu, aku ingin kau menemani ku sampai hari tuaku nanti."
"Tolong pertimbangkan lagi Tari."
Saat kami sedang bicara, tiba-tiba saja seorang. wanita masuk. dia adalah wanita yang bersama Fajar waktu itu.
"Bang, aku menelpon mu dari tadi. ternyata kau ada disini?" dia langsung duduk di antara kami.
"Wanda, dari mana kau tau aku ada disini? Ah,nya.. Aku sudah sering menceritakannya padamu. Dia Mentari." ucap Fajar dengan tenang sambil menunjuk ku. wanita itu melihatku dengan terkejut.
"Mentari? Tapi bukankah dia..."?
"Iya, Ternyata semua doaku terkabul. Dia pulang dalam keadaan sehat tak kurang suatu apa.."
Wanda mengangguk.
Dia mengulurkan tangannya.
"Aku Wanda, Mbak. Mungkin bang Fajar sudah bercerita banyak tentang diriku padamu.
Aku juga tidak menyangka nasib akan membawaku ke tempat ini." dia mengelus perutnya yang mulai membuncit.
Mendengar keluh kesahnya aku menjadi simpati. Ku genggam kedua tangannya.
"Yang tabah, terkadang apa yang kita harapkan belum tentu menjadi kenyataan. Jalani saja dengan ikhlas." aku memberinya semangat.
Viola datang dan bergabung di antara kami. Sementara obrolan ku dengan Fajar terlupakan.
Sampai Wanda berucap,
"Mbak Tari, maaf ya.. Aku sudah membuat jarak di antara kalian. aku juga sudah sering membahasnya dengan bang Fajar. kebetulan aku tidak punya kaka perempuan, maukah kau menganggapku sebagi adik mu?"
Kami terkejut dengan permintaannya.
Aku mengangguk, " tentu saja..." jawabku perlahan.
"Kalau kau menganggap ku sebagai saudara, tidak bisakah kita bersama-sama mendampingi bang Fajar?" aku dan Viola semakin kaget.
"Aku serius mba...!"
Aku menatap Fajar. Dia mengangguk membenarkan.
"Aku sudah sering membahasnya dengan Wanda. Dia mengerti bagaimana perasaan ku kepadamu. dia juga setuju tentang apa yang barusan kita bahas." jawabnya dengan tenang.
"Ayolah, Mba. Aku tidak tega melihat Bang Fajar. Dia sangat menderita karena jauh dari mu"
Akhirnya aku minta waktu untuk berpikir.
Beberapa kali Wanda terlihat mengelus perutnya sambil meringis.
"Maaf , aku permisi mau ke dokter. perutku kram dari semalam."
Dengan sigap Fajar membantunya berdiri.k
"Biar aku antar. Vi, aku titip Mentari. Nanti kita bahas lagi hal yang tadi." ucapnya sambil menuntun Wanda.
Aku memandang kepergian mereka dengan perasaan tidak menentu.