NovelToon NovelToon
LOVE ISN'T LIKE A JOKE

LOVE ISN'T LIKE A JOKE

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Office Romance / Slice of Life
Popularitas:832
Nilai: 5
Nama Author: Yhunie Arthi

Ayuni dan kedua temannya berhasil masuk ke sebuah perusahaan majalah besar dan bekerja di sana. Di perusahaan itu Ayuni bertemu dengan pria bernama Juna yang merupakan Manager di sana. Sayangnya atasannya tersebut begitu dingin dan tak ada belas kasihan kepada Ayuni sejak pertama kali gadis itu bekerja.

Namun siapa sangka Juna tiba-tiba berubah menjadi perhatian kepada Ayuni. Dan sejak perubahan itu juga Ayuni mulai mendapatkan teror yang makin hari makin parah.

Sampai ketika Ayuni jatuh hati pada Juna karena sikap baiknya, sebuah kebenaran akan sikap Juna dan juga teror tersebut akhirnya membawa Ayuni dalam masalah yang tak pernah ia sangka.

Kisah drama mengenai cinta, keluarga, teman, dan cara mengikhlaskan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yhunie Arthi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 19. TIDAK NYAMAN

..."Hati itu rapuh seperti kaca, katanya...

...Hati itu memantulkan yang dilihatnya, kata lainnya...

...Lalu, bagaimana dengan hatimu...

...Apakah serapuh kaca saat ini...

...Atau membalikan yang dilihatnya...

...Jika iya, bisakah pantulkan kembali rasa ini...

...Rasa dimana, aku telah jatuh padamu."...

Sejak lusa kemarin, saat aku melihat hal yang tidak semestinya, sejak dari itu pula aku selalu memikirkan hal tersebut. Tentu saja aku memikirkannya, dengan adanya teror yang terjadi di kantor hingga percobaan penculikanku yang ke dua kalinya, menemukan foto diriku di atas meja Bos Juna sudah pasti membuatku banyak berasumsi.

Aku bahkan tidak berani untuk berpikir terlalu jauh, takut dugaanku salah atau mungkin justru karena aku takut jika menemukan kebenaran yang tidak ingin kudengar dari Bos Juna.

Bos Juna tidak datang juga kemarin, hingga aku tidak bisa menanyakan perihal foto tersebut. Aku tidak tahu kenapa ia tidak berada di kantor beberapa hari ini, padahal sudah jelas kalau kantor adalah tempat utamanya bekerja.

“Yun?”

Seseorang memanggilku, mengeluarkanku dari pikiran tak berujung. Dari suaranya bisa kuduga dengan tepat kalau ia adalah Dini.

Kebetulan kami masih ada di rumah, sarapan pagi sebelum mulai bekerja. Sudah cukup lama kami bekerja di sana, jadi waktu masuk kantor pun sudah tertanam dengan rinci di kepala hingga kami tidak perlu buru-buru seperti minggu pertama bekerja.

“Apa?” sahutku pelan.

“Kenapa murung pagi-pagi? Apa ada masalah?” tanya Dini seraya menikmati sarapannya, tapi bisa kurasakan matanya terus menatapku—memerhatikan gerak-gerikku.

“Apa ada orang yang ngikutin lagi lo, Yun?” tanya Rini yang baru masuk ke ruang makan, mendengar percakapanku dengan Dini sepertinya hingga ia bisa langsung mengikuti pembicaraan.

“Nggak. Nggak ada yang ngikutin lagi sekarang, cuma ....” ucapanku tidak selesai, merasa ragu apa yang harus kukatakan padahal aku sendiri tidak yakin.

“Cuma apa?” tutut Rini.

“Sebentar.” Aku bangkit dari duduk, setengah berlari ke kamarku.

Kurogoh tasku, mencari dua lembar foto yang menjadi fokus perhatianku dua hari ini. Begitu mendapatkannya, aku kembali ke tempatku duduk semula—tempat mereka berdua.

Kuberikan foto-foto itu kepada Rini dan Dini, membiarkan mereka melihatnya dengan jelas. “Menurut kalian, foto itu diambil kapan?” tanyaku.

Untuk beberapa saat mereka diam, berpikir segala hal dari dalam foto untuk tahu kapan foto itu diambil. Mereka mulai mendiskusikannya, mencocokan pikiran mereka apakah ingatannya sama.

“Pas masih kuliah, kan? Sebelum skripsi,” kata Dini.

“Yakin?” tanyaku.

“Yakinlah. Ini pas kita mau nonton film itu, kan. Kita ketemuan di Gangnam tempat biasa kita makan kalau mau nonton,” jelas Rini sangat yakin.

“Jadi, bener foto itu pas kita masih kuliah,” gumamku setelah mendapatkan pembuktian kalau dugaanku benar.

“Bener kok, ini yang Kak Indra dateng mendadak jemput lo ke kampus terus ngajak jalan,” kata Dini sambil menunjukan fotoku dan kakakku. “Memangnya kenapa?”

“Foto-foto itu ada di meja Bos Juna, nggak sengaja liat pas mau ngambil artikel,” kataku yang masih memikirkan kenapa foto itu ada di sana.

“Kok aneh, kenapa ada di sana?” Rini juga terlihat bingung, karena bagaimana pun tidak ada waktu yang tidak kuhabiskan kecuali dengan mereka. Dan mereka pasti tahu kalau ada orang yang dekat denganku atau orang yang sekedar kukenal.

“Itu masalahnya. Gue juga bingung kenapa foto itu ada di sana,” kataku putus asa.

Mereka kembali diam, terlihat memikirkan sesuatu yang aku tidak tahu. Nampaknya perhatian mereka akan sarapan teralih sudah oleh masalahku, seperti biasa mencari jalan keluar ketika aku mengahadapi jalan buntu seperti ini.

“Mungkin Bos Juna udah lama suka sama lo, Yun,” celetuk Dini.

Aku dan Rini spontan memandangnya remeh, seakan memikirkan hal yang sama. Mana mungkin.

“Jangan ngada-ngada. Gue aja baru kenal dia pas kerja ini, kayak mana bisa dia suka kalau kenal aja belum,” protesku tidak setuju.

“Ya, bisa aja karena kita sering ke cafe itu dan dia juga sering ke sana pas ada kita. Dia tertarik sama lo, karena suka ya nggak sengaja foto gitu. Atau pas ngeliat lo di jalan sama Kak Indra, karena nggak yakin apa itu lo atau bukan jadi dia foto terus dia simpen,” cercos Dini yang justru terlihat setengah bercanda.

“Bisa jadi tuh, Yun. Lagian liat aja Bos Juna, dari hari pertama dia perhatian banget loh sama lo, sering dianterin pulang. Ditolongin, ditemenin pas sakit. Cowok mana yang mau ngelakuin hal itu kalau bukan suka namanya,” goda Rini. Mereka mulai lagi.

“Nggak mungkin Mas Juna suka, gue ini cuma karyawannya aja,” kelitku.

Mereka berdua tersenyum, senyum yang sangat kukenal jika pikiran mereka hendak menggoodaku.

“Manggilnya aja bukan Bos sekarang, Mas loh Mas,” sulut Dini tersenyum ke arah Rini di sampingnya.

“Muka lo aja udah merah kayak gitu, bilang aja kalau kalian berdua ada apa-apanya,” sambung Rini yang ikut seperti minyak bagi Dini sang kompornya.

“Nggak ada, gue manggil dia Mas karena dia yang nyuruh manggil itu pas di luar kerja. Lagian mungkin karena karyawannya dan sering pulang malem, makanya Mas Juna sering nganterin, kebanyakan nonton Drama Korea kalian tuh ya,” kataku membela diri.

“Alah~malu-malu dia. Lo suka sama Bos Juna, kan. Keliatan loh,” goda Rini.

“Ng-nggak, siapa yang suka siapa?” Lagi-lagi aku berkelit.

“Lo suka Bos Juna, Bos Juna suka lo. Cocok dong,” goda Dini tambah parah. "Aaa! Akhirnya temen gue deket sama laki juga akhirnya, gue kira bakal jomblo seumur hidup," sambungnya antusias.

“Telepon Kak Indra, Din. Bilang kalau adeknya udah gede, akhirnya suka juga sama cowok. Telepon biar Kak Indra langsung dateng kalau denger, lumayan makan-makan kita,” suruh Rini yang memberikan smartphone-nya ke Dini.

“Jangan!” seruku berusaha mengambil ponsel dari tangan keduanya agar tidak menjalankan rencana gilanya dengan memberitahu kakakku. Bisa diinterogasi habis-habisan aku jika Kak Indra sampai mendengar hal ini.

Aku lupa kalau mereka berdua adalah duo devil, jika menyangkut membullyku pastilah tidak ada duanya. Kurasa jika mereka bersatu dengan Andre hidupku tidak akan pernah ada kata tenang dan aman. Aku bersyukur karena kami tidak satu tim, jika tidak habislah hidupku berada di tengah mereka. Di rumah harus berhadapan dengan Rini dan Dini, di kantor harus berhadapan dengan Andre, bukankah lengkap yang menguji mental dan adrenalinku?

Kami bergegas ke kantor saat melihat jam sepertinya berlalu cepat, padahal sebelumnya masih banyak waktu tersisa.

Dini dan Rini masuk ke kantor seperti biasa, sedangkan aku harus menunggu di luar. Bukan karena aku mendapatkan masalah dengan pekerjaanku sehingga aku tidak boleh masuk, justru karena pekerjaanku itulah aku berdiri di luar—lebih tepatnya karena Andre.

Hari ini aku akan menjadi asisten Bos Juna untuk menemui para investor untuk laporan penjualan majalah bulan ini. Kupastikan akan menghajar Andre setelah ini selesai, karena dirinya aku harus berhadapan dengan Bos Juna dalam kondisi aku sedang meragukan atasanku itu mengenai foto yang kutemukan di mejanya.

Sebuah mobil hitam yang sudah kukenal baik siapa pemiliknya, berhenti tepat di depanku. Kaca jendela mobil yang ada di hadapanku terbuka, menampilkan sosok rupawan dalam balutan senyum yang tidak kulihat beberapa hari ini.

Entah karena pantulan sinar matahari pagi atau karena aku cukup lama tidak bertemu dengannya, Bos Juna terlihat ... memukau. Kurasa aku sudah terkontaminasi dengan para aktor korea, hingga mataku sanggup melihat pria seolah salah satu dari mereka. Atau itu hanya berlaku untuk Bos Juna saja karena pembicaraanku dengan dua temanku tadi? Kenapa sejak pagi tadi pikiranku kacau? Jangan katakan kalau aku sudah tidak waras.

“Tunggu apa lagi, ayo masuk,” suruh Bos Juna tersenyum geli saat melihatku berdiri seperti orang idiot dengan memandanginya. Memalukan.

Tanpa mengatakan apa-apa, aku masuk ke mobilnya dan duduk di kursi penumpang seperti yang biasa aku lakukan jika ia mengantarku pulang.

Napasku tertahan dengan punggung menekan kuat ke sandaran kursi saat tanpa komando apapun Bos Juna mendekatkan dirinya padaku, memasangkan sabuk pengaman sebelum akhirnya ia melajukan mobil ke jalan raya.

Jantungku berpacu dengan kencang, kuhirup udara dalam-dalam untuk menenangkan diriku. Kuharap wajahku tidak memerah padam karena sikap yang kudapatkan dari Bos Juna. Lagi pula kenapa Bos Juna melakukan hal itu, padahal aku bisa melakukannya sendiri jika ia menyuruhku mengenakan sabuk pengaman. Aku sugguh gugup, seolah oksigen menipis di dalam mobil saat ini. Pagi yang tidak baik untuk kesehatan jantungku.

Ada apa denganku? Tenanglah, jangan bersikap layaknya orang bodoh, Ayuni! pikirku akan rasa tidak tenang dan gusar yang masih terus mendera.

Aku mengingatkan diriku sendiri kalau ada pertemuan dengan orang-orang penting setelah ini, jadi kau harus fokus dan membantu Bos Juna sebaik mungkin. Akan jadi masalah jika aku mengacaukannya hanya karena aku gugup berada di dekat Bos Juna. Oh, bahkan sejak kapan aku segugup ini dengan Bos Juna hanya karena ia tidak masuk kantor beberapa hari. Fokus, fokus, fokus.

“Mas senang karena kamu yang jadi asisten, Mas. Seenggaknya kita bisa ngobrol santai dan nggak perlu formal,” katanya.

Justru aku yang tidak bisa santai, Mas. Pikirku lagi. Ingin rasanya melompat keluar dari mobil dan kembali ke kantor, tapi sayang mobil sudah melesat ke jalanan.

1
aca
lanjut donk
Yhunie Arthi: update jam 8 malam ya kak 🥰
total 1 replies
aca
lanjut
Marwa Cell
lanjut tor semangatt 💪
Lindy Studíøs
Sudah berapa lama nih thor? Aku rindu sama ceritanya
Yhunie Arthi: Baru up dua hari ini kok, up tiap malam nanti ☺️
total 1 replies
vee
Sumpah keren banget, saya udah nungguin update tiap harinya!
zucarita salada 💖
Akhirnya nemu juga cerita indonesianya yang keren kayak gini! 🤘
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!