Kehidupan memang penuh lika-liku. Itulah yang terjadi pada kisah kehidupan seorang gadis cantik yang merupakan putri seorang pengusaha kaya raya. Namun hidupnya tidak berjalan semulus apa yang dibayangkan.
Jika orang berpandangan bahwa orang kaya pasti bahagia? Tapi tidak berlaku untuk gadis ini. Kehidupannya jauh dari kata bahagia. Ia selalu gagal dalam hal apapun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
...𝙹𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚊𝚖𝚋𝚒𝚕 𝚍𝚒𝚊 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚔𝚎𝚑𝚒𝚍𝚞𝚙𝚊𝚗𝚔𝚞 𝚃𝚞𝚑𝚊𝚗...
...𝓚𝓮𝓱𝓲𝓭𝓾𝓹𝓪𝓷 𝓟𝓮𝓷𝓾𝓱 𝓛𝓾𝓴𝓪...
"Raen!!" teriak Devan memanggil nama sahabatnya itu sembari mendorong brankar yang mana tubuh Arlla tergeletak tak berdaya diatasnya. Usai menemukan tubuh Arlla dari dalam danau, Devan membawa wanita itu ke London tanpa pikir panjang.
"Ada apa sama dia?" tanya Raen dengan tergopoh-gopoh ikut mendorong brankar tersebut menuju IGD.
"Nadinya melemah"
"Kamu tunggu disini" Raen bersama para perawat lainnya masuk ke dalam IGD dan segera melakukan penanganan pada Arlla. Sementara Devan, pria itu tidak bisa duduk dengan tenang dan terus berjalan mondar-mandir di depan pintu IGD.
"Kamu gak boleh kenapa-napa" gumam Devan
Pria itu mengusap wajahnya kasar. Ia kesal pada dirinya kenapa ia mengizinkan wanita itu berpergian sendirian tanpa dirinya. Untung saja tadi dirinya menyusul karena khawatir pada wanita yang sedang hamil besar itu.
Seorang perawat keluar dari IGD membuat Devan menoleh cepat dan langsung memberondong perawat itu dengan berbagai pertanyaan. "Bagaimana istri saya?"
"Dia gak kenapa-napa kan?"
"Bagaimana anak saya" tanya Devan dengan cemas.
"Tuan silahkan menunggu terlebih dahulu. Kami sedang melakukan penanganan pada pasien" Perawat itu berlari dengan cepat dan tak lama kembali lagi masuk ke dalam IGD.
Satu jam kemudian...
Raen keluar dari ruang IGD dengan wajah tertunduk lesu membuat Devan semakin cemas dibuatnya. "Raen, Arlla selamat kan?" Devan mengguncang kedua bahu sahabatnya itu menuntut jawaban.
Rasa khawatir membuncah dari dalam dadanya namun sahabatnya itu tak kunjung menjawab membuatnya semakin gusar. "Raen!! Jawab gue!!" teriak Devan
"Lo harus buat keputusan" Raen menatap dalam manik mata Devan yang memerah dan bekas air mata menutupi wajah pria tampan itu.
"Maksud lo apa?" bentak Devan tak sabaran.
"Lo harus pilih salah satu dari mereka"
Tubuh Devan limbung seketika. Nyawanya seolah ditarik mendengar jawaban Raen yang memintanya memilih antara istrinya atau anaknya.
"Apa lo gak bisa selametin keduanya?" teriak Devan emosi
"Lo becus gak sih jadi dokter!!"
"Devan!!" Pria itu memukul dinding rumah sakit dengan keras hingga buku-buku jarinya berdarah karena terluka.
"Gue gamau kehilangan salah satu dari mereka" Devan bersandar pada dinding. Ia tak bisa lagi menahan tangisnya. Biarkan orang memandang dirinya lemah karena memang itu kenyataannya.
"Aku mencintai mereka mereka berdua Raen" Sahabatnya itu memeluk tubuh Devan memenangkan pria sebatang kara itu. Ia sangat mengerti posisi Devan yang begitu mendambakan istrinya yang dia cintai itu. Dia juga sangat menyayangi anaknya yang masih di dalam kandungan wanita itu.
Tapi kini, pria yang kehilangan keluarganya itu diminta untuk memilih salah satu dari dua orang yang sangat berarti di hidupnya. Itu sama saja ia harus kehilangan salah satu diantara mereka. Devan tidak sanggup membayangkan apabila hal itu terjadi.
"Lo pikirin baik-baik"
"Waktu lo gak lama Dev. Kalau lo gak segera ambil keputusan, mereka berdua gak akan selamat" Devan mendongak dan matanya kembali menangis kala mendengar hal itu.
"Gak!! Itu gak boleh terjadi"
"Aku hanya punya mereka Raen untuk bertahan hidup" Devan memukul kepalanya sendiri. Trauma di hidupnya kembali muncul membuat emosinya tak terkendali.
Apa ia harus melihat kematian orang-orang tersayangnya untuk yang kesekian kalinya? Dua kali ia menyaksikan kematian orang -orang yang berarti di hidupnya. Ia tidak ingin hal itu terulang kembali di hidupnya.
"Gue bodoh Raen!! Gue BO DOH!!" teriak Devan dengan memukul kepalanya. Bayangan-bayangan pahit di masa lalunya seketika muncul dalam otaknya.
Pria itu semakin tersiksa dengan bayangan trauma masa lalunya. "Gue biarin dia jalan sendiri. Kenapa waktu itu gue nurutin permintaannya" Devan terus menerus menyalahkan dirinya sendiri dan menganggap dirinya tidak becus menjaga Arlla dengan baik.
"Dokter Raen" seorang perawat memanggil sahabat Devan itu membuatnya menoleh.
"Ini adalah surat yang harus ditandatangani oleh suami pasien" Perawat itu memberikan secarik kertas berisi persetujuan Devan nantinya.
Hanya sebuah surat namun bagi Devan dari surat itu akan membunuh salah satu orang tersayangnya. "Raen!! Gue gamau kaya gini"
"Apa gue gak berhak bahagia ya?" Devan frustasi dan terus memukul dirinya sendiri. Raen menahan tangan pria itu agar tidak melukai tubuhnya. Devan saat ini sangat terpuruk.
"Devan, gue tau posisi lo sekarang gimana" Raen memeluk tubuh sahabatnya itu memberikan ketenangan.
"Tapi kita butuh melakukan tindakan dengan cepat. Agar kita bisa melakukan penyelamatan pada salah satu dari mereka. Jika tidak, keduanya akan mati"
'Dasar anak sialan'
'Anak haram'
'Anak gatau diri'
'Devan, tolong mama'
'Sakit, pa'
'Jangan pukul Devan'
Otaknya begitu berisik dengan suara-suara yang mengganggu fokusnya. Raen mengguncang bahu temannya agar pria itu sadar. Ia butuh persetujuan Devan secepatnya agar lebih cepat melakukan tindakan. Tanpa tanda tangan pria itu, Raen tidak bisa melakukan apapun sementara setiap detiknya itu sangat berharga bagi nyawa pasien.
"Devan!! Sadar!!"
Damn
Devan kembali pada dunianya di masa lalu. "Mama!!"
"Papa!!"
"Mereka berdarah Raen!!"
Devan menatap orang yang berlalu lalang dengan tatapan kosong. Di bayangannya, ia menatap kedua orang tuanya yang sedang tergeletak di dalam mobil dengan kondisi bersimbah darah dan berteriak meminta bantuan padanya.
"Mama!! Papa!! Tunggu Devan" Bayangan masa kecilnya yang ingin menolong kedua orang tuanya itu namun tiba-tiba tubuhnya ditahan oleh seseorang membuat rasa bersalah selalu menghantui sepanjang hidupnya.
"Darah" Devan menatap tangannya yang bersih namun di matanya ada banyak sekali darah yang mengalir dari tangannya itu.
"Papa mau potong tangan aku" Bahu Devan berguncang keras membuat Raen sangat kesulitan mengendalikan pria itu.
"Devan!! Sadar!!" teriak Raen yang ikut frustasi dengan kondisi seperti ini. Disisi lain ada Arlla dan bayinya yang sedang bertaruh nyawa. Namun di hadapannya ada Devan yang merasakan kesakitan karena traumanya.
"Inget Arlla" Raen menepuk pipi Devan cukup keras untuk mengembalikannya kesadaran Devan pada dunianya sekarang.
"Gimana kondisinya?"
"Lo harus cepetan tanda tangan" Raen menyodorkan secarik kertas dan dibaca dengan intens oleh Devan.
"Apa aku akan kehilangan salah satunya?" Devan tertawa getir mengingat hidupnya yang tak pernah berjalan sesuai keinginannya. Kebahagiaan seolah menjauhinya dan begitu anti dengan dirinya.
"Pilih Arlla atau bayi lo?" Raen menatap wajah Devan intens.
"Arlla" jawab Devan dengan rasa putus asa.
Sekali lagi ia harus menyaksikan kematian lagi di depan matanya. Tangan pria itu tergerak untuk membubuhkan tanda tangan di kertas yang sedang ia pegang itu.
"Sekali lagi Raen"
"Sekali lagi gue ngerasain kehancuran yang sama" Tatapannya yang kosong dan tak ada gairah hidup di pancaran matanya.
"Gue yakin setelah ini akan ada kebahagiaan yang menanti lo" ucap Raen meyakinkan pria itu kemudian dengan segera masuk ke dalam ruangan untuk melakukan tindakan
"Tuhan, berikan kesempatan untuknya agar merasakan bahagia"