dengan gemetar... Alya berucap, "apakah kamu mau menjadi imam ku?? " akhirnya kata kata itu pun keluar dari lisan Alya yg sejak tadi hanya berdiam membisu.
"hahhh!!! apa!!... kamu ngelamar saya? "ucap afnan kaget
sambil menunjuk jari telunjuknya ke mukanya sendiri.
dengan bibir yg ber gemetar, Alya menjawab" i ii-iya, saya ngelamar kamu, tapi terserah padamu, mau atau tidaknya dgn aku... aku melakukan ini juga terpaksa, nggak ada pilihan.... maaf kalo membuat mu sedikit syokk dgn hal ini"ucap Alya yg akhirnya tidak rerbata bata lagi.
dgn memberanikan diri, afnan menatap mata indah milik Alya, lalu menunduk kembali... karna ketidak kuasa annya memandang mata indah itu...
afnan terdiam sejenak, lalu berkata "tolong lepaskan masker mu, aku mau memandang wajahmu sekali saja"
apakah Alya akan melepaskan masker nya? apakah afnan akan menerima lamaran Alya? tanpa berlama-lama... langsung baca aja kelanjutan cerita nya🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
perubahan sikap alya dan ketakutan saat berbicara dengan alya
Malam itu, langkah Alya begitu cepat dan terarah, seolah ia ingin menjauh dari segala sesuatu yang mengganggunya.
Begitu melihat Gus Afnan dan temannya, sikapnya langsung berubah menjadi dingin dan penuh jarak. Wilona yang berjalan di sampingnya tampak bingung dengan perubahan drastis pada sahabatnya.
"Alya, kamu kenapa?" tanya Wilona dengan nada khawatir, melihat ekspresi Alya yang begitu berbeda dari biasanya.
Alya menatap Wilona dengan mata yang kosong, hampir tanpa kehidupan. "Kita ke kantor polisi," jawabnya datar, tanpa emosi.
Wilona terkesiap. "Apa? Ke kantor polisi? Udah malam banget, Alya. Kenapa nggak pulang aja?"
"Ya sudah, kita pulang," jawab Alya dengan suara yang hampir tak terdengar, kaku dan dingin.
Wilona terdiam, tidak bisa memahami apa yang sedang terjadi dengan sahabatnya. Di dalam mobil, dia berusaha mencari cara untuk membuka percakapan, tetapi Alya tetap terdiam, menatap ke luar jendela dengan pandangan kosong.
"Eh, Alya... kamu tadi serius mau ke kantor polisi? Ada apa?" tanya Wilona, berusaha menghilangkan keheningan yang semakin menekan.
Alya tetap tak menoleh, suaranya tetap datar dan dingin. "Mau nanya ke bapak yang tadi, di trotoar mana anaknya tinggal."
Jawaban itu membuat Wilona semakin bingung. "Alya, kamu nggak... nggak merasa aneh gitu?" tanyanya ragu.
Alya tidak menjawab, hanya mengangguk kecil. Wilona bisa merasakan ketegangan di udara, dan dia semakin cemas.
Ada sesuatu yang tidak biasa dengan Alya, namun Wilona tahu, ini bukanlah Alya yang biasanya—ini adalah Alya yang sedang mengalami perubahan drastis dalam dirinya.
Selama tiga hari ke depan, Alya akan terus seperti ini, tanpa bisa dikendalikan.
Wilona hanya bisa berharap agar sahabatnya segera kembali menjadi dirinya yang dulu, yang ceria dan penuh semangat.
Namun, untuk saat ini, yang bisa dia lakukan hanyalah memberikan ruang dan waktu bagi Alya untuk melewati masa-masa sulit ini.
......................
Setelah mereka sampai di apartemen Wilona, kelelahan akhirnya membawa Wilona terlelap di sofa. Alya yang melihat sahabatnya tertidur dengan tenang, tak bisa menahan dorongan hatinya untuk keluar. Dengan langkah cepat, ia berjalan menuju pintu dan keluar dari apartemen. Tak ada yang bisa menahan langkahnya, tatapannya yang dingin menunjukkan tekad yang kuat.
Alya turun melalui lift menuju lantai utama, tanpa sedikit pun menunjukkan kelelahan. Sesampainya di luar, matanya menangkap sekelompok tukang ojek yang biasa mangkal di depan gedung. Alya tahu apa yang dia inginkan, dan tanpa ragu ia mendekat.
"Mau ojek, neng?" sapa salah satu tukang ojek, melihat sosok gadis muda yang tampak tegas itu.
"Boleh saya sewa motornya, Pak?" Alya menjawab dengan nada datar, tatapan matanya tetap tajam, penuh keputusan.
Tukang ojek itu sedikit terkejut, namun segera mengangguk, "Ouh, iya mba, boleh banget."
Alya mengeluarkan jam tangannya dari pergelangan tangan, siap menyerahkannya sebagai jaminan, namun si bapak langsung menolaknya.
"Eh, nggak usah, neng. Bawa aja motornya. Saya percaya kok sama neng." Ucapnya dengan sedikit kikuk, mencoba mengurangi ketegangan yang tiba-tiba muncul.
Alya hanya mengangguk singkat, lalu menaiki motor dan menghidupkan mesinnya.
Tanpa menoleh, ia mengarahkan motor menuju jalan raya, mengikuti petunjuk arah di aplikasi peta yang tertempel di layar ponselnya. Tujuannya jelas—kantor polisi.
Di tempat yang tak jauh dari sana, Afnan yang kebetulan sedang dalam perjalanan bersama teman-temannya, melihat sosok Alya yang melintas.
Refleks, ia terkejut dan hampir tak percaya. "Astaghfirullah, itu beneran?" ujarnya tanpa sadar, membuat suasana dalam mobil mendadak hening. Teman-temannya yang ada di dalam mobil menoleh dengan kebingungan, menatap Afnan.
"Apa-apaan sih, Nan?" tanya Gus Ziyan, masih tak mengerti. "Kamu kepikiran cewek itu tadi?"
Afnan terdiam sejenak, lalu menggelengkan kepala dan mencoba meredakan kebingungannya.
"Apa sih... Ngaco kamu," jawabnya buru-buru, mencoba menutupi kekalutannya. "Kayaknya aku harus pulang ke apartemen. Baru sadar, ada banyak pekerjaan yang harus disiapkan untuk ke Kalimantan. Iya kan, Gam?" Afnan mencoba beralih fokus.
"Ou iya, iya... Kamu ini, Nan. Bisa-bisanya lupa," jawab agam dengan nada ringan, memahami maksud Afnan yang mencoba mengalihkan perhatian.
Setelah percakapan itu, Reza mengantarkan Afnan dan Agam ke apartemen Afnan. Tinggallah Gus Ziyan di apartemen Reza, sementara Afnan kembali tenggelam dalam pikirannya.
Di luar sana, Alya terus melaju, meninggalkan jejak ketegasan di jalanan malam. Tak ada yang tahu apa yang benar-benar ada di dalam hatinya, selain dia sendiri.
baper