Hera membaca novel Fantasi yang tengah trending berjudul "Love for Ressa", novel klasik tentang Dante, seorang Duke muda yang mengejar cinta seorang gadis bernama Ressa.
Tentunya kisah ini dilengkapi oleh antagonis, Pangeran Mahkota kerajaan juga menyukai Ressa, padahal ia telah bertunangan dengan gadis bernama Thea, membuat Thea selalu berusaha menyakiti Ressa karena merebut atensi tunangannya. Tentunya Altair, Sang Putra Mahkota tak terima saat Anthea menyakiti Ressa bahkan meracuninya, Ia menyiksa tunangannya habis-habisan hingga meregang nyawa.
Bagi Hera yang telah membaca ratusan novel dengan alur seperti itu, tanggapannya tentu biasa saja, sudah takdir antagonis menderita dan fl bahagia.
Ya, biasa saja sampai ketika Hera membuka mata ia terbangun di tubuh Anthea yang masih Bayi, BAYANGKAN BAYI?!
Ia mencoba bersikap tenang, menghindari kematiannya, tapi kenapa sikap Putra Mahkota tak seperti di novel dan terus mengejarnya???
#LapakBucin
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salvador, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19
...****************...
“Wah, aku baru tau ada mawar putih di sini,” Ujar Anthea, sebelah tangannya menyusuri bunga mawar yang tengah bermekaran, sedangkan sebelahnya lagi tertaut dengan tangan besar Altair.
Pagi ini keduanya tengah menyusuri taman akademi, karena hari ini adalah akhir pekan, sehingga keduanya tak ada kelas. Sebelumnya beberapa kali Anthea pernah ke sini, tapi karena taman akademi cukup luas ia belum menyusuri secara keseluruhan.
“Ingin gelar tikar di sini saja?” Tanya Altair, Anthea mengangguk.
Sepasang manusia itu memang berencana untuk piknik, Altair mulai menggelar kain tipis yang mereka gunakan sebagai alas di dekat sebuah pohon. Lalu mengatur camilan-camilan yang akan keduanya nikmati beserta satu novel untuk Anthea baca.
Altair memperhatikan Anthea yang mengambil setangkai bunga mawar putih, membawanya ke tempat mereka duduk.
“Jika Anthea mau, aku akan buatkan taman untuk bunga mawar putih di istana,” Ujar Altair, tangannya beralih mengambil mawar itu dan menyelinapkan nya di telinga Anthea, Anthea tersenyum manis.
Sangat cantik.
“Tidak perlu, bukannya Ratu sudah punya taman mawar,” Ucap Anthea. Kebetulan semua urusan taman adalah tanggung jawab Ratu, jika Altair ingin menambah taman, tentu harus izin pada ibunya lebih dulu.
Anthea mulai menikmati kue kering yang mereka bawa, sesekali menyuapkan Altair. Laki-laki itu hanya mau makan makanan manis seperti ini jika bersama Anthea. Altair menuang teh dari teko kecil ke cangkir mungil yang mereka bawa.
Merasa ada yang kurang, Anthea melihat sekeliling barang-barang mereka, gadis itu menatap Altair.
“Altair, kau membawa kanvas dan cat, kan?” tanya Anthea, memiringkan kepala sambil memandang ke arah Altair.
Altair hanya tersenyum tipis, menyandarkan punggungnya ke pohon. “Tenang saja, Anthea. Aku sudah meminta Rainer dan Draka membawakannya.”
Seolah mendengar namanya dipanggil, Rainer dan Draka muncul dari jalan setapak dengan langkah santai. Draka membawa dua kanvas kecil di satu tangan dan kotak cat di tangan lainnya, sementara Rainer membawa peralatan tambahan. Senyuman jahil menghiasi wajah Rainer.
“Ah, jadi ini alasannya kalian memintaku dan Draka menjadi kurir hari ini,” kata Rainer sambil menyerahkan kanvas pada Altair. “Tentu saja kami paham, kalian terlalu sibuk menikmati kencan di taman untuk membawa barang berat.”
Rainer menambahkan, “Membawa teh dan kue saja sudah cukup untuk Altair. Sisanya? Serahkan pada kami, dua pahlawan tanpa tanda jasa.”
Anthea tertawa kecil, bisa-bisanya dua putra Duke ini merangkap menjadi babu Altair.
“Aku tidak menyuruh kalian untuk berkomentar sarkastik di sini,” Ujar Altair acuh
Draka menyeringai. “Komentar kami adalah bonus. Nikmatilah.”
Setelah menyerahkan barang-barang, Rainer dan Draka menjauh, di hari libur ini keduanya juga akan menghabiskan waktu masing-masing.
“Jadi, tema lukisan hari ini adalah pemandangan.” Ujar Anthea, Altair mengangguk menyetujui.
Keduanya mulai menorehkan cat di kanvas masing-masing. Anthea yang duduk bersimpuh memangku kanvas kecilnya, menggunakan cat putih untuk warna mawar yang ia gambar.
“Aku selesai,” ujar Anthea setelah beberapa saat.
Ketika ia hendak melirik lukisan Altair, laki-laki itu dengan cepat menutupi lukisannya, “Tidak boleh dilihat sebelum selesai, Anthea.” Ujar Altair dengan suara lembutnya.
Anthea menyibikkan bibir, bagi Altair yang memang punya minat lebih pada lukisan pasti laki-laki itu akan membuat lukisan dengan begitu indah, walau terkesan simpel.
“Jangan lama-lama,” pinta Anthea, Altair mengangguk.
Gadis itu beralih mengambil novel yang ia bawa, salah satu dari sekian banyak novel yang ia pinjam di perpustakaan. Kemarin, Altair menemaninya mencari novel-novel yang Anthea sukai, laki-laki itu bilang agar Dexter tak perlu bertemu Anthea dengan alasan bertukar buku.
Kekanakan sekali.
Anthea mulai membaca halaman pertengahan, lanjutan yang ia baca semalam. Para penulis di zaman ini menurut Anthea memiliki gaya bahasa yang lebih indah di banding orang-orang modern, diksi yang digunakan sangat berkesan sehingga Anthea juga hobi membaca di sini.
“Selesai,” ujar Altair meletakkan kuasnya.
Melirik pada Anthea yang masih fokus pada bacaannya, Altair kembali berujar, “Aku sudah selesai, Antheaa.” Panggilnya lagi, Altair tak ingin diabaikan hanya karena sebuah buku.
Anthea menutup novelnya ketika sudah menyelesaikan salah satu bab.
“Ayo, tunjukkan bersama-sama,” Anthea mengambil kanvas yang tadi ia letakkan pada posisi dibalik.
“Satu, dua, tiga..” Keduanya memperlihatkan gambar masing-masing.
Anthea melukis pemandangan di depan mereka, taman yang penuh dengan bunga mawar putih dan matahari yang baru naik seperempat. Gambarnya bagus, tak terlalu buruk dan tak terlalu indah seperti seniman.
“Kan aku sudah bilang gambar pemandangan.” Ujar Anthea melihat lukisan Altair.
“Ini kan pemandangan, Anthea.” Altair menjeda sebentar, “Pemandangan yang paling indah bagiku,” lanjutnya.
“Ish.” Anthea berdecak kecil, Maksudnya pemandangan itu, ya pemandangan alam saja.
Altair memang melukis taman yang mereka datangi, tapi dengan gambar seorang gadis berambut coklat yang menjadi objek utama, siapa lagi jika bukan Anthea.
Ini bukan pertama kali Altair melukisnya, sejak dulu jika mereka menggambar bersama, Anthea akan menentukan tema. Tapi, dari semua tema itu kebanyakan Altair akan tetap melukisnya.
Seperti menggambar patung hiasan Ratu yang cantik, Altair akan melukiskan seolah Anthea sedang berfoto dengan patung itu. Atau dengan tema hewan, Altair akan melukis Anthea yang sedang mengelus kucing. Bahkan, saat Anthea meminta Altair melukis kuda Duke Ervand yang begitu sangar, Altair akan membuat kuda itu menunduk patuh pada Anthea di lukisannya.
Tapi tak apa, lukisan Altair begitu indah. Bakat laki-laki itu dalam melukis tak perlu di ragukan.
Dan itu membuat Anthea kagum untuk yang kesekian kalinya, pria yang bisa melukis adalah type ideal Anthea.
“Bagus sekali,” Ujar Anthea memandangi lukisan Altair.
“Punya Anthea juga bagus,” ucap Altair.
Anthea sedikit cemberut, lukisannya tak ada apa-apa dibanding milik Altair, hanya pemandangan taman biasa.
“Punyaku jelek,” ujar Anthea memandangi lukisannya.
Tapi dengan segera ia meralat, “Tapi tak apa, milikmu benar-benar indah. Kalau kita melukis lagi, kau harus membuat yang lebih bagus lagi ya,” Altair mengangguk antusias, tentu akan menuruti permintaan Anthea.
Bukan tanpa alasan Anthea tak jadi mengeluhkan lukisannya. Dulu saat usia mereka sekitar 13 tahun, Anthea pernah insecure sekali karena gambarnya tak sebagus Altair. Saat mereka melukis kembali beberapa hari setelahnya, Altair tak menggambar dengan serius.
Saat itu Anthea menggambar buah apel, lebih bagus daripada gambar anggur Altair yang asal-asalan. Anthea menyadari laki-laki itu sengaja menurunkan kualitas lukisannya agar Anthea tak merasa minder.
Sejak itu Anthea tak lagi membandingkan lukisannya dengan Altair, Anthea tak ingin laki-laki itu sengaja melukis asal untuk membuat Anthea senang saja.
***
tbc.