~Dibuat berdasarkan cerpen horor "Anna Van de Groot by Nath_e~
Anastasia ditugaskan untuk mengevaluasi kinerja hotel di kota Yogyakarta. siapa sangka hotel baru yang rencana bakal soft launching tiga bulan lagi memiliki sejarah kelam di masa lalu. Anastasia yang memiliki indra keenam harus menghadapi teror demi teror yang merujuk ada hantu noni Belanda bernama Anna Van de Groot.
mampukah Anastasia mengatasi dendam Anna dan membuat hotel kembali nyaman?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nath_e, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencari akar masalah
Kelima gadis itu duduk saling berjauhan. Wajah lelah dan sedih mendominasi diikuti ketegangan yang luar biasa. Anastasia membawa kelimanya ke ruangan meeting. Ada Adam, pak Broto, Ki Slamet, dan Nathan juga. Pihak keamanan juga dihadirkan Anastasia untuk memastikan cctv yang merekam kejadian di koridor.
Sementara itu di sudut ruangan, Anastasia meletakkan boneka jelek yang ditakuti oleh kelima gadis itu. Rupa boneka itu tampak polos, dengan gaun merah lusuh dan bola mata yang tampak hidup. Bayangan kelima gadis itu terlihat jelas di lapisan bening matanya membuat kehadiran boneka itu terasa mengancam.
Anastasia berdiri di tengah ruangan, memandang boneka itu dengan sorot mata tajam.
"Saya akan mengambil boneka ini," katanya akhirnya, memecahkan kebisuan.
Dina langsung pani. "Mbak, jangan dong! Jangan bawa boneka itu! Kalau mbak membawanya pergi, dia akan lebih marah!"
Anastasia berkata tegas. "Marah, kenapa dia marah itu karena ulah kalian sendiri! Kalau teman kalian nggak iseng pake acara manggil-manggil begitu semua ini nggak bakalan terjadi.”
Citra semakin ketakutan. "Udah lah Din, lepasin aja … lagipula, aku takut dia bakal ngejar kita kalau tetap dipertahankan.”
Anastasia menatap mereka tajam satu persatu. "Kalian yang memulai semua ini. Siapa di antara kalian yang memanggilnya?" Ia bertanya tapi tatapan mata Anastasia tertuju pada Bella sesuai petunjuk dari hasil rekognisi-nya.
Kelima gadis saling pandang. Tidak ada yang berbicara, tetapi rasa bersalah terlihat jelas di wajah salah satu dari mereka, Bella. Anastasia mendekatinya dengan langkah perlahan.
Anastasia berbisik dingin. "Bella, apa kamu tahu sesuatu yang tidak kami tahu?”
Bella tergagap. "Aku ... aku tidak bermaksud untuk ... itu cuma permainan... aku tidak tahu ini akan terjadi!" Ucapnya menahan air mata yang jatuh.
Meilani terkejut. "Kamu? Jadi semua ini salahmu?!"
Bella membela diri, suaranya bergetar menahan tangis. "Aku cuma ... aku cuma mau nunjukin ke Citra kalau boneka Anna itu nggak bakal bikin gerak. Aku meniru mantra Bloody Mary yang terkenal. Itu tidak serius! Aku juga nggak tahu kalau itu bisa benar-benar memanggil sesuatu!"
Mendengar pengakuan Bella, terang saja keempat sahabatnya kesal dan mengumpat.
“Kamu gila, nggak mikir banget sih kalau itu bahaya!” Wulan, gadis dengan bandana besar di kepalanya meluapkan emosi.
“Pantes aja Citra ketakutan banget ternyata kalian sekongkol?!” Sinta bertanya dengan nada tinggi.
“Sudah, berhenti! Nggak guna juga kalian saling menyalahkan!” Anastasia memandang Bella dengan tatapan tajam.
"Permainanmu telah membuka pintu yang tidak seharusnya dibuka. Kamu tidak hanya memanggilnya, kau memberi dia medium untuk menetap—boneka ini." Ia menunjuk boneka Anna yang tergeletak di sudut ruangan.
Bella menangis terisak, sementara gadis-gadis lain memandangnya dengan campuran marah dan takut.
Anastasia menyentuh boneka yang terlihat hidup di matanya. “Boneka ini terpaksa saya sita. Saya tidak mau boneka ini membawa malapetaka buat hotel saya nanti.”
Dina akhirnya bicara setelah berpikir sesaat. “Jika itu solusi yang terbaik, silahkan saja mbak. Tapi, apa jaminannya kami selamat dari teror hantu dan boneka itu?”
“Ki?!” Anastasia memanggil Ki Slamet.
Lelaki dengan pakaian khas Jawa itu tersenyum tipis. “Kalian akan saya ruwat untuk menghilangkan sial sekaligus memutuskan tali gaib yang menjerat kalian dengan boneka itu.”
“Ruwat?!” Kelima gadis itu bertanya kompak, tak mengerti dengan ritual yang bakal mereka jalani.
Mau tidak mau kelimanya harus mengikuti keinginan Anastasia karena jika tidak mereka harus bersiap menghadapi tuntutan yang tidak main-main. Anastasia mengancam mereka dengan tegas hingga kelimanya tidak berkutik.
“Ki, bawa boneka ini jauh-jauh saya tidak mau ini ada di hotel kami.”
Dengan hati-hati, Anastasia mengangkat boneka Anna. Boneka itu terasa lebih berat dari yang seharusnya, seolah-olah sesuatu di dalamnya menahan untuk tidak pergi.
“Ikutlah dengan Ki Slamet. Tidak ada tempat untukmu disini!” Anastasia bicara pada boneka itu.
Suara tawa kecil terdengar samar. Anastasia menghentikan langkahnya, tapi tidak menoleh. Ia tahu boneka itu sudah mulai menaruh perhatiannya padanya. Anastasia menarik nafas panjang, lalu menyerahkan pada Ki Slamet.
“Kamu yakin, nduk? Mungkin boneka ini bisa membantumu mengatasi makhluk-makhluk penghuni hotel ini.” Ki Slamet bertanya memastikan.
“Saya yakin, Ki. Boneka ini justru akan semakin menambah masalah.”
Ki Slamet menatap datar boneka lusuh dan jelek itu. Ia menerimanya dan mengangguk pelan. “Baiklah kalau begitu, serahkan saja padaku.”
Sepeninggal Ki Slamet dan yang lainnya, Anastasia terpaku di dalam ruang kerjanya. Kepalanya pusing mengingat begitu banyak hal mengejutkan terjadi di pagi hari. Adam yang masih setia menemani Anastasia sibuk mempelajari data dari Wisnu. Ia mencari sebuah foto yang pernah dilihatnya sebelum jual beli terjadi. Tapi sayangnya foto itu tidak ada meski berkali kali ia membuka kotak khusus yang dibawakan Wisnu beserta akta jual beli.
Mata Adam tertuju pada secarik kertas yang sudah menguning. Tertulis alamat yang kelihatannya penting. Setelah beberapa saat memeriksa, ia yakin bahwa ini bisa membawanya kepada pemilik asli Losmen Flamboyan.
Adam berbicara dengan antusias mendekati Anastasia "An, lihat ini. Kayaknya ini alamat asli yang masih dihuni oleh pemilik asli Losmen Flamboyan atau keluarganya."
Lamunan Anastasia buyar, ia terlihat penasaran dengan yang ditunjukkan Adam.
"Ini dekat rumah mbok Parmi. Kita kesana?”
“Ide bagus. Kita harus kesana untuk memastikan. Siapa tahu kita bisa mendapatkan cerita atau jawaban tentang losmen itu."
Anastasia segera bangkit dari kursi, senyum kecil muncul di wajahnya. "Ayo kita kesana sekarang. Semakin cepat kita mengetahui tentang sejarah losmen itu maka semakin kita bisa mengungkap hantu none Belanda itu dan segera membersihkan hotel.”
“Tapi jangan terlalu berharap. Aku takut yang menempati alamat ini bukan lagi pemilik aslinya. Ini sudah berlalu cukup lama.”
“Walaupun mereka bukan pemilik asli, mungkin mereka tahu sesuatu tentang tempat itu. Semoga saja ada cerita yang diturunkan ke anak cucu mereka.” Anastasia mencoba berpikiran positif.
Adam menarik nafas dalam-dalam. "Baiklah. Tapi jangan berharap terlalu banyak, ya. Ini mungkin hanya petunjuk kecil."
Beberapa jam kemudian, Adam dan Anastasia tiba di alamat yang tertera di kertas itu. Sebuah rumah tua berdiri di antara deretan pohon rindang, suasananya sunyi, namun terlihat masih dihuni. Mereka saling bertukar pandang sebelum mengetuk pintu.
Adam berbisik pada Anastasia sebelum mengetuk. “Semoga ini langkah yang tepat."
Anastasia tersenyum menenangkan. "Tidak ada salahnya mencoba, Dam. Kita di sini untuk mencari kebenaran."
Pintu kayu tua itu terbuka perlahan, dan seorang lelaki berusia empat puluh tahunan muncul di baliknya. Matanya penuh kehati-hatian, namun ia tersenyum kecil.
"Ya? Ada yang bisa saya bantu?" Raut wajahnya terlihat bingung sekaligus curiga.
Adam mencoba terlihat ramah. "Maaf mengganggu. Nama saya Adam, dan ini Anastasia. Kami sedang menelusuri sejarah Losmen Flamboyan, dan menemukan alamat ini di dokumen lama. Apakah mungkin bapak, atau mungkin keluarga Anda, memiliki hubungan dengan tempat itu?"
Lelaki itu terdiam sejenak, tatapannya berubah saat melihat tulisan di secarik kertas usang yang digenggam Adam.
"Losmen Flamboyan, ya? Itu tempat yang penuh kenangan ... Masuklah. Mungkin saya bisa membantu."
Adam dan Anastasia saling melirik dengan rasa penasaran dan lega. Mereka mengikuti lelaki itu masuk. Saat duduk di ruang tamu, Anastasia melihat barisan foto jaman dahulu yang memperlihatkan tentang silsilah keluarga. Tatapannya berhenti pada salah satu foto dengan background tulisan Losmen. Siluet sosok yang dikenalnya terlihat samar berdiri tepat di depan pohon Flamboyan.
Ia mendekat dan memastikannya. “Astaga, ini Anna … Anna Van de Groot!”
Bersambung …,