Seorang pria muda yang sedang menunggu interview dan seraya menunggu panggilan, dia memilih meluangkan waktunya untuk menjadi driver ojek online, tapi pria yang bernama Junaidi ini cukup apes dan apesnya ini bukan hanya sekali dua kali, tapi berkali-kali.
Singkatnya, pada malam itu pria muda tersebut tengah terburu-buru untuk mengantarkan pesanannya, tanpa sengaja, dia menyerempet nenek tua yang sedang menyebrang jalan.
Bukannya menolong, dia justru acuh tak acuh dengan alasan takut diberi bintang satu jika terlambat datang.
Namun, siapa sangka kalau nenek yang dia serempet bukanlah sembarang nenek dan setelah malam itu, mata batinnya terbuka. Inilah KUTUKAN SEMBILAN PULUH SEMBILAN HARI yang harus Junaidi terima.
Cerita ini merupakan karya fiksi murni. Nama tempat, kejadian dan karakter yang disebutkan tidak memiliki koneksi dengan kenyataan dan hanya untuk tujuan kreatif semata ditulis oleh Tsaniova.
Jam Update pukul 9.00 pagi dan malam pukul 19.00 wib
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsaniova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ternyata, Ini Kutukan
Sami menatap Junaidi yang sepertinya sedang meriang membuatnya sampai tak konek, terlihat pria itu menggigil kedinginan, wajahnya terlihat pucat. Ya, dapat melihat mahluk menyeramkan adalah pukulan besar di hidupnya, apalagi ini semua terjadi dengan begitu tiba-tiba.
"Jun, lu mikirin apa?" tanya Sami seraya menepuk bahunya.
Junaidi menoleh, dia menggeleng.
"Gua lagi mikir, kenapa ini semua terjadi, Sam," jawabnya dengan suara lesu. Untungnya, Ki Joko begitu sabar, dia lebih memilih menikmati rokoknya dalam-dalam seraya menunggu pasiennya.
"Jadi, gimana awalnya? Udah inget?" tanya Ki Joko lagi dan Junaidi mengangguk, dia pun bercerita.
Flashback on.
Kemarin malam, Junaidi yang berprofesi sebagai tukang ojek online itu mendapatkan orderan, si costumer memintanya membelikan es kopi di kedai. "Om, jangan lama-lama, ya. Saya nggak mau esnya udah adem sampai di rumah!" pesan si costumer.
"Lah, kenapa lu nggak beli sendiri, minum di warung kopinya sekalian?" tanya Junaidi yang terlanjur menerima pesanan tersebut. Dan karena hari ini sudah cukup apes, Junaidi pun tak mau makin apes jika costumer ini nantinya memberikan bintang satu padanya.
Ya, Junaidi pun mengeluarkan seluruh tenaganya, dia yang ingat betul sang adik sedang membutuhkan biaya sekolah membuatnya harus rajin bekerja, walau sudah malam sekalipun Junaidi akan menerima orderan.
Dengan terburu-buru, Junaidi mengendarai sepeda motornya, tepat di jalanan gelap entah datang dari mana ada seorang nenek-nenek yang menyebrang jalan.
"Ciiiiiiiiiiiittt!" Junaidi menarik remnya, beruntung si nenek hanya sedikit tersundul, tapi walau begitu tetap membuatnya terjatuh.
"Aduh, nih pasti nenek pikun makanya malem-malem masih keliaran," gumam Junaidi seraya turun dari motor, pria berjaket ojol itu membantunya untuk berdiri, dia membawa si nenek ke tepi jalan.
"Nek, tunggu di sini, ya. Jun pasti tanggungjawab, tapi Jun harus kerja dulu, ntar selesai kerja Jun balik sini lagi," kata Junaidi yang kemudian berusaha pergi. Namun, si nenek sudah menahan jaket bagian belakang Junaidi.
"Mau kemana kamu?" tanya si nenek dengan begitu geram.
"Nenek nggak mau nunggu, nenek mau diantar pulang sekarang!" ucapnya dengan mata melotot pada Junaidi.
"Aduh, gimana dah ini. Apa gua bawa si nenek anter es? Tapi, kalau dia rewel gua bisa repot, mana pesenan esnya banyak lagi," gumam Junaidi dalam hati.
"Pokoknya nenek tunggu di sini!" kata Junaidi yang kemudian benar-benar pergi dari tempat gelap tersebut.
Tidak lama, setelah itu dia dapat melihat mereka yang tak kasat mata, terkejut dengan apa yang dilihatnya membuat sopir ojol tersebut nyusruk ke semak-semak. Lalu, Junaidi yang merasa pusing masih sempat melihat si nenek berdiri di dekatnya terjatuh.
Flashback off.
"Ini kutukan buatmu karena sudah mengabaikanku!" ucap Junaidi yang menirukan bagaimana si nenek bicara padanya kemarin malam.
Mendengar cerita tersebut membuat Ki Joko mengerti apa yang Junaidi alami, dia pun mulai melepaskan rokok yang diapitnya, lalu memejamkan mata dengan mulut yang kokat-kamit.
Junaidi dan Sami saling menatap, mereka menunggu cukup lama dan sekarang Ki Joko sudah membuka matanya, dia pun mengusap-usap jenggotnya yang tidak terlalu panjang itu. "Bagaimana, Ki?" tanya Junaidi dan Sami bersamaan.
"Begini, sebenarnya kutukan ini akan hilang dengan sendirinya, tapi setelah sembilan puluh sembilan hari," jawab Ki Joko.
Sami bersyukur, tapi tidak bagi Junaidi karena Sembilan puluh sembilan hari terlalu lama baginya.
"Apa lagi, nggak ada yang bisa saya lakukan, kutukan ini dapatnya dari nenek yang kekuatannya lebih kuat dari saya, silahkan bayar biayanya. Ingat, kutukan ini akan hilang dengan sendirinya," lanjut Ki Joko seraya menatap Junaidi juga Sami.
"Ki, dari mana Aki tau kalau kutukan ini akan hilang dengan sendirinya?" tanya Junaidi yang penasaran.
Lalu, Ki Joko tertawa terbahak-bahak, kemudian 'Brak!' Suara Ki Joko menggebrak mejanya yang penuh dengan peralatan perdukunannya. Dia menatap Junaidi tajam. "Anak muda, kamu meremehkan kekuatan saya, hah!" sergah Ki Joko.
"Maaf, Ki. Kami hanya penasaran, apa Ki Joko nggak bisa menutup mata batin Juna lagi, Ki?" tanya Sami, dia sendiri ikut takut dan masih berdebar karena tiba-tiba saja Ki Joko menggebrak mejanya.
Ki Joko mengangkat jari telunjuknya, dia menyuruh dua pemuda itu untuk mendengarkan alarmnya yang menyuruhnya untuk tutup dan istirahat. "Kalian dengar? Kalau dengar silahkan pergi! Jangan lupa bayar biaya administrasi dan konsultasinya!" jawab Ki Joko.
"Udah, ayo pulang! Terima nasib aja, lagian cuma tiga bulan, kok!" ajak Sami seraya membantu Junaidi bangun dari duduk.
"Lu enak banget bilang tiga bulan doang, gua yang ngerasain sehari aja serasa setahun, apalagi sembilan puluh sembilan hari, co!" jawab Junaidi dengan kesal, dia menatap datar sahabatnya.
Sekarang, Sami mengambil dompet Junaidi dan membayar semua tagihannya, tersisa hanya lima puluh ribu rupiah dan itu untuk bekal besok dia makan. "Mahal amat, Sam. Nanya gitu doang bayar dua ratus ribu."
Junaidi/Juna
"Mau gimana, kalau kita nggak ke orang pinter mana tau juga apa yang lu alamin, Jun." Sami segera berjalan ke arah motornya terparkir dan Junaidi memilih memejam makan membuatnya tersandung pot bunga yang berada di teras KI Joko.
"Astaga, kasian banget, sih!" Sami pun kembali untuk membantu sahabatnya.
Sementara itu, di dalam rumah, Ki Joko menemui kakaknya di kamar sebelah, dia bertanya pada wanita tua yang sedang menyisir rambut putihnya. "Mbak, nangopo sampean ngutuk cah kae? Ndeloke raine mesakne, hahaa," Ki Joko bertanya juga menertawakannya.
"Salahe sopo, aku jalok diterke bali malah ditinggal lungo, yo wis ben! Ben kapok sisan," jawab wanita tua yang semalam Junaidi serempet itu.
****
Waktu hampir subuh, Sami yang baru saja mengantarkan Junaidi ke kosnya itu langsung pulang ke rumahnya. "Gua nggak masuk, Jun. Hari ini Gua kerja, mau tidur dulu," kata Sami, dia menguap juga menggeleng untuk sedikit mengusir kantuknya.
Sementara Junaidi, dia berjalan dengan menundukkan kepalanya, sesampainya di kamar kos, dia langsung membereskan barang-barangnya. Melihat itu, Rumi yang terbangun dari tidurnya pun bertanya, "Mau minggat kemana lu?"
"Pulang kampung, nggak kuat gua di sini," jawab Junaidi tanpa menoleh.
"Yakin, bukannya lu tulang punggung keluarga? Ibu lu janda, adik lagi sekolah SMA, mau kerja apa lu di kampung?" tanya Rumi seraya bangun dari duduk, dia mengambil handuk dan segera meninggalkan Junaidi yang terdiam.
"Benar juga kata Rumi," gumam Junaidi dalam hati, kemudian, ponsel di saku celananya bergetar, Hana lah yang menghubungi.
"Mas," panggil adiknya.
"Iya, Han. Ada apa?" tanya Junaidi.
"Sepatu Hana udah rusak, Mas. Jempol Hana udah keluar dari tempatnya, Hana malu buat sekolah," jawab adiknya seraya menahan tangis.
Tes, seketika air mata Junaidi menetes, dia merasa tak berguna sebagai kepala keluarga.