~Dibuat berdasarkan cerpen horor "Anna Van de Groot by Nath_e~
Anastasia ditugaskan untuk mengevaluasi kinerja hotel di kota Yogyakarta. siapa sangka hotel baru yang rencana bakal soft launching tiga bulan lagi memiliki sejarah kelam di masa lalu. Anastasia yang memiliki indra keenam harus menghadapi teror demi teror yang merujuk ada hantu noni Belanda bernama Anna Van de Groot.
mampukah Anastasia mengatasi dendam Anna dan membuat hotel kembali nyaman?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nath_e, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sejuta tanya tentang Noni Belanda
Akhirnya setelah pembicaraan panjang yang melelahkan dengan Kanjeng Mami dan pak Broto, Anastasia bisa beristirahat di ruang kerjanya. Adam kembali berkutat dengan tumpukan kertas terkait keuangan dan Anastasia menunggu kedatangan Nathan untuk berdiskusi kecil dengannya.
“Boleh saya masuk, mbak?”
“Oh kamu Nath, masuk deh. Gimana data anak cleaning service yang aku minta kemarin sudah ada?”
“Ini mbak,” pemuda berkulit bersih itu meletakkan clipboard di depan Anastasia.
Dengan teliti, Anastasia memeriksa satu persatu. Keningnya berkerut melihat tak satupun dari data itu sesuai dengan apa yang dilihatnya.
“Nath, kamu yakin udah semuanya?”
“Yakin mbak, ini sudah sesuai jadwal dari housekeeping.”
Anastasia memeriksa ulang dan memperhatikan foto masing-masing. “Kok nggak ada, orang aku lihat udah tua deh bukan anak-anak muda kayak gini.”
Kali ini Nathan yang berkerut, “bukannya mbak sendiri yang minta bagian housekeeping diisi karyawan dengan range umur 28-35 tahun? Memang setua apa yang mbak lihat?”
Anastasia berusaha mengingat-ingat, “dia seumuran sama mbok Parmi. Wajahnya lembut dan pembawaannya tenang, rambutnya pendek.” Ia mencoba mendeskripsikan berdasarkan ingatan.
“Nggak ada staf housekeeping setua itu deh mbak. Yakin itu karyawan kita?”
Jantung Anastasia berdegup kencang seketika. Ia baru menyadari setelah Nathan berkata demikian. “Baju yang dipake waktu itu … astaga!”
“Kenapa mbak? Apa yang dipakai?” Nathan penasaran karena Anastasia terlihat begitu terkejut.
Bayangan wanita tua itu kembali hadir, Ana melewatkan sesuatu. Tetesan darah!
Yah, dia melewatkan tetesan saran di bagian tangan wanita itu. Ia sempat melihatnya sesaat sebelum berjalan ke arah tangga darurat. Bahkan saat wanita itu menunjuk ke arah tangga. Anastasia melewatkannya karena mengira itu hanyalah air yang menetes di karpet.
“Mbak, mbak Ana kenapa? Kok diem?”
Anastasia yang masih terkejut, menatap Nathan tajam. “Kamu tahu nggak riwayat hotel ini? Apa yang berdiri sebelumnya atau mungkin pemilik sebelumnya.”
“Kalau itu …,”
“Apapun yang kamu dengar, baik dari karyawan atau apa deh!” Anastasia terlihat serius meminta informasi.
“Wah, kalau itu saya juga nggak tahu mbak. Saya cuma tahunya di lantai tiga memang sedikit angker. Tapi apa dan bagaimana hotel ini saya nggak pernah tahu mbak.”
Jari lentik Anastasia mengetuk-ngetuk meja, membuat Nathan merasa tertekan. “Kalau nggak ada lagi saya pamit pulang ya mba? Jadwal shift udah habis.”
Anastasia cuma menganggukkan kepala dan membiarkan Nathan pergi. Matanya tertuju pada daftar pegawai cleaning service. Ada rasa penasaran sekaligus takut
“Hantu wanita Belanda, wanita tua, lelaki di pantry, lalu si pucat di dining room … ada berapa hantu sebenarnya disini? Apa masih ada lagi?” Ia bergumam sendiri, masih mengetuk-ngetuk jari di mejanya.
Anastasia merasa ada sesuatu yang ganjil mengenai hotel baru yang selesai dibangun dalam waktu singkat. Sebagai seorang yang perfeksionis sekaligus penasaran, ia memutuskan untuk menggali lebih dalam. Ia mengambil ponselnya, lalu mengetik pesan singkat kepada Wisnu, seorang kolega yang bekerja di bagian legal departemen perusahaan.
“Pak Wisnu. Bisa tolong kirimkan dokumen terkait pemilik sebelumnya hotel yang baru selesai kita bangun? Aku butuh data lengkap secepatnya.”
Tak lama, tanda centang biru muncul di layar ponselnya, pertanda pesan itu telah dibaca. Wisnu segera membalas dengan nada formal.
“Ok, Mbak. Akan saya cari dan kirimkan file-nya dalam beberapa menit.”
Sambil menunggu, Anastasia membuka laptopnya dan mulai membuat catatan singkat tentang hal-hal yang ingin ia periksa. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya—hotel ini bukan hanya selesai lebih cepat dari jadwal, tetapi juga dibangun di lokasi yang dulunya penuh kontroversi. Desas-desus tentang tanah sengketa dan pemilik sebelumnya yang misterius semakin membuatnya ingin tahu.
Anastasia menatap laptop dengan rasa ingin tahu yang membuncah. Ia teringat cerita Mbok Parmi tadi pagi tentang sebuah losmen tua bernama Losmen Flamboyan. Menurut Mbok Parmi, losmen itu pernah menjadi tempat penginapan terkenal pada masanya, dengan konsep yang unik dan suasana yang konon sulit dilupakan oleh siapa pun yang pernah menginap di sana.
Membuka mesin pencari, Anastasia mengetik: “Losmen Flamboyan, sejarah, pohon ikonik.” Dalam sekejap, sederet artikel muncul di layar. Beberapa artikel menarik perhatiannya. Salah satunya menggambarkan Losmen Flamboyan sebagai pelopor penginapan dengan konsep retreat alami di tahun 1970-an. Losmen itu terkenal karena lokasinya yang asri, dikelilingi oleh taman kecil dengan pohon flamboyan yang menjadi daya tarik utama.
Sebuah artikel lain menambahkan detail bahwa pohon flamboyan besar yang berdiri di halaman losmen bukan hanya menjadi ikonik, tetapi juga dipercaya membawa keberuntungan. Banyak tamu yang mengikatkan pita di cabang-cabang pohon, berharap doanya terkabul.
“Heem, ini unik. Aku baru tahu kalau pohon Flamboyan bisa bawa keberuntungan. Mirip seperti kepercayaan di Jepang.” Ucapnya pelan bermonolog sambil membayangkan kertas doa yang digantung pada pohon khusus di kuil-kuil Shinto.
Anastasia berhenti di satu berita yang menyebutkan tentang “penunggu” pohon sering mengganggu tamu losmen di hari tertentu.
Anastasia mencatat setiap detail dalam dokumen pribadinya. Ia merasa ada kecocokan antara cerita Mbok Parmi dan hotelnya. Fakta bahwa losmen itu pernah berdiri di lokasi yang sama dengan hotel Aurora membuat rasa penasarannya semakin besar. Kini, ia merasa harus mencari tahu lebih banyak, tidak hanya melalui dokumen, tetapi mungkin dengan berkunjung langsung pada pemilik lawas.
Anastasia semakin larut dalam pencarian informasi. Jarinya terus bergerak di atas keyboard, menggali lebih dalam tentang rumor yang mengitari pohon unik di Losmen Flamboyan. Salah satu artikel yang ia temukan menyebutkan tentang penampakan seorang Noni Belanda—seorang wanita muda bergaun putih dengan rambut panjang yang tergerai, sering terlihat di bawah pohon flamboyan, terutama saat malam bulan purnama.
Menurut cerita, hantu tersebut diyakini sebagai arwah seorang wanita Belanda yang bunuh diri di bawah pohon itu setelah ditinggal kekasihnya yang pergi ke medan perang dan tak pernah kembali. Keberadaan hantu ini disebut sering membuat tamu losmen merasa tidak nyaman, terutama mereka yang bermalam di kamar dengan jendela menghadap langsung ke pohon flamboyan. Beberapa tamu melaporkan mendengar suara tangisan, sementara yang lain mengaku melihat sosok itu berdiri di bawah pohon, seolah menunggu seseorang sambil memainkan payungnya.
Anastasia mendadak teringat pertemuannya kemarin. Seorang wanita berbaju putih dengan wajah seram. Berdasarkan cerita Nathan, ada juga karyawan yang melihat sosok itu sering muncul di dekat taman belakang hotel, di mana pohon flamboyan dari losmen lama dulu berdiri sebelum ditebang. Beberapa juga mengeluhkan suara langkah kaki dan bisikan lirih, padahal mereka yakin tidak ada orang lain di sekitar.
Ia mulai bertanya-tanya, apakah hantu yang disebut sebagai Noni Belanda ini sama dengan yang menghantui hotelnya sekarang? Mungkinkah arwah itu masih terikat pada tempat ini meskipun pohon flamboyan yang menjadi pusat ceritanya telah ditebang?
“Noni Belanda ini mungkin masuk akal kalau tetap ada disini tapi … yang lain? Ini sedikit aneh, terlalu banyak populasi hantu di satu tempat. Nggak bagus juga buat kenyamanan tamu. Aku harus bertindak!”
Anastasia memutuskan bahwa ia tidak bisa mengabaikan ini begitu saja. Jika memang ada kaitan antara legenda lama dan kejadian di hotel, ia harus mengetahui lebih jauh. Mengantisipasi kejadian diluar nalar semakin merajalela dan bila perlu membersihkan seluruhnya.
Anastasia mencari kontak di daftar telepon yang tersimpan lalu menghubunginya.
“Hai, ini aku … bisa besok kita ketemu di kantorku?”
Hening sejenak, Anastasia mendengarkan suara di seberang sana menjawab.
“Ok deal! Besok jam satu siang … aku perlu bantuan untuk membersihkan hotel ku jadi … aku harap kamu dan temanmu bisa bantu aku. Baiklah, sampai ketemu besok.”
Anastasia tersenyum puas. Ia baru saja menghubungi paranormal kenalannya yang memang membuka jasa pengusiran hantu. “Semoga semua bisa selesai dalam waktu dekat sebelum soft opening.”
Anastasia bergegas merapikan meja dan membereskan dokumen di ruang kerjanya. Malam sudah larut, dan hanya lampu meja yang menyala, memberikan cahaya redup di ruangan itu. Ketika ia meraih tasnya dan hendak melangkah keluar, tiba-tiba lampu mati.
"Ah, sial," gumamnya sambil meraba-raba untuk mencari senter di ponselnya.
Tapi kemudian, langkahnya terhenti. Kaki Anastasia terasa tertahan sesuatu. Seperti ada tangan dingin yang mencengkram pergelangan kakinya. Jantung Anastasia berdegup kencang. Ia mencoba menarik kakinya, tapi cengkraman itu semakin erat.
"Tolong ..." bisiknya, hampir tanpa suara, matanya mulai panas menahan rasa takut.
Suhu ruangan berubah. Udara yang tadinya hangat kini terasa membekukan. Tengkuknya terasa berat, seperti ada sesuatu—atau seseorang—berdiri tepat di belakangnya. Anastasia tidak berani menoleh.
Suara lembut terdengar di telinganya. Sebuah senandung. Suara itu tak asing, seperti melodi yang pernah didengarnya dari cerita-cerita masa kecil. Lirih dan menusuk. Suara itu mengirimkan getaran ke seluruh tubuhnya.
Ia memberanikan diri untuk berbalik perlahan, dan di sana, di balik bayangan, berdiri sosok wanita. Meski dalam gelap, mata sensitif Anastasia bisa melihat rambut panjang sosok itu basah, meneteskan air, dan gaun putihnya robek-robek seperti habis terkoyak. Wajahnya kosong, tapi matanya memandang tajam ke arah Anastasia sambil terus bersenandung.
"Waar is hij, mijn liefde verloren?
Hoor je zijn stem, in de nacht gebroken?
Zoek je hem ook, in de koude tijd?
Of blijf je stil, in eeuwige spijt?"
Senandung yang lembut namun memilukan mulai terdengar, bergema samar-samar di antara dinding yang gelap. Anastasia membeku, matanya membelalak. Suara itu bernada tanya, penuh kesedihan dan dendam.
"Waar is hij, mijn liefde verloren?'"
Anastasia merinding. "Apa ... apa yang kau inginkan?" tanyanya gemetar.
Sosok itu berhenti bersenandung, menatapnya tajam.
"Waar is ze, Anastasia? Je weet waar mijn geliefde is, toch?" ujarnya pelan, namun menggema di ruangan.
Sosok itu bertanya tentang keberadaan kekasihnya pada Anastasia. Sebelum Anastasia sempat menjawab, lampu tiba-tiba menyala kembali, dan sosok itu menghilang seperti asap yang terhembus angin meninggalkan Anastasia dalam kengerian yang luar biasa.
Bersambung …,