Datang sebagai menantu tanpa kekayaan dan kedudukan, Xander hanya dianggap sampah di keluarga istrinya. Hinaan dan perlakuan tidak menyenangkan senantiasa ia dapatkan sepanjang waktu. Selama tiga tahun lamanya ia bertahan di tengah status menantu tidak berguna yang diberikan padanya. Semua itu dilakukan karena Xander sangat mencintai istrinya, Evelyn. Namun, saat Evelyn meminta mengakhiri hubungan pernikahan mereka, ia tidak lagi memiliki alasan untuk tetap tinggal di keluarga Voss. Sebagai seorang pria yang tidak kaya dan juga tidak berkuasa dia terpaksa menuruti perkataan istrinya itu.
Xander dipandang rendah oleh semua orang... Siapa sangka, dia sebenarnya adalah miliarder terselubung...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 Menghina
Xander berdiri diam di belakang Govin, mengenakan kacamata hitam dan kumis palsu, memanfaatkan perawakannya untuk berkamuflase sebagai salah satu pengawal. Tatapannya yang tajam tak lepas dari Dalton dan Ruby yang berjalan perlahan menuju area pemakaman, diikuti oleh tiga pengawal mereka di belakang.
“Lihat, siapa yang kita temui di tempat seperti ini, Ruby?" Dalton membuka percakapan dengan nada meremehkan, sembari menyeringai kepada Govin.
Ruby memutar bola matanya, merasa jengah. "Apa yang kau lakukan, Dalton?" tanyanya dengan nada jengkel. "Kenapa kau harus membuang waktumu dengan orang seperti mereka? Waktu kita terlalu berharga. Cepatlah! Aku tidak ingin berlama-lama berada di tempat ini. Masih banyak hal penting yang harus kulakukan."
"Apa yang kau katakan, Ruby?"Dalton menyenggol pelan lengan Ruby, mengedipkan sebelah mata. "Di mana sopan santunmu? Bukankah Govin adalah kaki tangan kepercayaan paman kita yang berharga?"
Ruby mendengkus jengkel, menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Sopan santun? Apa peduliku dengan itu?" katanya dengan nada mengejek. "Bagaimana jika aku menghibur diriku sedikit? Lagipula, Govin hanyalah sisa dari masa kejayaan yang sudah usang."
Ruby mendengus lagi, membuang pandangan ke sembarang arah. Namun, tatapannya tak sengaja menangkap sosok Xander di balik kacamata hitam dan kumis palsunya. Ia mengamati pria itu selama beberapa detik, alisnya bertaut.
"Siapa dia?" gumam Ruby, berbicara pada dirinya sendiri. "Aku seperti pernah bertemu dengannya di suatu tempat."
Ruby memutar bola matanya sekali lagi, berdecak. "Oh, tentu saja. Bukannya dia adalah salah satu pengawal Govin?"
Dalton, yang tidak menyadari perubahan ekspresi Ruby, tetap berdiri di tempatnya, menatap Govin dengan seringai sinis. "Apa yang kau lakukan di sini, Govin? Apa kau sedang mempersiapkan tanah kuburan untuk tuanmu yang satu lagi?"
Dalton tertawa keras, bahunya berguncang saat suaranya menggema di pemakaman yang sepi. "Aku benar-benar tidak sabar menunggu berita kematiannya. Aku akan menjadi orang pertama yang menabur bunga di atas pusaranya!"
Ruby, yang awalnya tampak jengkel, mendadak ikut tertawa. "Lihat, siapa yang tidak memiliki sopan santun sekarang. Bagaimana mungkin kau bahagia melihat pamanmu sendiri meninggal, Dalton? Kau benar-benar jahat. Itukah balasan seorang keponakan pada pamannya saat meninggal? Kau benar-benar membuatku malu."
Namun, senyuman Ruby mengungkapkan sesuatu yang lebih dalam. Kata-katanya hanyalah bualan. Di lubuk hatinya, ia tahu bahwa hampir semua anggota keluarga Ashcroft, termasuk dirinya, tidak menyukai Sebastian maupun ayahnya. Meski Samuel berhasil membawa kemajuan besar pada perusahaan keluarga, rasa iri dan dendam telah mengakar dalam keluarga itu. Penunjukkannya sebagai pewaris utama keluarga Ashcroft adalah pukulan telak bagi anggota keluarga lainnya, yang sebenarnya lebih mendukung Franco, anak pertama keluarga, sebagai pewaris yang lebih layak.
Xander berdiri diam di belakang Govin, meski hatinya berkecamuk. Mendengar hinaan Dalton dan Ruby, amarah membara di dalam dirinya, membuat rahangnya mengeras dan kedua tangannya terkepal erat. Kakinya bahkan sempat maju satu langkah, namun ia segera menariknya kembali. Penyamarannya saat ini terlalu penting untuk dikorbankan, dan ia tahu ini bukan waktu yang tepat untuk bertindak gegabah.
Govin, yang menyadari ketegangan Xander, melirik singkat dan berbicara dengan nada tenang. "Aku baru saja mengecek pusara mendiang Tuan Samuel dan Nona Lydia atas perintah Tuan Sebastian. Tuan Dalton, Nona Ruby, aku harus pergi karena memiliki tugas penting. Aku permisi."
Namun, Dalton dengan cepat memotong langkah Govin, berdiri di hadapannya dengan senyum sinis. “Ke mana larinya sopan santunmu, Govin? Bukankah aku belum menyuruhmu pergi? Setidaknya temani aku dan Ruby berbincang lebih lama. Akan sangat menyenangkan bagi kami mendengar kabar tentang paman kami saat ini darimu. Bukankah begitu, Ruby?"
Ruby tersenyum lebar, menambahkan, "Itu benar, Govin."
Keadaan memanas ketika pengawal Govin bergerak maju beberapa langkah, termasuk Xander. Di sisi lain, pengawal Dalton dan Ruby juga mendekat, menciptakan suasana tegang di antara mereka.
Govin mempertahankan ketenangannya. "Apa yang Anda inginkan sebenarnya, Tuan?" tanyanya dengan nada datar.
Dalton mendekati Govin, membenarkan letak jasnya dengan gaya mengejek. "Kau benar-benar pengawal yang sangat setia. Aku harus mengakui, aku mengagumi dedikasimu pada pamanku. Tapi, siapa tahu? Jika paman menyedihkanku itu kehilangan posisinya sebagai pewaris pengganti, aku mungkin akan mempekerjakanmu sebagai pengawal pribadiku. Bukankah itu tawaran yang menggiurkan?"
Govin tidak memberikan reaksi apa pun. Diamnya adalah bentuk penghinaan paling halus yang bisa ia lakukan.
Dalton mengembuskan napas, seolah menenangkan dirinya sebelum melanjutkan. "Aku sungguh menantikan pertemuan keluarga nanti. Ayahku akhirnya akan mendapatkan haknya sebagai pewaris utama. Itu adalah keadilan yang seharusnya terjadi sejak awal."
Govin, dengan suara tegas namun tetap sopan, menjawab, "Kakek Anda, Tuan Marcus, memilih Tuan Samuel menjadi penerusnya karena kepiawaiannya dalam mengelola bisnis keluarga. Dan setelah Tuan Samuel meninggal, keputusan yang sama dibuat untuk Tuan Sebastian sebagai penggantinya."
Xander, yang berdiri diam selama percakapan itu, semakin marah. Perasaan tidak berdaya saat mendengar hinaan terhadap keluarganya membuat kedua tangannya mengepal kian erat.
"Tutup mulutmu, Govin!" Dalton membentak, suaranya penuh dingin. "Pamanku yang menyedihkan itu akan segera ditendang keluar dari keluarga begitu ayahku menjadi pewaris utama. Dia harus membayar semua penderitaan yang keluargaku alami. Aku pastikan dia akan menyusul kakaknya yang sudah lama mati."
Govin melirik jam tangan. "Semua keputusan berada di tangan Tuan Marcus, Tuan. Apa pun bisa terjadi dalam pertemuan itu. Dan sekarang, izinkan aku pergi. Aku memiliki tugas lain yang harus diselesaikan."
Govin bergerak ke samping, melewati Dalton, Ruby, dan para pengawalnya. Ketika berjalan menjauh, ia sempat melirik Xander yang tampak berusaha keras menahan amarah.
"Pamanku yang menyedihkan itu akan segera menyusul kakaknya," katanya sambil mengepalkan tangan.
Ruby, yang mulai bosan, berkata setengah kesal, “Sudahlah, Dalton. Kita sebaiknya menyelesaikan urusan kita di sini sebelum siang tiba. Bukankah kau masih punya tempat pertarungan untuk didatangi?”
Dalton menoleh tajam. “Diam, Ruby! Aku tidak kalah! Pria bernama Xander itu hanya beruntung karena aku lengah sesaat. Tapi aku bersumpah, aku akan membalas penghinaan itu!"
Ruby hanya memutar bola matanya, tidak ingin memperpanjang argumen, dan akhirnya mengikuti Dalton yang melangkah tergesa-gesa. Namun, saat menoleh ke belakang, ia mendapati Govin dan para pengawalnya, termasuk Xander, sudah menghilang.
Mobil yang membawa Xander dan Govin akhirnya meninggalkan kawasan pemakaman. Xander perlahan melepas kacamata hitam dan kumis palsunya, lalu meletakkannya di samping. Tatapannya tertuju keluar jendela, menyapu deretan pusara yang berjajar rapi, termasuk sosok Dalton, Ruby, dan para pengawal mereka yang masih berada di tengah pemakaman.
Pikiran Xander berputar, mengenang ucapan Dalton yang menghina ayahnya. Meski hubungan darah mengikat mereka sebagai keluarga, ia merasa sulit menerima tindakan dan kata-kata keji dari sepupunya. "Mereka benar-benar keterlaluan," gumamnya dalam hati.
Govin, yang duduk di sampingnya, memperhatikan perubahan ekspresi Xander. "Tuan Xander, Anda baik-baik saja?"
"Ya," jawabnya singkat, meskipun suaranya terdengar berat. Ia mengepalkan tangan sejenak sebelum akhirnya mengendurkan genggamannya.
Govin melanjutkan pembicaraan dengan nada tenang dan bijaksana. "Tuan Xander, seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, semua keputusan mengenai pewaris keluarga Ashcroft ada di tangan Tuan Marcus. Dia memiliki wewenang penuh untuk menentukan apakah posisi itu tetap berada di tangan Tuan Sebastian atau dialihkan kepada Tuan Franco."
Ia melirik Xander melalui sudut mata, lalu menambahkan, "Selama ini, Tuan Marcus masih memberikan kepercayaannya pada Tuan Sebastian untuk mengelola perusahaan keluarga, meskipun banyak pihak lain di keluarga yang mencoba menjatuhkan beliau di depan Tuan Marcus."
"Namun, beberapa pertemuan terakhir menunjukkan hal yang mengkhawatirkan. Tuan Marcus mulai menyinggung penerus dari Tuan Sebastian yang kosong, sama seperti ketika mendiang ayah Anda, Tuan Samuel, tidak memiliki penerus yang diakui. Situasi ini dimanfaatkan oleh anggota keluarga lainnya, terutama Tuan Franco, untuk mempengaruhi Tuan Marcus agar mengalihkan posisi pewaris utama."
Govin melanjutkan. "Pertemuan saya dengan Tuan di malam itu adalah sebuah keajaiban. Saya benar-benar berterima kasih pada Tuhan karena mempertemukan kita. Kehadiran Tuan memberikan harapan baru bagi Tuan Sebastian. Kesehatannya mulai membaik sejak mengetahui keponakan nya masih hidup."
Xander tersenyum tipis, hatinya sedikit menghangat mendengar kata-kata Govin. "Aku juga sangat mensyukuri pertemuan itu, Govin. Aku berutang budi padamu."
Govin membalas dengan senyum tulus. "Anggota keluarga Ashcroft pasti akan terkejut saat mengetahui bahwa putra Tuan Samuel masih hidup. Dengan kehadiran Anda, rencana mereka untuk menyingkirkan Tuan Sebastian akan gagal total."
Xander menegakkan punggungnya, tatapannya mengarah ke jalan raya yang kini dipenuhi deretan gedung-gedung pencakar langit. "Aku tidak boleh mengecewakan ayah dan ibuku. Aku harus membuat mereka bangga," ucapnya mantap.
Mobil melaju, Govin memeriksa ponselnya dan berkata, "Tuan Xander, Nona Evelyn sudah tiba di Kota Royaltown beberapa menit lalu. Saat ini, dia bersama sepupunya sedang menuju sebuah gedung untuk urusan pekerjaan."
Xander mengangguk. "Awasi Evelyn terus, Govin. Pastikan aku punya waktu untuk bertemu dengannya."
Govin membungkuk sedikit. "Saya mengerti, Tuan."